Epidemiolog Griffith University: Dunia Semakin Rawan Wabah dan Virus
JAKARTA - Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman menyatakan kondisi dunia saat ini semakin rawan berbagai jenis wabah dan lahirnya varian virus selain COVID-19 yang dapat mengancam kualitas kesehatan manusia.
“Ini harus disadari bahwa dunia sudah tidak sama lagi seperti sebelum pandemi COVID-19. Dunia semakin rawan, semakin rentan terhadap penyakit menular khususnya yang (menularkan, red.) lewat udara,” kata dia dikutip Antara, Senin, 6 Juni.
Dia menuturkan kondisi Bumi saat ini sudah jauh lebih buruk. Kualitas udara baik di dalam maupun luar ruangan kian hari tidak membaik. Akibatnya, banyak penyakit yang menyebabkan terjadinya infeksi pada saluran pernapasan atas.
Perilaku manusia yang semakin berubah dan terkadang tidak peduli dengan alam, ucapnya, juga menjadi salah satu penyebab munculnya wabah ataupun virus yang dapat membahayakan kesehatan manusia.
“Masing-masing sudah harus bisa menilai, ada di mana kita, apakah kualitas udara di kantor misalnya itu sudah diperbaiki? Sebenarnya seperti masalah COVID-19, jangan hanya vaksinasi tapi kualitas udara juga harus diperbaiki. Apakah AC dalam ruangan sudah pakai ultraviolet atau sirkulasi udaranya bagaimana,” ujar dia.
Belajar dari pengalaman wabah kolera atau infeksi penyakit yang ditularkan melalui air yang sudah terkontaminasi, Dicky mengatakan semua pihak harus meningkatkan pengetahuan akan sebab akibat serta upaya melindungi diri dari sebuah wabah tersebut.
Misalnya saat wabah kolera, cara yang dapat dilakukan adalah memperbaiki kualitas air dan mengubah perilaku hidup jadi lebih bersih, sedangkan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi diri dari polusi ataupun penularan penyakit melalui udara adalah dengan menggunakan masker.
Berdasarkan salah satu riset terkait penggunaan masker saat pandemi COVID-19, dia membeberkan bahwa masker dapat menurunkan sampai 80 persen risiko penularan pada saat berhadapan dengan gelombang varian COVID-19.
Dicky mengatakan negara yang mewajibkan warganya untuk memakai masker memiliki jumlah kematian yang lebih rendah. Perbandingan kematiannya bisa mencapai 50 per satu juta orang dengan negara yang tidak mewajibkan menggunakan masker ketika terjadi gelombang besar seperti akibat varian Delta lalu.
“Tidak ada keraguan secara ilmiah dan fakta terkait efektifitas masker dalam mencegah penularan penyakit infeksi saluran pernapasan seperti COVID-19. Dampaknya amat sangat nyata begitu juga efektivitasnya,” kata pria yang juga berprofesi sebagai ahli global security health itu.
Baca juga:
Dicky mengatakan banyak negara bagian di Amerika mulai menerapkan kembali kebijakan memakai masker karena jumlah kasus infeksi kembali naik.
Dengan demikian, setiap pihak harus memahami bahwa masker mampu memberikan proteksi dari luar tubuh. Namun, harus diimbangi dengan vaksin sebagai proteksi dari dalam tubuh.
Ia menambahkan bahwa penting bagi pemerintah untuk memastikan setiap pelonggaran dalam menghadapi suatu wabah diambil berdasarkan kajian yang berbasis data.
Pemerintah juga harus terus memastikan pemahaman masyarakat meningkat terlebih dahulu, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk menilai risiko dari suatu penyakit di manapun dan kapanpun.
“Saya rasa kita masih harus meningkatkan literasi pemahamannya. Seperti saat kita sampai di satu lokasi yang secara lingkungan risikonya kecil, baik secara individu yang ada di tempat itu dan kita sendiri juga kecil risikonya. Misal sama-sama sudah tiga dosis, di outdoor sirkulasinya baik seperti itu,” kata dia.