4.906 Hektare Tanaman Pala di Aceh Selatan Rusak Terserang Penyakit

ACEH - Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Selatan mencatat sebanyak 4.906 hektare dari 17.040 hektare tanaman pala di daerah setempat rusak akibat empat penyakit dan serangan sekunder dari hama rayap dan penggerek.

"Permasalahan utama memang masih ada penyakit pala dan serangan hama, dan kita terus mengupayakan pengendalian penyakit pala ini," kata Kabid Perkebunan Dinas Pertanian Aceh Selatan Ferdi yang dihubungi dari Banda Aceh, Antara, Senin, 25 Juli.

Ferdi menyebutkan, berdasarkan data terakhir hingga akhir Desember 2021 lalu tanaman pala di Aceh Selatan seluas 17.040 hektare yang tersebar di 16 dari 18 kecamatan.

Namun, dari jumlah tersebut terdapat 5.294 hektare belum menghasilkan, kemudian 6.840 hektare sudah memiliki hasil dan 4.906 rusak.

"Sedangkan untuk hasil produksi pala di Aceh Selatan tahun lalu itu hanya 5.372 ton. Kalau untuk 2022 belum kita simpulkan baik kondisi tanaman atau hasilnya," ujarnya.

Ferdi menyampaikan, permasalahan yang dihadapi petani pala di Aceh Selatan saat ini adalah masih terjadinya serangan penyakit dan hama, sehingga produktivitas serta pendapatan petani menurun.

Ferdi menyebutkan, adapun empat penyakit yang menyerang tanaman pala di Aceh Selatan antara lain jamur akar putih, layu pembuluh atau gejala khas pada daunnya. Lalu kanker batang dan penyakit busuk akar.

"Selain empat penyakit tersebut juga terdapat serangan sekunder dari hama berupa rayap dan penggerek batang pada tanaman yang terserang penyakit itu," kata Ferdi.

Ferdi menambahkan, menangani permasalahan tersebut pihaknya terus melakukan berbagai tindakan sesuai saran dan rekomendasi dari hasil monitoring/survey OPT (organisme pengganggu tanaman) pala.

Seperti, lanjut Ferdi, melakukan kegiatan demfarm pengendalian dengan menggunakan metabolit sekunder metode infus akar dan aplikasi pupuk organic serta APH Trichoderma.

APH Trichodherma mempunyai nilai yang lebih dibandingkan dengan menggunakan pengendalian secara kimia karena lebih ramah lingkungan dan tidak meninggalkan residu yang berbahaya baik bagi tanaman maupun lingkungan.

"Kemudian, bahannya juga mudah didapat dan ada di sekitar lingkungan petani, mudah diaplikasi, dapat menyehatkan tanaman, meningkatkan produksi, mencegah ledakan OPT sekunder dan efisiensi waktu dan tenaga kerja," ujarnya.

Dalam kesempatan ini, Ferdi berharap pemerintah provinsi hingga pusat dapat menganggarkan biaya memadai untuk pengendalian hama atau penyakit pala tersebut.

"Kita minta masyarakat petani pala juga lebih serius dalam melakukan implementasi pengendalian OPT pala sesuai anjuran dan petunjuk teknis, sehingga permasalahan pala ini dapat teratasi secara maksimal," demikian Ferdi.