Kongres Sumpah Pemuda Nyaris Batal Bila Tak Ada Sunario Sastrowardoyo
JAKARTA - Kongres Pemuda Indonesia Kedua yang terlaksana pada 27 Oktober dan 28 Oktober hari ini hampir satu abad lalu atau pada 1928 nyaris batal. Pasalnya, mereka sempat tak mendapat izin Kepolisian Hindia Belanda untuk menggelar acara. Tapi berkat Sunario Sastrowardoyo, salah seorang mahasiswa hukum yang aktif dalam pergerakan persatuan Indonesia, masalah bisa teratasi. Bagaimana kisahnya?
Kesuksesan Kongres Pemuda Indonesia Pertama pada 1926 membuat Pemerintah Hindia Belanda merasa dikencingi. Pasalnya, Kepolisian Hindia Belanda masuk dalam jebakan Ketua Pelaksana Kongres Pemuda Indonesia Pertama M. Tabrani.
Acara itu diawasi langsung oleh Ketua Komisaris Kepolisian Hindia Belanda, Visbeen. Namun Visbeen teralihkan perhatiannya dan tak sempat mengawasi jalannya Kongres karena diajak ngobrol oleh asistennya, Abdulrahman yang sudah bersekongkol dengan Tabrani. Selain itu Tabrani juga sengaja menyambut Visbeen dengan putra-putri rupawan yang membuai dan mengalihkan perhatian si pemberi izin acara.
Kongres kemudian berlangsung khidmat sampai melahirkan semangat persatuan kebangsaan. Gerakan pemuda yang semula hanya membawa kepentingan kedaerahan kini sudah mulai mau melebur mendorong kepentingan persatuan nasional.
Tapi di sisi lain, keberhasilan Kongres Pemuda Indonesia Pertama menjadi malapetaka untuk Pemerintah Hindia Belanda. Mereka merasa kecolongan. Dan akibat kelalaian Visbeen, jabatannya sebagai Ketua Komisaris Kepolisian dicopot.
"Pemerintah Hinda Belanda segera mengetahui ketololan Visbeen setelah menerima naskah-naskah pidato M. Tabrani, Paul Pinontoan, dan yang lain-lain. Visbeen dicopot," kata Tabrani seperti dikutip B. Sularto dalam Dari Kongres Pemuda Indonesia Pertama ke Sumpah Pemuda (1986).
Membangkitkan kesadaran nasional
Kongres Pemuda Indonesia Pertama itu berhasil membangkitkan semangat persatuan. Akibatnya gerakan-gerakan pemuda semakin marak.
Pada September 1926 para mahasiswa Indonesia di Batavia, mendirikan suatu organisasi kemahasiswaan. Nama organisasi itu adalah Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI).
Hingga pada 1927, Sugondo Joyopuspito, pemimpin PPPI, berhasrat untuk melanjutkan kegiatan yang telah dirintis M. Tabrani dan kawan-kawan. Ia berhasrat untuk menyelenggarakan Kongres Pemuda Indonesia Kedua.
Sugondo kemudian menghubungi tokoh-tokoh sarjana Indonesia yang pernah memimpin organisasi Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda. Tokoh itu antara lain Sartono dan Sunario Sastrowardoyo.
Di tanah air mereka ikut memimpin pergerakan kebangsaan. Sunario misalnya, ia telah berhasil mempersatukan sejumlah organisasi kebangsaan dan mendirikan Persaudaraan Antar Pandu Indonesia (PAPI).
Dua orang sarajana tersebut memberi dukungan penuh kepada gagasan kelompok Sugondo. Mereka bahkan menyatakan kesediannya untuk menjadi Penasehat Hukum kelompok Sugondo.
Kongres kedua
Pada Juni 1928 Sugondo dan kawan-kawan berhasil menghimpun delapan organisasi pemuda dan satu organisasai pelajar untuk bermusyawarah. Kedelapan organisasi itu di antaranya Jong Java, Jong Celeves, Jong Ambon, Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong Islamieten Bond, Pemuda Kaum Betawi, Pemuda Indonesia dan PPPI.
Saat itu dibentuklah Panitia Kongres Pemuda Indonesia ke-2 yang diketuai Sugondo. Wakilnya, Joko Marsaid dari Jong Java dan Muhammad Yamin sebagai sekretaris.
Setelah mencapai mufakat akhirnya Kongres Pemuda Indonesia ke-2 diputuskan akan dihelat pada 27-28 Oktober 1928. Kabar pelaksanaan Kongres tersebut cepat menyebar ke masyarakat luas.
Dalam Kongres tersebut disepakati empat poin pembicaraan. Pertama tentang persatuan Indonesia, kedua pendidikan, ketiga pergerakan pandu Indonesia, dan keempat tentang pergerakan pemuda Indonesia di dalam dan luar negeri. Selain akan diisi ceramah kebangsaan, Panitia Kongres juga sepakat untuk menyelenggarakan acara khusus yakni pawai pandu Indonesia.
Nyaris batal
Setelah konsep dan susunan acara tersusun rapi, masih ada satu lagi hal yang perlu diurus, yakni perizinan. Acara tak akan terlaksana bila tak mendapat izin dari Kepolisian Hindia Belanda.
Namun, pihak Kepolisian Belanda menolak untuk memberi izin. Alasannya, dalam daftar acara Kongres ada acara pawai pandu Indonesia. Penolakan itu merupakan pukulan bagi Panitia Kongres.
"Sebenarnya, polisi dapat melarang acara pawai pandu tanpa melarang pelaksanaan kongres. Tapi, rupanya mereka tidak mau mendapat malu untuk kedua kalinya," kata Sugondo.
"Bukankah mereka telah mendapat malu dalam Kongres Pemuda Indonesia Pertama? Karena kecerdikan M. Tabrani yang berhasil mengelabui Komisaris Kepala Polisi. Nah, daripada kali ini mungkin terkecoh lagi, lebih baik mereka tak memberi izin pelaksanaan Kongres yang kedua ini," ujarnya.
Meski gagal mendapat izin, panitia enggan mengumumkan pembatalan pelaksanaan Kongres. Panitia berunding dengan penasehat. Akhirnya mereka mencari cara lain untuk bisa mendapatkan izin.
Salah satu penasehat Sunario Sastrowardoyo berencana untuk menemui pembesar Pemerintah Hindia Belanda bernama Kiewiet de Jonge. Ia didampingi oleh rekannya Arnold Mononutu.
Sunario yang kelak menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia ketujuh ini dengan ramah namun tegas meminta kepada de Jonge agar mereka diberi izin untuk melaksanakan Kongres Pemuda Indonesia Kedua, meskipun pawai pandu dilarang. Perundingan yang menegangkan itu berlangsung selama dua hari.
Setelah melobi pembesar tersebut, akhirnya de Jonge memberi perintah kepada Kepala Kepolisian Hindia Belanda untuk mengeluarkan surat izin tersebut. Izin akhirnya keluar dengan beberapa syarat yakni tak boleh ada pawai pandu, dan para pemuda di bawah umur 18 tahun dilarang mengikuti acara, dilarang mengecam kebijakan dan menghasut untuk melawan kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.
Akhirnya acara Kongres Pemuda Indonesia Kedua dapat terlaksana. Dalam Kongres itu akhirnya melahirkan tiga poin keputusan, yang isinya sebagai berikut:
Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Ketiga baris kalimat putusan Kongres Pemuda Indonesia itu kemudian lebih dikenal sebagai Sumpah Pemuda.