WHO: Cermati Resistensi Antimikroba Hindari Penyakit Sulit Diobati

JAKARTA - Badan Kesehatan Dunia (WHO) meminta pemerintah Indonesia untuk mulai mencermati resistensi antimikroba (AMR) guna menghindari terjadinya infeksi atau penyakit sulit diobati dan menekan kematian akibat AMR.

“Orang yang terkena AMR harus menghadapi penyakit berkepanjangan, durasi pengobatan lebih lama, tantangan kesehatan mental, stigma sosial, dan beban keuangan yang tinggi. Ini bisa kita hindari kalau kita beraksi bersama sekarang,” kata Technical Officer (AMR) WHO Indonesia Mukta Sharma dalam Media Gathering Bersama WHO dan FAO di Jakarta, Antara, Rabu, 12 Oktober. 

Mukta menjelaskan AMR dapat terjadi ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit berubah dari waktu ke waktu dan tidak lagi merespons obat-obatan. Hal itu membuat infeksi lebih sulit untuk diobati dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit, penyakit parah, dan kematian.

"Akibat resistensi obat, antibiotik, dan obat antimikroba lainnya menjadi tidak efektif dan infeksi menjadi semakin sulit atau tidak mungkin diobati. WHO telah menyatakan AMR sebagai salah satu dari 10 besar ancaman kesehatan masyarakat global yang dihadapi umat manusia," katanya.

Menurut dia, alasan Indonesia perlu mulai mewaspadai AMR adalah berkaca pada situasi global, setidaknya setiap tiga menit, seorang anak meninggal karena sepsis karena infeksi yang kebal antibiotik.​

Di mana satu dari lima kematian yang disebabkan oleh AMR terjadi pada anak-anak di bawah usia lima tahun dan seringkali karena infeksi yang sebelumnya dapat diobati.

Kemudian hampir 1,3 juta kematian secara langsung disebabkan oleh AMR bakteri dan hampir lima juta kematian terkait dengan AMR bakteri.​

“Infeksi yang resisten terhadap obat sudah mempengaruhi kehidupan ribuan orang di seluruh dunia, tetapi ini sering tidak terdeteksi atau dilaporkan. AMR adalah masalah one health, yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh manusia, hewan, dan lingkungan,” katanya.

Mukta mengatakan AMR dapat mendorong kemunduran pengetahuan medis 10-20 mendatang atau kembali pada saat dunia belum menemukan antibiotik. Hal lain yang ditimbulkan adalah AMR mampu membuat tindak operasi hilang karena resistensi yang diderita pasien.

Di sisi lain, AMR dapat memberi pukulan yang lebih keras pada perekonomian dunia dibandingkan dengan apa yang terjadi karena pandemi COVID-19.

“Sebuah studi global turut memperkirakan bahwa lebih dari 4,9 juta orang meninggal di 204 negara pada tahun 2019 secara langsung atau tidak langsung karena infeksi bakteri yang resisten terhadap antibiotik,” ucapnya.

Guna mengurangi kebutuhan antimikroba sekaligus meminimalisir munculnya AMR, Mukta menyarankan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan mulai memastikan penggunaan antibiotik secara rasional yang mengakui mereka sebagai sumber daya berharga.

Pemerintah juga disarankan untuk memperkuat pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas kesehatan, peternakan, dan tempat industri makanan. Selain itu, memastikan akses ke vaksinasi untuk penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin.

Kemudian pemerintah dapat menerapkan praktik baik dalam produksi pangan, perikanan, dan pertanian sembari memperkuat pendekatan one health pada kementerian/lembaga dan stakeholder terkait.

“Penyalahgunaan dan penggunaan antimikroba yang berlebihan pada manusia, hewan, dan tumbuhan mempercepat perkembangan dan penyebaran AMR di seluruh dunia. Kita juga perlu memastikan akses ke air bersih, sanitasi, dan kebersihan,” kata Mukta.