Menyoroti Kasus SMAN 1 Banguntapan, Bantul: Bagaimana Aturan Jilbab di Sekolah?
JAKARTA - Rasa khawatir HA muncul ketika anaknya menelpon. Hanya suara tangisan, tanpa sepatah katapun terdengar. Usai telepon ditutup, pesan whatsapp masuk, lagi-lagi dari anaknya. Kekhawatiran HA semakin besar, apalagi ketika membaca isi pesan tersebut.
“Mam aku mau pulang, aku enggak mau di sini,” kata HA menceritakan apa yang sedang dialami putrinya pada 26 Juli 2022, pasca menjalani Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di SMAN 1 Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Hampir bersamaan, suami HA memberitahu bahwa anaknya berada di kamar mandi lebih dari satu jam. HA langsung bergegas ke sekolah dan menemukan anaknya di ruang Unit Kesehatan Sekolah. Si anak langsung memeluk HA sambil menangis.
“Tidak bicara apa-apa, dia hanya menangis ,” sambung HA.
Dia semakin kesal saat mengetahui apa yang menimpa anaknya. “Anak saya dipaksa memakai jilbab.”
Menurut HA, tidak benar bila pihak sekolah negeri memaksa muridnya memakai jilbab, terlebih hingga membuat murid depresi. Pihak sekolah seharusnya menghargai pilihan muridnya. “Bukan justru terus-terusan bertanya, kenapa tidak mau pakai jilbab.”
“Saya seorang perempuan yang kebetulan memakai jilbab, tapi saya menghargai keputusan dan prinsip anak saya. Saya berpendapat setiap perempuan berhak menentukan model pakaiannya sendiri,” tambah HA.
HA mengaku anaknya sampai mengalami trauma hingga harus mendapat pendampingan psikolog akibat kejadian tersebut.
Yang semakin membuat HA naik pitam, ada oknum guru yang menuduh anaknya tidak mau mengenakan jilbab karena ada masalah keluarga.
"Banyak orang punya tantangan masing-masing. Guru-guru yang merundung mengancam anak saya, saya ingin bertanya, 'Punya masalah apa Anda di keluarga sampai anak saya jadi sasaran? Bersediakah bila kalian saya tanya balik seperti ini?" sahut HA.
Mengetahui itu, Wakil Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Daerah Istimewa Yogyakarta, Suhirman langsung memanggil Kepala Sekolah SMAN 1 Banguntapan Agung Istiyanto beserta guru BK, guru agama, dan wali kelas.
Dari penjelasan guru BK, apa yang dilakukannya hanya sekadar memberi contoh, mengajari cara memakai jilbab. “Jadi, enggak ada pemaksaan,” kata Suhirman.
Agung pun mengatakan, hanya sebatas tutorial. “Karena saat ditanya belum pernah pakai jilbab, lalu guru mengatakan gimana kalau kita tutorial, dijawab mengangguk (oleh siswi). Guru BK lalu mencari jilbab di ruangannya karena ada contohnya. Lalu, guru ngomong kalau kita contohkan gimana? Dijawab murid enggak papa dan siswanya mengangguk boleh,"
Kendati masih sebatas dugaan, Sultan Hamengku Buwono X langsung mengambil langkah tegas dengan menonaktifkan Kepala Sekolah dan 3 guru SMAN 1 Banguntapan. Tidak boleh mengajar sampai ada kepastian.
Adapun terkait penggunaan jilbab untuk murid aturannya sudah jelas. “Tidak boleh memaksa, tidak boleh juga melarang. Pakai jilbab boleh, tapi jangan dipaksa,” tutur Sultan dilansir dari VOI.
KPAI Turun Tangan
Sejauh ini, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Itjen Kemendikbudristek) terus bersinergi menangani dugaan kasus pemaksaan berjilbab di SMAN 1 Banguntapan.
KPAI sudah melakukan observasi dan meminta keterangan dari sejumlah pihak. Pada hari pertama, kata Komisioner KPAI Retno Listyarti, KPAI sudah bertemu dan meminta keterangan terkait kronologi pemaksaan berjilbab kepada ayah korban.
“Ternyata, kejadian sudah berulang kali. Pada tanggal 18, 20, 25, dan 26 Juli 2022,” kata Retno kepada VOI, Rabu (3/8).
Dari assesmen psikologi korban pasca kejadian, secara singkat diketahui korban mengalami pukulan psikologis. Mengalami depresi hingga sempat mengunci diri di kamarnya selama beberapa hari sampai akhirnya korban berhasil dibujuk dan diyakinkan untuk keluar kamar dan menemui pendampingnya.
KPAI bersama Tim Itjen Kemendikbud Ristek juga menggali keterangan dari ibu korban yang selalu melakukan chatting dan komunikasi lisan dengan anak korban.
“Keterangan Ibu korban didukung rekaman chatingan dengan anak korban, mulai dari korban mengikuti MPLS sampai peristiwa 26 Juli 2022 saat ibu korban menjemput anaknya ke sekolah karena menangis terus dan sempat mengurung diri di toilet sekolah. Artinya ada hubungan antara peristiwa-peristiwa yang dialami korban di sekolah dengan kondisi psikologis korban,” ujar Retno.
Pada hari kedua, KPAI dan Itjen Kemendikbud Ristek menggali keterangan kronologis peristiwa dari pihak sekolah.
“Pada intinya, guru BK dan wali kelas memang mengakui ada peristiwa memasangkan jilbab pada anak korban di dalam ruang BK, namun dalihnya hanya sebagai tutorial,” jelas Retno.
KPAI dan Tim Itjen Kemendikbud Ristek juga sempat berkeliling kelas-kelas dan melihat lokasi-lokasi kejadian seperti di UKS, toilet, ruang BK, gazebo dan kantin sekolah. Semua lokasi yang ada dalam cerita korban, orangtuanya dan juga para guru yang terkait.
“Saat memasuki areal sekolah, saya melihat peserta didik yang sedang berolahraga, dan yang perempuan memang menggunakan jilbab semua. Saat masuk kedua kelas semua anak perempuan memang berjilbab, begitu pun ketika berkeliling sekolah dan menyapa para peserta didik. Menurut keterangan kepala sekolah, memang siswi muslim di sekolah tersebut berjilbab meskipun tidak aturan sekolah wajib menggunakan jilbab,” Retno mengungkapkan.
“KPAI dan Itjen Kemendikbud Ristek akan terus mengawal kasus ini, dan seluruh hasil pengawasan akan dipergunakan sebagai landasan mengeluarkan rekomendasi atas kasus tersebut,” tandas Retno.
Terkait penggunaan atribut keagamaan dalam lingkungan sekolah, Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah sudah memberikan arahan jelas.
Setiap murid boleh menggunakan atribut keagamaan di sekolah. Sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarangnya.
“Pakaian seragam khas sekolah diatur oleh masing-masing sekolah dengan tetap memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya masing-masing,” bunyi Pasal 3 ayat 4 poin d.
Drama Aturan Jilbab
Aturan penggunaan jilbab di Indonesia bisa dibilang ‘dramatis’. Pemerintah Orde Baru sempat melarangnya sekitar tahun 1970-an. Tidak boleh ada murid sekolah yang mengenakan jilbab ke sekolah.
Aturan itu berubah sekitar tahun 1990an dan berjalan hingga masa transisi Orde Baru ke pascareformasi.
“Lebih bebas, mau pakai seragam pendek boleh, panjang boleh, kerudung boleh. Inilah yang kemudian diformulasikan oleh Kemendikbud dalam Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014,” kata Koordinator Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim dilansir dari BBC, Senin (1/8).
Lalu, tiga menteri menegaskan kembali aturan penggunaan jilbab di sekolah negeri lewat Surat Keputusan Bersama (SKB). Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menandatangani aturan bersama.
“Institusi sekolah tidak boleh lagi mewajibkan siswa maupun tenaga kependidikan menggunakan seragam dengan atribut keagamaan tertentu. Agama apa pun itu. Penggunaan seragam sekolah dengan atribut keagamaan di sekolah negeri merupakan keputusan murid dan guru sebagai individu,” kata Nadiem kepada wartawan, dalam penandatangan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri secara daring di Jakarta pada 3 Februari 2021.
Namun, hanya berselang 3 bulan, Mahkamah Agung membatalkan SKB tersebut. Mahkamah Agung menyebut SKB 3 Menteri soal seragam sekolah bertentangan dengan Pasal 1 angka 1 dan angka 2, Pasal 3 dan Pasal 12 Ayat 1 huruf a UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Kemudian Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 2 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Selanjutnya bertentangan dengan Pasal 1 angka 1 UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak. Dan terakhir bertentangan dengan Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah.
Dengan pembatalan tersebut, penggunaan jilbab di sekolah disesuaikan dengan aturan sekolah masing-masing dan adat budaya wilayah dimana lokasi sekolah berada.
Semisal di Sumatera Barat. Seperti diungkapkan oleh Sayuti dari Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau dilansir dari BBC.
“Di sini matrilineal sistem, sudah ada sejak dulu orang Minangkabau itu diajarkan oleh ibu bapak, ninik mamak, kalau laki-laki berpeci dan berkain sarung, kalau perempuan baju kurung dan kerudung. Semua itu kan menutup aurat, itu bukan Islam, tapi kearifan lokal dan kearifan lokal itu dilindungi oleh undang-undang,” ujar Sayuti.
Baca juga:
- Proyek Percontohan Pengembangan Sorgum Dimulai: Hasil Riset Membuktikan Tanaman Ini Kaya Manfaat
- Kasus Temuan 3,4 Ton Beras Dipendam di Depok: Belum Tuntas Kok Malah Ditutup?
- Strategi Indonesia Bergerak di Antara Amerika Serikat dan China: Menyikapi Kunjungan Nancy Pelosi ke Taiwan
- Seragam Baru Kementerian ATR BPN: Percuma Jika Tongkat Komando dan Baret Tak Mampu untuk Gebuk Mafia Tanah