Ceruk Besar Ekonomi Digital, Pemerintah Bidik E-Commerce Dukung Penerimaan Pajak

JAKARTA – Pemerintah disebutkan terus melakukan upaya optimalisasi ekonomi digital demi mendukung sumber penerimaan negara, utamanya dalam hal perpajakan.

Asisten Deputi Ekonomi Digital Kemenko Perekonomian Rizal Edwin Manansang menyebut salah satu yang menjadi objek sekaligus subjek strategis adalah sektor e-commerce.

“Kami memastikan bahwa arah kebijakan pajak telah mempertimbangkan dampaknya terhadap perkembangan industri e-commerce nasional, termasuk bagi UMKM yang memanfaatkan market place dalam memperluas bisnis mereka,” ujarnya dalam keterangan tertulis pada Jumat, 23 September.

Menurut Rizal, pemberlakuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) telah memperluas basis perpajakan nasional dengan turut menyasar sektor digital.

“Dari aturan turunannya, yaitu PMK Nomor 60 tahun 2022, mengamanahkan penyelenggara (e-commerce) harus memungut PPN 11 persen atas produk luar negeri yang dijualnya di Indonesia. Pajak ini wajib dipungut perusahaan yang memiliki nilai transaksi melebihi Rp600 juta setahun atau Rp50 juta sebulan,” tuturnya.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum idEA Bima Laga menjelaskan berharap regulasi tersebut tidak diterapkan secara mendadak mengingat diperlukan waktu untuk melakukan edukasi kepada para UMKM yang ada di platform e-commerce.

“Kita harus memberikan edukasi kepada para pedagang, begitu juga dengan Undang-Undang HPP ini bagaimana nantinya kita bisa memberikan waktu yang cukup dalam penerapannya,” kata dia.

Senada, peneliti pajak dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Adrianto Dwi Nugroho menyampaikan penunjukan pihak tertentu (e-commerce) sebagai pemungut pajak akan melemahkan self assessment system yang dianut.

Sebab, kewajiban pelaporan dan penyetoran pajak oleh seorang wajib pajak atau PKP, misalnya pelaku usaha yang memperoleh laba usaha pada penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri justru dialihkan kepada pihak lain.

"Menurut kami untuk marketplace ini sementara dianggap tidak mempunyai kapasitas. Karena dia hanya menjadi intermedia dalam suatu transaksi, dia tidak mengetahui status si seller sudah memenuhi syarat atau tidak," ucapnya.

Adrianto mengkhawatirkan terjadi disinformasi karena marketplace tidak mengetahui status wajib pajak atau PKP dari sellernya. Lalu, mereka diminta untuk memotong dan menyetorkan ke kas negara. Padahal, ada sejumlah informasi tidak dimiliki, salah satunya terkait volume transaksi.

"Ini bisa mempengaruhi kapasitas intermedia, termasuk dari vendor apakah sudah PKP atau belum untuk memenuhi syarat tersebut. Jadi dari sisi kapasitas marketplace ini ada problem yang harus diselesaikan sebelum ini bisa diterapkan," tegas dia.