Eksklusif Roy Marten Mempersiapkan Warisan Terbaik untuk Anak Cucu

JAKARTA - Menyebut nama Roy Marten tentu langsung teringat tentang film. Bapak enam anak ini (Monique, Aline, Galih, Gading, Menari dan Gibran) ini nyaris sepanjang hidupnya sudah dihabiskan untuk berakting.

Akting menjadi kebutuhan buat suami Anna Maria ini. Karena itu, Roy tak ada niat unutuk berhenti berakting selama nyawa masih di kandung badan. Ia selalu bersemangat saat melakoni akting.

Saat pandemi COVID-19 menghantam, Roy Marten yang sudah berusia 70 tahun dan masuk kategori lansia ini masuk kategori rentan dan berisiko tinggi. Namun, keinginannya untuk sembuh membuatnya kembali sehat. Syukur dan rasa senang tak henti dipanjatkan.

"Pasti senang. Pas saya kena covid itu kan bulan-bulan februari kalo gak salah itu kan masih ganas-ganasnya. Semua teman pada khawatir. Saya masuk di RS Mitra Keluarga Bekasi Timur semua khawatir karena saya umurnya 70," kata Roy saat VOI berkunjung ke kediamannya di Bekasi, beberapa waktu lalu.

Kembali sehat dan bisa pulang untuk bersyukur dengan keluarga adalah berkah baginya. "Saya bisa pulang sementara yang di situ anak-anak muda banyak yang meninggal juga ketika itu ya sebuah rasa bersyukur. Keluarga saya banyak banget yang kena tapi semuanya sehat kembali," jelasnya.

Cobaan itu membuatnya kembali mengingat arti penting hidupnya. Kesuksesan yang dicapai tak ada nilainya jika sakit.

"Apa yang kita kejar itu gak ada apa apanya kesehatan itu utama. Kemudian semua pernak pernik tetek bengek ternyata bisa kita rem keserakahan kita tentang kebendaan, keserakahan kita tentang kepemilikan yang aneh-aneh itu tidak ada gunanya ketika pandemi," kata Roy.

Roy Marten (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Jangankan untuk syuting, untuk melakukan kegiatan sehari-hari saja sulit dilakukan. Jaga jarak dan pembatasan demi memutus mata rantai COVID-19 diharuskan.

Padahal, sejak kecil Roy tidak pernah istirahat syuting. Wajah ganteng khas peranakan Eropa menjadi modal utama menekuni karier di dunia akting pada dekade 1970-an. Manisnya peran sebagai aktor sudah dirasakan Roy. Ia pun total mengabdikan hidupnya untuk dunia akting.

Pria bernama asli Wicaksono Abdul Salam ini lahir di Salatiga, Jawa Tengah, 1 Maret 1952. Roy muda hadir pada waktu tepat, ketika dunia film Indonesia tengah berkembang. Debutnya dalam film Bobby (1974) menjadi awal yang apik. Tahun berikutnya ia langsung didapuk bermain dalam film Cintaku di Kampus Biru (1975) bersama mendiang Rae Sita Supit.

Sejak itu putra pasangan Abdul Salam (Jawa) Nora Salam (Belanda) menjadi bintang film laris. Memasang Roy sebagai pemain dalam sebuah film menjadi jurus ampuh untuk menggaet penonton. Ia menjadi incaran produser setiap film. Tahun 1977 adalah tahun terbanyak Roy membintangi film.

Tak kurang dari 12 judul film dibintanginya di tahun itu. Mulai dari Badai Pasti Beralu, Akibat Pergaulan Bebas, Kugapai Cintamu, Tinggal Bersama, Kembang Kembang Plastik, Aula Cinta, Pengalaman Pertama, Secerah Senyum, Kekasihku, Christina, Guna-guna Istri Muda, dan Jangan Menangis Mama.

Tapi pandemi membuat filmografinya sempat terhenti. Dia tak banyak keluar untuk syuting.

"Karena pandemi gak bisa pergi, sangat terbatas seperti di dalam penjara gitu. Sebuah pembelajaran utama bagi kita adalah sehat yang kedua adalah keluarga. Yang lain-lainnya ikutan aja tapi pertama itu kesehatan keluarga," tegasnya.

Roy Marten (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Seolah terlahir kembali dengan kesempatan kedua, Roy menjadi saksi hidup sejarah perkembangan negara Indonesia. "Waktu anak-anak masih suasana kemerdekaan kemudian saya ngalami resesi ekonomi: antri beras, antri minyak, saya udah makan telor diparuh empat, itu gak bisa makan nasi setiap hari. Kemewahan yang luar biasa kalo kita pakai pakaian-pakaian yang bagus. Masih ada yang pakai karung goni untuk celana ketika itu," kenangnya.

"Makan tiga kali itu kemewahan kemudian terjaid G30S, sebuah peristiwa yang amat mengerikan untuk saya. Tetangga saya mengalami diciduk, dibunuh, sekeluarga berantakan. Bapaknya diangkut tanah ya masih waduh sebuah chaos yang luar biasa. Bencana kemanusiaan yang luar biasa ketika itu," lanjut Roy.

Hidup membawanya terus melihat perubahan yang terjadi di Indonesia. Roy Marten melihat negara tercinta bergejolak hingga mapan secara ekonomi.

"Saya ngalami ketika perubahan ekonomi. Indonesia terbuka, barang barang asing masuk, zaman mulai modern. Saya ke Jakarta terus main film. Peristiwa itu semua saya ikut mengalami," terangnya.

Di antara semua peristira yang dialaminya, Roy Marten menyebut Pandemi COVID-19 adalah bencana yang paling menakutkan.

"Yang paling menakutkan itu pandemi. Puji tuhan umur 70 masih boleh pulih lagi dan masih dapat calling-an. Saya masih aktif dalam semua hal," syukurnya.

Roy Marten (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Di masa jayanya Roy Marten dan empat bintang film lainnya; Yatie Octavia, Robby Sugara, Jenny Rachman dan Dorries Callebaut menjadi bintang film Indoniesia yang honornya paling mahal. Mereka berlima disebut sebagai The Big Five karena berani mematok honor “selangit” sekali main dalam sebuah judul film di era 1977-1978.

Puluhan film sudah dibintang hingga produksi film nasional berada pada titik nadir tahun 1990-an. Saat itu ia tak kehilangan akal. Hadirnya televisi swasta nasional membuka peluang baru bagi Roy dan bintang film dan pekerja film untuk untuk tetap berakting dan beraktivitas. Berakting di sinema elektornik pun ia jalani lewat sinetron Bella Vista, lalu Senja Makin Merah, Kupu-kupu Kertas, dan puluhan judul lain.

Prioritas Roy berubah saat pandemi. Menjadi sehat adalah yang utama. Bertahan sampai dengan endemi dengan pemberian vaksin merata di usia senja adalah sebuah pencapaian baginya. Roy mesti menolak tawaran-tawaran akting, meski rindu syuting tak bisa dihalangi.

"Tidak hanya pandemi, saya kadang-kadang menolak tawaran. Mungkin 6-7 bulan saya gak syuting tapi saya selalu kepengin. Kangen lagi suasana syuting," terangnya.

Syuting adalah caranya untuk selalu 'hidup'. Mendapatkan energi baru dari anak muda membuatnya tak bosan berkarya. "Yang dikangeni dari syuting itu kayak kumpul, menjiwai peran kita masing-masing, ketemu anak muda yang ceritanya sudah berbeda, planetnya sudah berbeda, kan kayak gitu. Jadi saya bersyukur masih bisa kumpul dengan mereka," imbuh Roy Marten.

Roy Marten (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Setiap bencana selalu ada hikmahnya. Setiap ada kerugian, selalu ada keuntungan. Itulah yang diyakini Roy Marten sehingga bisa menerima pandemi sebagai jalan Tuhan yang harus dijalani.

"Jadi ketika direm 2 tahun, terpenjara orang-orang nggak bisa nonton nggak bisa ini sosialisasi sekarang meledak, film meledak lagi," terangnya.

Roy terus mengikuti perkembangan film Indonesia termasuk pencapaian rekor baru dari film KKN di Desa Penari yang memecahkan rekor baru penonton terbanyak di Indonesia.

"Mudah mudahan ini membangkitkan tidak hanya sementara karena sudah 2 tahun terpenjara di rumah tapi mudah-mudahan ini isyarat baik buat film Indonesia," harapnya.

Hal ini membuatnya optimistis Indonesia akan jaya di masa depan. Bahkan jika saat itu terjadi Roy Marten sudah tidak di dunia, dia sudah bisa merasakan kebanggaannya.

"Saya melihat Indonesia akan luar biasa, mungkin saya gak ngalamin tapi republik ini akan berjaya kalo di tangan yang tepat," yakinnya.

Tantangan setiap waktu selalu ada, Roy tak menampiknya. "Yang saya khawatirkan jumlah penduduk kita meledak, saya melihat bisa jadi bonus demografi bisa jadi beban. Kita punya 270 juta jumlah yang harus dikasih makan dengan sumber daya yang kurang," tegasnya.

Seperti dua mata pisau, bonus demografi bisa menjadi sesuatu yang menguntungkan tapi juga bisa menjadi beban. Tapi Roy percaya Indonesia bisa mengatasinya dengan baik.

"Saya percaya pemerintah berusaha meningkatkan ini yang penting adalah pendidikan. Kedua ada revolusi pada teknologi di mana ditemukan digital, metaverse yang akan datang, penemuan yang tak terpikir 10 tahun. Jangan sampai Indonesia hanya menjadi user tapi harus ikut di dalamnya. Kecerdasan buatan agak mengkhawatirkan tapi itu risiko yang harus dihadapi," tegasnya.

Roy Marten (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Anak muda, lanjutnya, harus belajar tentang masa depan bukan masa lalu. "Bukan tidak belajar sejarah. Dunia kita sangat berbeda makanya harus cerdas. Pemerintah harus mengarahkan informasi ke anak muda bahwa tidak perlu kita gak perlu 16 mata pelajaran. Secara total lebih berguna daripada semua kita tahu," harap Roy Marten.

Memiliki cucu sebagai harapan baru, Roy Marten ingin anak cucubya mendapat pelajaran ilmu baru yang cocok untuk kebutuhan dunia baru. "Jika tidak, kita hanya jadi masa lalu. Mau jadi dokter, insinyur, bukan gak praktis tapi akan ada paradigma baru. Kita hilang sesuatu, kita akan menemukan sesuatu yang baru. Itu sebuah konsekuensi dari peradaban yang kita kuasai kemudian kita terkekang dan kita lihat demokrasi Indonesia seperti apa," katanya.

"Ketika kita remaja kita ga boleh kemana-mana tiba-tiba dilepas. Ada eforia yang berlebihan. Ketika tiba tiba ada teknologi baru mereka punya mainan baru tanpa tanggung jawab pasti kita alami," lanjutnya.

Tapi perubahan bukan sesuatu yang perlu ditakuti. Dia yakin anak muda adalah agen perubahan itu sendiri. Mereka butuh jam terbang, perlu melakukan kesalahan agar tahu konsekuensi salah dan benar.

"Perubahan selalu dari anak muda. Pertama mencoba, kemudian mencari tahu. Kadang kita tidak tahu mana yang benar. Biarkan anak muda mencoba dalam batas tertentu dan mereka akan lihat karena butuh jam terbang," jelasnya.

Dia mencontohkan dirinya sendiri yang mengaku punya pengalaman menghadapi berbagai suasana di Indonesia. Pada akhirnya, pengalaman itu tidak membantunya menghadapi perubahan teknologi. Karena itu anak muda punya peran penting untuk kemajuan Indonesia.

"Saya punya pengalaman masa lalu yang cukup komplit tapi untuk dalam hal depan saya harus belajar dari anak muda. Saya agak gaptek dengan teknologi, planet yang berbeda. Mau belajar umur saya udah gak sempet," katanya.

Roy Marten bukan cuma aktor gaek dalam layar lebar maupun dalam layar kaca. Dia adalah aktor gaek dalam kehidupan. Dihantam berbagai cobaan, Roy tetap tegak berdiri, menghadapi masalah dan menjadi lebih kuat. Kini, waktunya Roy mengabdikan diri sepenuhnya pada keluarga

"Ketika saya merenungkan sendiri saya punya istri yang cantik, begitu setia, anak-anak saya yang punya keluarga istimewa. Saya punya karya, saya lihat ke belakang cukup terberkati. Semua hal udah saya dapat dari Tuhan jadi hanya rasa syukur apalagi yang belum? Masih banyak tapi sudah mau minta apa lagi sih rasanya terlalu banyak yang saya dapat. Bukan berarti menyombongkan tapi rasa bersyukur terlalu banyak hal yang saya terima," katanya.

>

Tak mau muluk-muluk, kini Roy bersiap meninggalkan warisan terbaik untuk anak cucu. Bukan harta, dia ingin meninggalkan kenangan yang indah sebagai warisan terbaik

"Kesadaran manusia tentang kematian pasti ada. Apalagi ketika teman-teman kita pergi, kita mau memberikan sesuatu. Saya kira kenangan yang paling indah bahwa anak-anak merasa dicintai. Ada masa masa kita meninggalkan anak ya iya, pembiaran mungkin saya pribadi yang dirasakan anak. Apakah saya pernah mengecewakan mereka ya pasti. Mereka harus percaya orang tuanya mencintai mereka," tegasnya.

Menutup perbincangan, Roy Marten memberikan petuah bijak untuk kita semua. "Hidup ini seperti pertandingan ada estafet ada saatnya kita kalah menang, tapi yang penting bagaimana kita memenangkan pertandingan itu. Pertolongan Tuhan itu pasti. Jangan berhenti ketika kita kalah. Kalah bukan berarti ketika kita rubuh, kalah itu ketika kita menolak untuk bangkit," katanya.

"Saya pernah mengalami kekalahan tapi saya menolak untuk menyerah. Saya bangkit dan saya memenangkan pertandingan itu," tutup Roy Marten.