Jampidmil Kejagung Sita Rumah Milik AW Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Satelit Kemenhan

JAKARTA - Tim Penyidik Koneksitas pada Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer (Jampidmil) Kejaksaan Agung menyita aset milik tersangka AW dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan satelit slot orbit 123° Bujur Timur (BT) pada Kementerian Pertahanan (Kemenhan) tahun 2012 sampai 2021.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana mengatakan, penyitaan ini berdasarkan Surat Perintah Tugas Melakukan Penyitaan Nomor Print-296/PM.2/PMpd.1/10/2022 tanggal 13 Oktober 2022.

"Aset yang dilakukan penyitaan berupa 1 bidang tanah yang diatasnya terdapat bangunan terletak di Jalan Dwijaya Raya Nomor 23, Kelurahan Gandaria Utara dan Kelurahan Gandaria Selatan, Kecamatan Cilandak, Kota Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta seluas 1.508 meter persegi," kata Ketut dalam keterangannya, Sabtu, 22 Oktober.

Ketut menyebut, penyitaan telah dilakukan dengan seizin pemilik yang berhak atas nama Tersangka AW dan kakak kandung Tersangka AW selaku penguasa tanah dan bangunan.

"Selanjutnya, Tim melakukan pemasangan papan atau stiker pengumuman penyitaan yang menyatakan bahwa tanah dan bangunan menjadi objek penyitaan telah resmi dan sah secara hukum disita," ujarnya.

Proyek ini diduga bermasalah ketika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) memenuhi permintaan Kemenhan untuk mendapatkan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat Bujur Timur guna membangun Satkomhan.

Dugaan pelanggaran dalam proyek satelit Kemhan ini diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD pada 13 Januari.

Dia menjelaskan, pada tanggal 19 Januari 2015, Satelit Garuda-1 telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia.

Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali Slot Orbit. Apabila tidak dipenuhi, hak pengelolaan Slot Orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain.

Untuk mengisi kekosongan pengelolaan slot orbit 123 derajat BT itu, kata Mahfud, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memenuhi permintaan Kementerian Pertahanan (Kemhan) untuk mendapatkan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat BT guna membangun satelit komunikasi pertahanan (Satkomhan).

Kemhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan floater (satelit sementara pengisi orbit), milik Avanti Communication Limited (Avanti), pada tanggal 6 Desember 2015, meskipun persetujuan penggunaan slot orbit 123 derajat BT dari Kominfo baru diterbitkan tanggal 29 Januari 2016.

Namun, pihak Kemhan pada tanggal 25 Juni 2018 mengembalikan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat BT kepada Kominfo.

Pada tanggal 10 Desember 2018, Kominfo mengeluarkan keputusan tentang Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada Orbit 123 Derajat untuk Filing Satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A kepada PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK). Namun PT DNK tidak mampu menyelesaikan permasalahan residu Kemhan dalam pengadaan Satkomhan.

Pada saat melakukan kontrak dengan Avanti tahun 2015, Kemhan belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut.

Untuk membangun Satkomhan, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu tahun 2015-2016, yang anggarannya dalam tahun 2015 juga belum tersedia.

Sedangkan pada tahun 2016, anggaran telah tersedia namun dilakukan self blocking oleh Kemhan.

Kemudian, Avanti menggugat di London Court of Internasional Arbitration karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani.

Pada tanggal 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp 515 miliar.

Pemerintah juga baru saja menerima putusan dari Arbitrase Singapura terkait gugatan Navayo. Putusan itu menyatakan bahwa pemerintah diharuskan membayar 20,9 juta Dolar Amerika.

Tiga tersangka telah ditetapkan, yakni satu orang TNI dan dua sipil, yakni Laksamana Muda (Purn) inisial AP selaku mantan Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Kementerian Pertahanan periode Desember 2013 sampai dengan Agustus 2016. Sedangkan dua orang lainnya yakni SCW dan AW yang merupakan Direktur Utama dan Komisaris Utama PT Dini Nusa Kesuma (DNK).