Legislator PKB di DPR: Bukan Hal Mustahil Istri Sambo jadi Korban Kekerasan Seksual

JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akan menjadwalkan pemanggilan terhadap mantan Kadiv Propam Polri nonaktif Irjen Pol Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawati, untuk dimintai keterangan terkait kematian Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. 

Brigadir J tewas setelah baku tembak dengan Bharada E yang disebut-sebut mendengar teriakan istri Ferdy Sambo di rumahnya di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan pada Jumat, 8 Juli. Putri Chandrawati (PC), pun diduga menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh Brigadir J, yang juga merupakan anak buahnya. 

Kasus dugaan kekerasan seksual terhadap istri Sambo pun menimbulkan pro kontra, lantaran sebagian publik beranggapan bahwa tidak mungkin seorang anak buah berani melakukan perbuatan asusila kepada istri majikannya. Padahal, tidak mustahil juga jika anak buah berani berbuat hal menyimpang.

Anggota Komisi VIII DPR RI, MF Nurhuda Yusro, mengatakan kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan seksual bisa terjadi di ruang-ruang privat seperti rumah, lingkungan sekolah dan pelakunya adalah orang-orang terdekat dengan korban.

Berdasarkan Catatan Akhir Tahun (Catahu) Komnas Perempuan (2019), sebanyak 71 persen atau 9.637 kasus kekerasan seksual terjadi di ranah privat. Dari angka tersebut, 1071 diantaranya adalah kasus inses. Diikuti perkosaan, pencabulan, persetubuhan, eksploitasi seksual, marital rape, pelecehan seksual, percobaan pemerkosaan, perbudakan seksual, kekerasan seksual di dunia maya dan aborsi.

“Data di atas menunjukkan bahwa ruang-ruang privat yang selama ini dianggap aman seperti rumah, bukan hal yang mustahil seorang istri majikan mendapatkan ancaman kekerasan seksual di lingkup rumah oleh anak buahnya. Apalagi, korban sampai melaporkan kasusnya untuk mendapatkan perlindungan,” ujar Nurhuda kepada wartawan, Rabu, 3 Agustus.

Dalam kacamata psikologi, lanjut Nurhuda, pelaku kekerasan seksual terbagi menjadi dua. Pertama, pelaku kekerasan seksual yang motifnya adalah balas dendam. Kedua, kekerasan seksual yang pelakunya adalah karena memiliki gangguan kejiwaan.

“Bagi pelaku kekerasan seksual yang motifnya balas dendam, biasanya ia melakukan kekerasan seksual karena ingin melihat orang lain menderita. Penyebabnya, mungkin pelakunya pernah mendapatkan perlakuan yang sama. Sehingga, ia senang jika orang lain mengalami hal serupa,” jelas Anggota Fraksi PKB ini.

Menurut Nurhuda, hal ini berbeda dengan pelaku kekerasan seksual karena memiliki gangguan kejiwaan. Biasanya, kata dia, penyimpangan yang dilakukan karena pelaku memliki masa lalu yang kelam. Rata-rata, pelaku jenis ini mengalami trauma terhadap sebuah peristiwa di masa lalu.

“Sehingga, ia menciptakan perilaku baru yang abnormal untuk tetap bertahan hidup,” katanya.

Pada dasarnya, tambah Nurhuda, manusia mempunyai kebutuhan biologis. Sayangnya, karena pengalaman masa lalu yang buruk atau pelaku juga pernah menjadi korban, maka ia menyalurkan hasrat seksualnya dengan melakukan pelecehan.

“Kekerasan seksual adalah sebuah kejahatan kemanusiaan. Karena nilai kemanusiaan itulah seseorang disebut sebagai manusia. Melalui kemanusiaannya pula, manusia saling mencintai, mengasihi, melindungi, menghormati dan tolong menolong. Jika seseorang melakukan kekerasan seksual, maka kemanusiaannya sedang bermasalah,” kata Nurhuda.