Eks Dirut Krakatau Steel Fazwar Bujang Jadi Tersangka Korupsi Proyek Pabrik Blast Furnace

JAKARTA - Kejaksaan Agung  menetapkan lima tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan pabrik blast furnace (BFC) oleh PT Krakatau Steel (Persero) pada 2011.

Satu dari lima tersangka yakni, Direktur Utama PT Krakatau Steel periode 2007-2012 Fazwar Bujang.

Sedangkan empat tersangka lainnya yaitu, Direktur Utama PT Krakatau Engineering periode 2005-2010 Andi Soko Setiabudi dan Deputi Direktur Proyek Strategis 2010-2015, Bambang Purnomo selaku Direktur Utama PT Krakatau Engineering periode 2012-2015.

Lalu, Hermanto Wiryomijoyo alias Raden Hernanto selaku Ketua Tim Persiapan dan Implementasi Proyek Blast Furnace tahun 2011 dan General Manager Proyek PT KS periode dari Juli 2013 sampai Agustus 2019, dan Muhammad Reza selaku Project Manager PT Krakatau Engineering periode 2013-2016.

Kelima tersangka tersebut dikenakan pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Ketut Sumedana mengatakan, empat tersangka ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas I Jakarta Pusat Salemba terhitung sejak 18 Juli hingga 20 hari ke depan.

Sementara untuk Fazwar Bujang menjadi tahanan kota selama 20 hari ke depan.

"Untuk mempercepat proses penyidikan, lima orang Tersangka dilakukan penahanan," katanya dalam keterangan resmi, Senin, 18 Juli.

Sebelum dilakukan penahanan, kata Ketut, kelima tersangka telah dilakukan pemeriksaan kesehatan dan swab antigen dengan hasil negatif COVID-19.

Ketut mengatakan, pada tahun 2011-2019 PT. Krakatau Steel (persero) melakukan pengadaan pembangunan Pabrik Blast Furnace Complex yaitu pabrik yang melakukan proses produksi besi cair (hot metal) dengan menggunakan bahan bakar batu bara (kokas) dengan tujuan untuk memajukan industri baja nasional dengan biaya produksi yang lebih murah karena dengan menggunakan bahan bakar gas, maka biaya produksi lebih mahal.

"Direksi PT Krakatau Steel (Persero) tahun 2007 menyetujui pengadaan pembangunan pabrik BFC dengan bahan bakar batubara dengan kapasitas 1,2 juta ton per tahun hot metal," kata Ketut.

Menurut Ketut, nilai kontrak pembangunan Pabrik Blast Furnace PT KS dengan sistem turnkey (terima jadi) sesuai dengan kontrak awal Rp4,7 triliun hingga addendum ke-4 membengkak menjadi Rp6,9 triliun.

Kontraktor pemenang dan pelaksana yaitu MCC CERI konsorsim dengan PT Krakatau Engineering.

"Dalam pelaksanaan perencanaan, tender/lelang, kontrak, dan pelaksanaan pembangunan, telah terjadi penyimpangan. Hasil pekerjaan BFC saat ini mangkrak karena tidak layak dan tidak dapat dimanfaatkan dan terdapat pekerjaan yang belum selesai dikerjakan. Akibatnya, diduga mengakibatkan kerugian negara sebesar nilai kontrak Rp6,9 triliun," jelasnya.

Dalam perkara ini, tambah Ketut, telah dilakukan pemeriksaan terhadap 119 orang saksi.

Selain itu juga telah dilakukan penyitaan terhadap dokumen terkait perencanaan proyek BFC, pengadaan proyek BFC, pelaksanaan pengerjaan proyek BFC, pembayaran kepada vendor, pembiayaan oleh bank sindikasi dan dokumen terkait lainnya.

"Sementara penggeledahan dilakukan pada Kantor PT Krakatau Steel di Cilegon Banten dan PT. Krakatau Engineering," katanya.

Ketut menjelaskan, tim penyidik juga telah meminta keterangan dari Ahli Keuangan Negara, Ahli Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Ahli Metallurgy, Iron and Steel Making, Blast Furnace Process, Ahli Blast Furnace, serta Ahli Teknik Sipil dan Manajemen Konstruksi.

Selain itu, adanya alat bukti surat/dokumen terkait perencanaan dan pelaksanaan terkait proyek BFC.