Harry Roesli: Profesor Musik Nyentrik yang Doyan Kritik Politik
JAKARTA - Harry Roesli adalah ikon musik kontemporer. Kemampuannya berintersaksi dengan segala jenis aliran musik memungkinkan dirinya masuk di setiap lapisan masyarakat.
Dirangkum dari berbagai sumber, pada awal kariernya, Harry tak langsung bersentuhan dengan musik kontemporer. Layaknya anak muda seangkatannya, musik rock n’ roll merasuki jiwanya. Bersama Harry Potjang, sahabatnya waktu SMP, ia membentuk band Batukarang pada 1968.
Pada saat Bandung diinvasi musik psikedelik. Batukarang berubah nama menjadi Tippis. Di sini, Harry makin memperlihatkan kepiawaiannya dalam merekam ulang peristiwa sosial dan politik ke dalam lirik-lirik lagu.
Tahun 1971 ia membentuk Gang Of Harry Roesli bareng Albert Warnerin (gitar, perkusi, vokal), Iwan Abdurachman (gitar, vokal), Janto Soedjono ((drum, perkusi), Indra Rifai (organ, piano, perkusi), dan Harry Potjang (harmonika, perkusi, vokal).
Melalui album pertama bertajuk Philosophy Gang, Harry menunjukkan betapa ia jatuh cinta pada isu lingkungan. Malaria salah satu komposisi yang hingga kini masih mendengung merupakan gambaran buramnya pemerintah kita saat itu.
Dari tahun 1972 hingga 1975 Harry secara konsisten merilis album Harry Roesli Solo sebanyak empat volume. Imajinasinya kian liar tatkala berhasil mementaskan ‘Opera Ken Arok’. Kisah sejarah yang penuh pengkhianatan, korupsi, dan perselingkuhan yang diterjemahkan Harry sebagai gambaran carut marutnya pemerintahan Indonesia.
Kiprah Harry dalam musik rock terus berlanjut. Bersama God Bless, Gipsy, Voodoo Child, Giant Step, Rollies Paramour, Odalf, Freedom of Rhapsodia, dan Yeah Yeah Boys, Harry Roesly tampil dalam pesta musik udara terbuka ‘Kemarau 75’ di lapangan Gedung Sate, Bandung, 31 Agustus 1975.
Sebelumnya ia juga ikut bersama belasan grup musik pada pesta musik semalam suntuk, ‘Summer 28’, pada 16 Agustus 1973 di Pasar Minggu, Jakarta. Pemusik urakan ini memang tidak bisa diam, ia tidak pernah ambil pusing manggung di mana. Di sebuah kafe yang pengunjungnya cuma seratus orang atau lapangan terbuka yang ditonton puluhan ribu orang tak jadi masalah.
Sebagai seorang musisi, Harry tak pernah bersentuhan langsung dengan pasar. Sebagian besar karyanya tak ada yang sukses secara komersial. Tetapi Harry cukup pintar. Untuk menjaga konsistensi dapurnya tetap ‘ngebul’ ia menjamah dunia layar lebar sebagai seorang ilustrator.
Beberapa film yang memperlihatkan sentuhan kreatifnya antara lain Suci Sang Primadona (1977), Cas Cis Cus (1989), Di Sana Senang Di Sini Senang (1990), Om Pasikom (1990), dan sejumlah film lainnya.
Berbagai kegiatan yang digelutinya sebetulnya menunjukkan bahwa Harry bukanlah seorang pemusik rock. Sebagaimana musik lainnya, rock hanyalah media untuk berekspresi, terutama untuk kaum muda, inilah kelebihan Harry.
Selama 26 tahun, tidak kurangi 25 judul album dirampungkannya. Bisa dikatakan, Harry lebih produktif dibanding para pemusik pop dan rock pada umumnya di negeri ini.
Dalam kurun waktu yang hampir sama, God Bless hanya menghasilkan lima album, ditambah dengan solo album Achmar Albar juga masih di bawah jumlah milik Harry.
Menurut majalah Rolling Stone Indonesia, yang bisa menandingi Harry dalam jumlah album mungkin hanya Koes Plus dan Hetty Koes Endang.
Hasil rekaman ‘Rock Opera Ken Arok’ pada tahun 1977 bahkan sempat menjadi rebutan dua produser, Apple Records dan Eterna, hingga harganya melonjak menjadi Rp 4 juta, tawaran yang sangat tinggi waktu itu.
Kalau dihitung berdasarkan harga kaset tahun 1977, nilai rekaman Ken Arok itu sekarang berkisar antara Rp100-Rp200 juta.
Harry Roesli adalah seorang manusia super sibuk. Ia nyaris selalu berada di berbagai aspek kehidupan. Ia bergaul dengan sejumlah LSM, musisi, dramawan, pejabat pemerintah, hingga pengamen jalanan.
Kehidupannya bagai mesin sehingga mengakibatkan dirinya jatuh sakit lantaran pola makan dan tidurnya awut-awutan. Diabetes, hipertensi, asam urat, kolesterol tinggi, dan paru-paru membuatnya keluar masuk rumah sakit berkali-kali.
Bulan Desember 2004 tubuhnya kembali ambruk akibat penyempitan pembuluh darah. Ia menjalani perawatan di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta. Sabtu 11 Desember 2004 tensi darahnya tinggal sekitar 60. Tim dokter pun segera dihubungi, namun jiwanya sudah tak tertolong lagi. Harry Roesli mengembuskan napas terakhir pada hari Sabtu, 11 Desember 2004 sekitar pukul 19.55 WIB.
Jenazah lelaki kelahiran 10 September 1951 itu disemayamkan di rumah duka, Jalan Besuki 10 Menteng, Jakarta Pusat. Keesokan harinya Harry dimakamkan di pemakaman keluarga di Pasirmulya Bogor.