Belum Sebulan, Dua Menteri Jokowi Jadi 'Pasien' KPK

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir-akhir ini gencar melaksanakan serangkaian operasi tangkap tangan (OTT). Setidaknya dua menteri Joko Widodo (Jokowi) ditangkap oleh KPK dalam waktu kurang dari sebulan. Dua menteri itu kini menjadi 'pasien' KPK.

Pertama, OTT Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng

Kabar Menteri Edhy ditangkap oleh tim satgas KPK ini mulai ramai sejak Rabu, 25 November pada pagi hari. Orang kepercayaan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto ini ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang setibanya dia dari luar negeri. 

"Tadi malam Menteri KPK diamankan di KPK di Bandara (Terminal, red) 3 Soekarno-Hatta saat kembali dari Honolulu," kata Firli saat dikonfirmasi wartawan, Rabu, 25 November pagi.

Dalam penangkapan ini, Edhy dan 15 orang lainnya dibawa ke Gedung Merah Putih KPK. Hasilnya, KPK menetapkan politikus Gerindra Edhy Prabowo sebagai tersangka penerima suap. Menteri Jokowi ini menggunakan rompi oranye dengan tangan diborgol ketika diumumkan ke publik pada Rabu, 25 November malam.

Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengatakan, operasi ini bermula dari informasi masyarakat adanya dugaan terjadinya penerimaan uang oleh Penyelenggara Negara.

"KPK menerima informasi adanya dugaan terjadinya penerimaan uang oleh Penyelenggara Negara. Selanjutnya pada tanggal 21 November 2020 sampai dengan 23 November 2020, KPK kembali menerima informasi adanya transaksi pada rekening bank yang diduga sebagai penampung dana," kata Wakil Ketua Nawawi Pomolango dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih Kuningan Persada, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 26 November dini hari.

Dari rekening itulah, KPK mengendus adanya penggunaan uang oleh penyelenggara negara untuk melakukan membeli sejumlah barang mewah di luar negeri dan akhirnya melaksanakan operasi tangkap tangan (OTT) di sejumlah tempat seperti Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang; Jakarta; Tangerang Selatan; Depok; dan Bekasi.

Adapun kasus dugaan suap yang menyeret Edhy ini diduga berkaitan dengan ekspor benur atau benih lobster dan berawal sejak dirinya menerbitkan surat keputusan nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster, dengan menunjuk Andreau Pribadi Misata yang juga staf khusus Menteri selaku Ketua Pelaksana Uji Tuntas dan Safri sebagai Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas.

Dalam kasus ini, Menteri Edhy diduga menerima uang sebesar Rp3,4 miliar dan 100 ribu dollar Amerika Serikat dan sebagian uang tersebut dia gunakan bersama istrinya, Iis Rosita Dewi untuk membeli barang mewah seperti tas Hermes hingga jam Rolex saat lawatan ke Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat.

Atas perbuatannya Edhy kemudian ditetapkan sebagai tersangka penerima suap bersama lima orang lainnya yaitu stafsus Menteri KP Safri (SAF) dan Andreau Pribadi Misanta (APM); pengurus PT Aero Citra Kargo (PT ACK) Siswadi (SWD); staf istri Menteri KP Ainul Faqih, dan Amiril Mukminin (AM). Sementara tersangka pemberi suap adalah Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (PT DPPP) Suharjito (SJT).

Saat ini, Edhy dan para tersangka ditahan di Rutan KPK Cabang Gedung Merah Putih KPK selama 20 hari ke depan terhitung sejak tanggal 25 November hingga 14 Desember. Tak hanya itu, untuk melakukan pengusutan perkara, tim penyidik KPK juga terus melakukan penggeledahan dan pemanggilan terhadap sejumlah saksi.

Kedua Menteri Sosial Juliari P. Batubara yang menjadi tersangka kasus dugaan suap terkait Basos COVID-19.

Menteri Sosial Juliari P. Batubara memang tidak ikut ditangkap dalam operasi tangkap tangan. Tapi KPK menemukan bukti adanya keterlibatan Juliari dalam kasus suap.

KPK menetapkan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka korupsi bantuan sosial COVID-19. Mensos diduga menerima fee hingga belasan miliar dari perusahaan rekanan pengadaan bansos paket sembako. 

Ketua KPK Firli Bahuri menyebut Mensos Juliari Batubara dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP. 

Pasal ini punya ancaman pidana penjara maksimal seumur hidup atau paling singkat 4 tahun terkait penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji terkait jabatan yang bertentangan dengan kewajibannya. 

Lantas apa kata KPK soal kajian penerapan Pasal 2 ayat 2 UU Pemberantasan Korupsi terkait OTT bansos COVID-19? Pasal itu menyebutkan tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu—seperti bencana alam nasional atau krisis ekonomi— bisa dijatuhi hukuman pidana mati.

“Kita paham dalam ketentuan UU 31 Tahun 1999 itu Pasal 2 tentang pengadaan barang dan jasa itu barangsiapa melakukan suatu perbuatan dengan sengaja memperkaya diri atau orrang lain dengan melawan hukum yang mengakibatkan keuntungan diri sendiri dan orang lain sehingga menimbulkan kerugian negara. Di ayat 2 memang ada ancaman hukuman mati,” kata Firli dalam tanya jawab jumpa pers OTT kasus korupsi bansos COVID-19 di gedung KPK, Minggu, 6 Desember dini hari. 

Firli menyebut pandemi COVID-19 dinyatakan oleh pemerintah sebagai bencana. Intinya KPK ditegaskan Firli masih terus bekerja terkait mekanisme barang dan jasa dalam hubungannya dengan kasus bansos COVID-19. 

Sebagai informasi, Presiden Joko Widodo menetapkan COVID-19 sebagai bencana nasional lewat Keppres Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran COVID-19 sebagai Bencana Nasional pada awal April 2020.

“Tentu nanti kita akan bekerja berdasar keterangan saksi dan bukti-bukti apakah bisa masuk ke dalam pasal 2 UU 31 Tahun 1999. Saya kira kita masih harus bekerja keras untuk membuktikan ada tidaknya tindak pidana yang merugikan uang negara sebagaimana yang dimaksud pasal 2 itu. Malam ini yang kita lakukan OTT ini adalah tindak pidana berupa penerimaan sesuatu oleh penyelenggara negara. Jadi itu dulu,” tegas Firli kepada wartawan.

[/see_also]

Bukan hanya itu. KPK juga melakukan OTT Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna di Kota Cimahi

Operasi senyap terhadap Ajay ini dilaksanakan oleh tim satuan tugas pada Jumat, 28 November pagi sekitar pukul 10.40 WIB. Ajay dan 10 orang lainnya ditangkap di beberapa tempat, yaitu Bandung dan Cimahi, Jawa Barat.

Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Cimahi ini terjerat OTT karena dirinya diduga menerima suap berkaitan dengan perizinan Rumah Sakit Kasih Bunda di Kota Cimahi Tahun Anggaran 2018-2020. Selain menetapkan Ajay, KPK juga menetapkan tersangka lainnya sebagai pemberi suap yaitu Komisaris RSU Kasih Bunda, Hutama Yonathan.

"KPK menetapkan dua orang tersangka, yakni Ajay Muhammad Priatna sebagai penerima suap dan Hutama sebagai pemberi suap," kata Ketua KPK Firli Bahuri di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Sabtu, 28 November.

Dalam dugaan suap terkait perizinan ini, Ajay meminta uang sebesar Rp3,2 miliar. Kasus ini bermula saat RSU Kasih Bunda melakukan pembangunan penambahan gedung pada tahun 2019. Lalu, pihak rumah sakit mengajukan permohonan revisi IMB kepada Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Cimahi.

Demi memuluskan langkah tersebut, selaku komisaris rumah sakit, Hutama Yonathan kemudian bertemu dengan Ajay di sebuah restoran di Bandung, Jawa Barat. Pertemuan ini kemudian berujung pada permintaan uang hingga miliaran rupiah tersebut.

Kata Firli, penyerahan uang disepakati akan diserahkan secara bertahap oleh Chyntia selaku staf keuangan RSU Kasih Bunda melalui Yanti selaku orang kepercayaan Ajay.

Pemberian telah dilakukan sejak tanggal 6 Mei 2020. Pemberian terakhir pada tanggal 27 November 2020 sebesar Rp425 juta sebelum KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT). "Pemberian kepada AJM telah dilakukan sebanyak 5 kali di beberapa tempat hingga berjumlah sekitar Rp1,661 Miliar dari kesepakatan Rp3,2 miliar," tutur Firli.

Lebih lanjut, dalam proses penyerahan uang ini Ajay minta pihak rumah sakit untuk membuat rincian pembayaran dan kuitansi palsu berupa pembayaran konstruksi pembangunan rumah sakit guna. Hal ini dilakukannya guna mencegah dirinya terendus oleh penegak hukum.

Akibat perbuatannya, saat ini, Ajay dan Hutama dilakukan penahanan Rutan selama 20 hari pertama terhitung sejak tanggal 28 November 2020 sampai dengan 17 Desember 2020.

Kemudian, OTT Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo di Kabupaten Banggai Laut

Berselang beberapa hari kemudian, tim satuan tugas KPK dikabarkan menangkap Wenny dalam operasi senyap yang digelar pada Kamis, 3 Desember. Kabar penangkapan ini kemudian dibenarkan oleh Ketua KPK Firli Bahuri.

"Hari ini, Kamis 3 Desember 2020 jam 13.00 WIB telah dilakukan tangkap tangan Bupati Banggai Laut," kata Firli saat dihubungi wartawan.

Namun, dirinya saat itu tidak memaparkan kasus yang menjerat Wenny dan berapa orang yang telah berhasil ditangkap. Kepastian kabar penangkapan ini kemudian disampaikan oleh Plt Juru Bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri yang mengatakan ada 16 orang yang ditangkap oleh KPK dan sebagai bupati, Wenny diduga menerima suap dari kontraktor.

Berikutnya, setelah membawa sejumlah pihak yang terjaring OTT ke Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan dan melakukan pemeriksaan intensif akhirnya ditetapkan enam orang tersangka yang terdiri dari tiga orang penerima suap dan tiga orang pemberi suap.

"KPK menetapkan enam tersangka," kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango dalam konferensi pers yang ditayangkan di akun YouTube KPK RI, Jumat, 4 Desember.

Adapun tersangka penerima suap adalah Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo, orang kepercayaan Wenny yaitu Komisaris Utama PT Alfa Berdikari Group (ABG) Recky Suhartono Godiman (RSG), dan Direktur PT Raja Muda Indonesia (RMI) Hengky Thiono (HTO).

Sementara sebagai pemberi suap adalah Komisari PT Bangun Bangkep Persada (BBP) Hedy Thiono (HDO); Direktur PT Antarnusa Karyatama (AKM) Djufri Katili (DK); dan Direkthr PT Andronika Putra Delta Andreas Hongkiwirang (AHO).

Dalam kasus ini, Wenny sebagai bupati diduga memerintahkan orang kepercayaannya yaitu Recky untuk membuat kesepakatan dengan rekanannya yang mengerjakan beberapa proyek infrastruktur, seperti peningkatan ruas jalan di Kabupaten Banggai Laut.

Tak hanya itu, dia diduga mengkondisikan pelelangan proyek dengan Kepala Dinas PU Kabupaten Banggai Laut Basuki Mardiono.

"Melalui pengkondisian pelelangan ini beberapa paket pekerjaan pada Dinas PUPR tersebut diduga ada pemberian sejumlah uang dari pihak rekanan, antara lain HDO, DK, dan AHO pada WB dengan jumlah bervariasi antara Rp200 juta sampai Rp500 juta," ungkap Nawawi.

Saat operasi senyap digelar, KPK juga menemukan sejumlah barang bukti berupa uang Rp2 miliar yang dibungkus di dalam kardus, bonggol cek, buku tabungan, dan sejumlah dokumen.

Terkait dugaan suap ini, KPK menduga uang yang diterima oleh Wenny akan digunakan untuk membiayai kebutuhan kampanye di Pilkada 2020 termasuk untuk membagikan serangan fajar pada 9 Desember mendatang.

Diketahui, Wenny merupakan calon bupati petahana yang diusung oleh PDI Perjuangan dan berpasangan dengan Ridaya Laode Ngkowe.

Dari informasi yang dihimpun, dia juga merupakan bupati pertama di Kabupaten Banggai Laut dan pertama kali terpilih pada Desember 2015. Selain itu, dia juga tercatat pernah menjabat sebagai anggota DPRD Surabaya periode 1999-2004.

"Benar memang dalam tahap penyelidikan kami melihat indikasi uang yang terkumpul dimaksudkan untuk digunakan dalam biaya-biaya kampanye ataupun untuk kemungkinan digunakan nantinya dalam serangan fajar. Indikasinya ke arah situ," kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango dalam konferensi pers yang ditayangkan di akun YouTube KPK, Jumat, 4 Desember.

Hanya saja, saat ditanya apakah uang suap itu sudah digunakan untuk membayar alat peraga kampanye, Nawawi menyebut KPK akan menelusurinya. "Kami belum menemukan dan menelusuri lebih dalam apakah sudah ada yang digunakan untuk APK," ungkapnya.

"Tapi indikasi awal untuk upaya pemenangan kampanye itu sudah ada," imbuh dia.

Akibat perbuatannya, ara tersangka ini kemudian ditahan di Rutan selama 20 hari pertama mulai 4 Desember hingga 23 Desember.

Hedy Thiono ditahan di Rutan KPK Gedung Merah Putih, Djufri Katili ditahan di Rutan KPK Cabang Pomdam Jaya Guntur, dan Andreas Hongkiwirang ditahan di Rutan KPK C1.

"Sedangkan WB (Wenny Bukamo), RSG (Recky Suhartono Godiman), dan HTO (Hengky Thiono) masing-masing dititipkan penahanannya sementara di Rutan Polres Luwuk kemudian dibantarkan untuk dilakukan isolasi mandiri karena terindikasi reaktif COVID-19," pungkas Nawawi.