Aspebindo Ungkap Alasan Pengusaha Enggan Suplai Batu Bara ke PLN

JAKARTA - Wakil Sekertaris Jenderal Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo) Bhirawa Wicaksana membeberkan alasan pengusaha enggan menyuplai batu bara ke Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan terdapat 52 perusahaan yang telah melaksanakan kewajiban domestic market obligation (DMO) sebesar 25 persen dari total produksi untuk sektor kelistrikan, hingga Juli 2022.

Namun, masih ada 71 perusahaan batu bara yang belum melaksanakan kewajiban tersebut.

Bhirawa mengungkapkan, salah satu alasan 71 perusahaan belum memenuhi kewajiban DMO adalah karena masih adanya disparitas harga yang tinggi di pasar domestik.

Adapun pemerintah mematok harga 70 dolar AS per ton bagi industri kelistrikan dan 90 dolar AS bagi industri semen dan pupuk.

"Sementara smelter sesuai harga pasar dan kebutuhan batu bara smelter melonjak. Harga batu bara untuk di kisaran 412 dolar dan PLN 70 dolar," ujarnya dalam diskusi di Jakarta pada Rabu 23 Agustus.

Tak hanya itu saja, juga terdapat ketimpangan besaran pinalti yang dikenakan kepada penambang sebagaimana yang diatur di dalam Kepmen ESDM nomor 13 tahun 2022 yang menyatakan pengusaha akan terkena pinalti berupa sebesar harga pasar ekspor saat ini yakni sebesar 400 dolar AS dikurangi harga batu bara dengan patokan HBA 70 dolar ASA.

Untuk batu bara kalori 4.600, besaran dendanya adalah 188 dolar AS per ton.

Sedangkan penambang yang tidak berkontrak dengan PLN walaupuan spesifikasi batu baranya dibutuhkan oleh PLN, hanya dikenakan penalti berupa kompensasi.

Untuk batu bara kalori 4.600, besaran kompensasinya hanya 18 dolar AS per ton.

"Dari dulu permasalahannya sama. Bongkar pasang skema dan tidak selesai sejak dulu," lanjutnya.

Ia menyebut, terdapat tantangan yang juga dihadapi oleh pengusaha dalam memasok kebutuhan batu bara guna memenuhi kebutuhan nasional.

Pertama, kuota kargo dari pemilik tambang sangat terbatas akibat lebih banyak untuk pasar ekspor.

Kedua, harga dari tambang cenderung mengikuti harga ekspor, sementara harga untuk PLN dan Industri nonsmelter di-capping

"Harga pasar ekspor lebih menarik dibandingkan dengan harga pasar domestik sehingga banyak yang memilih melakukan ekspor dan membayar pinalti," imbuhnya.

Terakhir, terdapat keterbatasan suplai tongkang untuk pasar domestik akibat banyak digunakan untuk trans-shipment dan ekspor.

Untuk informasi, Kementerian ESDM telah mengeluarkan 123 surat penugasan kepada perusahaan-perusahaan produsen batu bara untuk memenuhi kewajiban DMO dan wajib menyuplai batu bara sebesar 18,89 juta ton kepada PLN.

"Telah diterbitkan 123 surat penugasan kepada badan usaha pertambangan dengan total volume penugasan sebesar 18,89 juta ton dengan realisasinya sampai Juli 8,03 juta ton dari 52 perusahaan," ujarnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR pada Selasa 9 Agustus.

Arifin juga merinci beberapa alasan perusahaan tersebut tidak atau belum melakukan kewajibannya, antara lain, terdapat lima perusahaan yang terkendala cuaca ekstrem, 12 perusahaan yang menyuplai batu bara tidak sesuai kebutuhan, dua perusahaan yang tambangnya belum beroperasi karena masalah lahan, empat perusahaan kesulitan mendapatkan moda angkut batu bara dan terdapat 48 perusahaan yang belum melapor.

"Kementerian ESDM terus memantau komitmen badan usaha yang belum melaksanakan penugasan dengan memberikan sanksi terhadap badan usaha yang tidak melakukan penugasan tanpa ada keterangan yang jelas. Maka fitur ekspornya pada aplikasi Minerba Online Monitoring Sistem (MOMS) akan terblokir," lanjut Arifin.