Tiga Siswa Meninggal Akibat Belajar Online, FSGI: Negara Wajib Cegah Depresi

JAKARTA - Meninggalnya tiga siswa di sepanjang penerapan pembelajaran jarak jauh (PJJ) pada masa pandemi menyadarkan fakta bahwa pemerintah belum memperhatikan dampak mental siswa yang kesulitan belajar secara daring (online).

Pertama, siswa SD meninggal karena dianiaya orang tuanya akibat sulit mencerna pelajaran secara daring. Kedua, meninggalnya seorang siswi SMA di kabupaten Gowa yang bunuh diri meminum racun karena tugas PJJ yang menumpuk. Ketiga, seorang siswa MTs di kota Tarakan yang gantung diri karena tugas PJJ yang menumpuk. 

Atas dasar itu, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) meminta pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan berperan dalam memahami dampak psikologis siswa yang menjalani PJJ.

“Kementerian Kesehatan dan dinas-dinas kesehatan di daerah harus bersinergi dengan dinas-dinas pendidikan kantor Kementerian Agama di kabupaten/kota maupun provinsi untuk ikut bantu membina kesehatan mental peserta didik,” kata Retno dalam keterangannya, Minggu, 1 November.

 

Berdasarkan hasil pantauan FSGI terhadap pelaksanaan PJJ Fase pertama yang hanya berlangsung dari Maret-Juni 2020, mulanya peserta didik cenderung mampu mengatasi tekanan psikologis. Sebab, pembelajaran tatap muka sempat dilakukan selama 9 bulan sebelumnya.

Selain itu, guru mata pelajaran, wali kelas dan teman-teman satu kelasnya masih sama dan mereka sudah sempat komunikasi aktif sebelumnya, sehingga sudah saling mengenal dan bisa saling membantu. 

Namun, hasil pemantauan pada PJJ fase kedua, anak-anak lebih sulit mengatasi permasalahan psikologis, sehingga berpengaruh pada kesehatan mental siswa.

Gejala-gejala umum seperti menurunnya semangat untuk menjalankan aktivitas, mudah marah, dan cepat kehilangan konsentrasi itu mulai tampak jika PJJ terjadi secara berkepanjangan. 

"Karena pada fase 2 ini, anak naik kelas dengan situasi yang berubah, wali kelasnya ganti, guru mata pelajarannya berbeda, dan kemungkinan besar kawan-kawan sekelasnya juga berbeda dari kelas sebelumnya," tutur Retno.

"Pergantian kelas dengan suasana yang baru tanpa tatap muka, membuat anak-sanak sulit memiliki teman dekat untuk saling berbagi dan bertanya. Akibatnya, kesulitan pembelajaran ditanggung anak sendiri jika anak tersebut tidak berani bertanya kepada gurunya," lanjut dia.

Karenanya, Retno menyebut pihaknya mendesak pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk melakukan evaluasi menyeluruh dari pelaksanaan PJJ  fase kedua yang sudah berlangsung hampir satu semester ini. 

"Hasil evaluasi dipergunakan untuk perbaikan PJJ, baik dari sisi pemerintah, sekolah, madarasah maupun orangtua untuk membantu siswa belajar dan mengurangi beban psikologisnya selama menjalani PJJ," tutup dia.