Kementerian PUPR Kaji Kepemilikan Rumah Bertahap agar MBR Bisa Punya Hunian Vertikal
JAKARTA - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sedang mengkaji skema kepemilikan rumah bertahap (staircasing ownership) agar masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR bisa memiliki hunian vertikal sebagai tempat tinggal pribadi.
"Skema ini sedang digodok dan kami juga berkonsultasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kemudian perbankan juga melihat dari aspek legal dan semuanya," ujar Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR Herry Trisaputra Zuna, dikutip dari Antara, Selasa 4 Oktober.
Herry berharap skema kepemilikan rumah bertahap itu nantinya bisa dilakukan dengan skema syariah maupun konvensional.
Kementerian PUPR mencatat backlog kepemilikan rumah pada tahun 2021 sebesar 12,7 juta rumah tangga. Selain itu, Indonesia juga mengalami pertumbuhan 600.000 keluarga setiap tahunnya.
Dengan demikian, programnya harus besar dan terjangkau dan masyarakat dengan pendapatan yang terendah bisa difasilitasi. Dengan demikian, tidak sepenuhnya bergantung pada dana pemerintah mengingat dana pemerintah sendiri terbatas.
"Ada pemikiran bagaimana jika produknya dimodifikasi dengan cara skema kepemilikan rumah bertahap, sehingga KPR-nya tidak langsung 100 persen namun dibagi menjadi beberapa bagian," kata Herry.
Sebagai ilustrasi, lanjutnya, kalau rumah tapak cicilannya sekitar Rp1,2 juta dengan suku bunga 5 persen maka untuk rumah vertikal harganya bisa dua kali lipat dari rumah tapak, sehingga cicilan yang harus dibayarkan menjadi lebih besar dan kelompok masyarakat yang bisa memanfaatkannya lebih sedikit karena harus mencicil lebih tinggi.
Baca juga:
Dengan cara dibagi melalui skema kepemilikan rumah bertahap, Kementerian PUPR mengembalikan lagi cicilannya mendekati kondisi awal walaupun rumah yang dicicil merupakan rumah vertikal.
Sebelumnya, pengamat properti Ali Tranghanda menilai Kawasan hunian berbasis transportasi publik atau Transit Oriented Development (TOD) dinilai sebagai solusi untuk penataan perkotaan yang semakin memiliki keterbatasan lahan, seperti di Jakarta. Hal ini dikarenakan TOD mengoptimalkan fungsi lahan yang kian terbatas dan mahal, dengan basis transportasi publik di kawasannya.
Selain itu, TOD menjadi relevan saat ini karena membuat waktu dan aktivitas masyarakat yang bekerja di kota, menjadi tidak banyak terbuang di jalan karena macet. Hunian vertikal TOD seperti itu akan menjadi nilai tambah yang layak diperhitungkan untuk investasi ke depannya.