Eksklusif Rieke Diah Pitaloka Terus Belajar untuk Memperjuangkan Kesejahteraan Masyarakat

JAKARTA - Rieke Diah Pitaloka yang baru saja lulus S3 mengambil jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia. Pemeran Oneng dalam Bajaj Bajuri ini lulus sebagai lulusan dokter tercepat di UI dengan predikar Cumlaude. 

Tentu pencapaian itu bukan hal yang mudah. Apalagi Rieke harus menjalani perkuliahan matrikulasi selama dua semester sebelum pandemi karena program doktoralnya tersebut tidak linier dengan jurusan saat kuliah sarjana dan magister. 

Namun, tekad dan keinginannya menaikkan kuliatas pendidikan diri membuatnya mampu menjadi Doktor Komunikasi dengan cepat. Bagaimana caranya membagi waktu dengan baik? 

"Enjoy aja terus kalo ada masa-masasulit dalam kehidupan kita, itu bukan berarti dunia akan runtuh kemudian kehidupan akan berakhir. Saya selalu mencoba berpikir positif kalau ada hal hal di luar rencana kita terjadi dan itu berat banget buat kita merasa di titik nol kehidupan, itu sebenranya perasaan kita aja kok. Hidup itu terus berjalan dan berusaha bagaimana kita menyikapinya sesuatu itu gak akan kita anggep masalah kalo kita gak anggep masalah," katanya saat berbincang dengan VOI di Taman Ismail Mrzuki, Jakpus, beberapa waktu lalu. 

Rieke Diah Pitaloka (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Kesuksesannya sekarang ini bukan tanpa alasan. Ia mengaku semua berkat dukungan orang tua jauh sebelum ia menjadi seorang artis. Ia mengaku berjuang keras untuk membiayai kuliahnya. Berbagai usaha dirinya lakukan demi bisa berkuliah.

Salah satu usaha yang Rieke Diah Pitaloka lakukan adalah berjualan baju bekas. "Pagi saya harus kuliah, pulangnya itu naik kereta. Saya nyari barang-barang bekas di Senen, pulang ke rumah dicuci, disetrika, terus masukin plastik. Beli lima ribu, jual 10 ribu," terangnya.

Rieke mengenang ia pernah dalam posisi ingin memperjuangkan ekonomi keluarga. Dukungan orang tua menguatkannya. 

“Orang tua saya dari ekonomi pas-pas an yang diwarisi semangat. Orang tua selalu mengatakan tidak bisa mewarisi harta tapi semangat untuk survive sesulit apapun dan pendidikan jadi penting,” jelasnya.

“Berjalannya waktu saya bekerja keras membantu ekonomi keluarga untuk bisa hidup sehari-hari biaya kuliah. Akhirnya saya mulai syuting,” lanjutnya.

Rieke Diah Pitaloka (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Rieke sempat ingin keluar dari kuliah karena sudah mendapat penghasilan sendiri. Namun sang ibu menyadarkannya soal tujuan kuliah sehingga Rieke memutuskan untuk tetap syuting sembari bersekolah.

“Ibu bilang Interaksi dalam ruang pendidikan itu sangat mempengaruhi cara berkomunikasi dengan orang lain. Akhirnya disertasi saya turun ke desa-desa bagaimana desa sebenernya itu sangat berguna dalam menunjang pekerjaan saya sebagai politisi,” lanjutnya.

Dengan kemampuannya, Rieke belajar untuk menerapkan apa yang ia pelajari. Fokusnya adalah data yang seringkali disalahgunakan dalam memberi bantuan sosial, Indonesia sehat, subsidi energi, pupuk, listrik BBM, dan lainnya.

“Saya turun ke lapangan untuk riset dan temuan ini jadi penting buat karier saya. Kalo politisi mengaku membela masyarakat ya harus berdasar data yang akurat,” katanya.

“Saya merasakan betul anggaran negara kita cukup besar. Di atas 2500 triliun. Pertanyaan dasar anggaran sebesar itu mayoritas uang rakyat yang disebut dengan APBN dialokasikan ke berbagai bidang itu basis datanya apa? Mana? Dan itu uang rakyat. Saya selalu sama kas negara itu mengingatkan ini duit rakyat, hak orang. Di balik data yg digunakan bukan hanya soal angka, ada nyawa jutaan rakyat yang dipertaruhkan,” cuapnya.

Membayar Rindu pada Akting

Rieke Diah Pitaloka (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Belajar dari pengalaman hidupnya, Rieke Diah Pitaloka yakin masyarakat Indonesia membutuh akses yang lebih kuat untuk mendapat informasi. Ia berharap data bisa diurus pemerintah dengan baik sehingga bisa menaikkan taraf hidupnya. 

“Orang Indonesia sebenarnya pinter tapi akses dan kesempatan yang seringkali tidak didapatkan. Gak sekolah, gak kuliah bukan berarti mereka bodoh tapi aksesnya itu sulit. Saya memiliki keyakinan bahwa setelah 77 tahun Indonesia merdeka di tengah geopolitik perang dagang, konflik panas, persoalan data ini penting,” lanjutnya.

Begitu juga pajak yang digunakan untuk membeli subsidi energi. Menurut Rieke, semua itu adalah pajak yang dibayarkan masyarakat selama bertahun tahun sehingga seharusnya pemerintah bisa memperlakukan data dengan baik.

“Uang yang digunakan untuk membeli untuk subsidi energi yg totalnya mencapai 520 triliun itu duit rakyat jadi kita gak bisa memutuskan mengalihkan kesana kesini. Kedua adalah saya meminta data penerimaan subsidi yang akurat. Itu gabisa dijadikan alasan untuk menaikan bbm bersubsidi padahal belinya pake duit rakyat. Buat Oneng itu gak masuk akal. Mungkin karena saya terpengaruh Oneng ya jadi hal-hal simpel saya pikir,” katanya.

Rieke Diah Pitaloka (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Katanya, sasaran bbm bersubsidi belum diterima secara merata oleh masyarakat. Salah satu faktornya adalah data yang kurang akurat dan warga desa tidak diberi kesempatan untuk berpartisipasi.

“Balik soal data lagi. Menurut saya ini serius jadi itu data menyangkut data untuk orang tidak mampu jadi saya gak mau main-main. Sebenernya bukan bantuan pemilihan kata bantuan itu saya gak setuju. Bantuan itu sekana dikasih padahal itu duit rakyat. Itu uang pajak, uang rakyat. Keputusan negara kebihajan pemabngunan negara itu berbasis data akurat,” ujarnya.

“Segala keputusan harus ada dasar hukumnya. Saya sedang terus mendesak agar kita memiliki peraturan sistem tata niaga tanah yang berdasar pada data aktual,” katanya lagi.

Ada banyak kekecewaan tidak menghentikan Rieke Diah Pitaloka untuk berjuang demi masyarakat Indonesia. Ia optimistis ke depannya ada Indonesia yang lebih baik dari sekarang.

Rieke pun mengatakan proses belajar di perkuliahan membuatnya jadi seseorang yang banyak belajar. Ia menyarankan perempuan untuk bersekolah lebih tinggi dan menghiraukan cibiran masyarakat.

“Saya optimis ada orang punya kemauan membangun indonesia lebih baik. Adil makmur jangan jadi jargon politik saja. Saya punya pengalaman inisiasi melahirkan bpjs dlm keadaan hamil alhamdulilah berhasil,” tambah Rieke.

Rieke Diah Pitaloka (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

“Saya produk pendidikan lokal dari TK, SD, SMP, SMA, S1, S2, S3 di Indonesia. Saya tahu banyak orang Indonesia pintar tapi ditarik luar negeri. Saya komedian, saya bisa sekolah seperti sekarang karena saya tidak mau melupakan kuliah,” katanya.

“Hal-hal yang qodrat bahwa perempuan adalah manusia juga punya perasaan. Perempuan ah gak usah sekolah tinggi, susah dapet laki itu konstruksi sosial bukan qodrat,” ujar Rieke Diah.

“Persoalan laki dan perempuan punya hak yang sama. Dan terutama ketika menjadi politisi, keputusan kita tidak bisa dipisahkan untuk kepentingan perempuan. Menurut saya perempuan itu juga bagian dari rakyat,” tutup Rieke Diah Pitaloka.

Di dunia hiburan, Reike tak bisa membendung rindu. Dia tak pernah malu menyebutkan diri sebagai komedian. Karena peran Oneng memang telah membuat banyak perubahan dalam hidupnya. Terbaru dia membintangi film Nana (Now, Before, and Then)

Film ini bercerita tentang seorang perempuan Indonesia yang hidup di daerah Jawa Barat di era 1960-an yang diangkat dari sebuah kisah nyata kehidupan Raden Nana Sunani. Kisah seorang perempuan yang melarikan diri dari gerombolan yang ingin menjadikannya istri dan membuatnya kehilangan ayah dan anak.

>

Ia lalu menjalani hidup barunya bersama seorang menak Sunda hingga bersahabat dengan salah satu perempuan simpanan suaminya. Sesuai latar tempatnya, film ini akan menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa utama yang dipakai di film.

Sempitnya waktu membuat Rieke harus memilih proyek yang bisa dilakoni dalam waktu singkat. Sulit baginya untuk tampil striping setiap hari layaknya Bajaj Bajuri lagi. Karena itu, Rieke melimpahkan rindunya pada teater. 

Dia berpartisipasi dalam sebuah lakon teater berjudul Perempuan-Perempuan Pilihan. “Ini pertama kali saya bermain tearter setelah sekian tahun, lebih dari 10 tahun tidak bermain teater. Seru banget, tegang banget, tapi juga latihannya tidak terlalu berat, dan bermain dengan para senior-senior yang luar biasa, seneng banget,” ujar Rieke.

Dalam teaterpun, Rieke memilih peran yang memperjuangkan wanita. “Ini mewakili perempuan-perempuan sebetulnya, dan tema-tema sosial diangkat disini, dan bagaimana pada akhirnya ini bukan soal laki-laki atau perempuan, tapi bagaimana semua bisa bekerja sama, bisa melakukan hal-hal yang baik untuk kepentingan bersama,” ujarnya.