Kemenkes Imbau Warga Tak Asal Buang Antibiotik Cegah Pencemaran Sungai
JAKARTA - Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengimbau semua warga untuk tidak asal membuang antibiotik yang sudah kedaluwarsa untuk mencegah terjadinya pencemaran air sungai.
“Ya jangan asal dibuang. Itu bahaya karena kalau di kita, takutnya itu (antibiotik kedaluwarsa yang dibuang) dipakai lagi. Orang kita masih menggunakan air sungai, air tanah resapan itu yang banyak,” kata Ketua KPRA Anis Karuniawati dalam Media Gathering Bersama WHO dan FAO di Jakarta, Antara, Rabu, 12 Oktober.
Anis menekankan antibiotik tidak boleh dibuang sembarangan karena kandungannya yang dapat membahayakan lingkungan. Apalagi bila mengingat sebagian besar masyarakat di Indonesia memiliki hidup yang bergantung pada air sungai.
Bila cairan antibiotik tercampur dengan air sungai maka kandungan dalam obat dapat mengenai hewan ataupun lingkungan di sekitar sungai. Saat manusia mengkonsumsi hewan atau mengolah hasil alam tersebut, dikhawatirkan dapat tertular atau menimbulkan potensi resiliensi antimikroba (AMR).
Anis menambahkan penelitian dan data terkait dengan pemeriksaan serta penanganan limbah rumah sakit datanya masih terus berjalan, sehingga membutuhkan waktu pemantauan lebih lanjut. Berbeda dengan luar negeri yang pengolahan kualitas airnya memantau gen-gen tersebut sampai ke luar sungai.
“Meskipun rumah sakit banyak pasien infeksi dengan bakteri resisten, ini kan dibuang. Sementara limbah rumah sakit itu kan punya sistem penanganan limbah tapi ternyata dari pemeriksaan ini datanya masih pilot,” ujarnya.
Oleh karenanya, Anis menyatakan bahwa edukasi dan sosialisasi terkait dengan AMR harus segera digencarkan pada masyarakat, mengingat dampak AMR justru terjadi berkepanjangan di masa depan.
Terutama edukasi yang terkait dengan peningkatan kewaspadaan, karena virus atau bakteri di sekitar dapat melakukan resistensi secara alami, meski memiliki sifat yang lemah.
“Sebenarnya bakteri secara alami akan resisten. Bakteri, virus itu meski makhluk lemah diberi kemampuan untuk mutasi dibanding manusia supaya mereka survive di alam. Jadi dia tidak diapa-apakan akan resisten apalagi diapa-apakan,” ucapnya.
Anis melanjutkan bahwa pemeriksaan atas resistensi antimikroba tersebut sebenarnya tidak diperlukan. Sebab, tubuh manusia dari atas kepala sampai ujung kaki memiliki jumlah sel bakteri yang lebih besar dengan sel-sel yang dimiliki oleh manusia.
Baca juga:
- IDAI Catat 131 Kasus Gangguan Ginjal Akut Misterius pada Anak di 14 Provinsi Indonesia
- Kemenkes Alokasikan Rp30 Triliun untuk Alat non-Bedah Katastropik
- Dinkes Sulteng Ajukan Permintaan 20 Ribu Dosis Vaksin COVID-19 ke Kemenkes
- Sudah Kantongi Berbagai Rekomendasi, Anies Bantah Halte Bundaran HI Langgar Prosedur Cagar Budaya
“Jadi banyak yang tidak diketahui juga spesies (bakterinya), kalau kita mau dicari, itu susah. Kalau saya di swab karena suka ketemu pasien misalnya, itu mungkin ada MRSA di hidung saya. Jadi selama kita sehat itu tidak apa-apa karena memang jadi sulit untuk mengeceknya atau skrining ya,” ucapnya.