DPR Minta Mendagri Tito Karnavian dan Gubernur Harus Lebih Transparan Dalam Pengangkatan Pj Bupati atau Wali Kota
JAKARTA - Anggota DPR RI dari fraksi Demokrat, Achmad meminta Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian untuk mengevaluasi kembali proses pengangkatan Penjabat (Pj) Bupati/Wali Kota untuk lebih terbuka dan transparan.
Hal ini menanggapi respons dari beberapa Gubernur yang merasa direkomendasikan tidak diakomodir oleh Mendagri sehingga menimbulkan polemik di daerah yang berujung penundaan pelantikan Pj Bupati/Wali Kota.
"Perlu dievaluasi kembali kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat dalam hal ini Kemendagri tentang penetapan Pj untuk bupati dan wali kota yang tidak mengakomodir usulan dari Gubernur," kata Achmad melalui keterangan tertulisnya, dikutip Jumat 27 Mei.
Kata Achmad, memang Undang-Undang No 10 Tahun 2016, Mendagri mempunyai hak prerogatif dalam penunjukan Pj Bupati/Wali Kota tanpa usulan maupun di luar usulan dari gubernur. Meski demikian, kata dia, di dalam menjalankan hak prerogatif tersebut sebaiknya Mendagri tidak hanya semata-mata berprinsip kepada kewenangan atau peraturan yang ada.
"Namun juga harus mempertimbangkan moral, etika politik dan kearifan lokal sehingga diharapkan kebijakan dengan hak prerogatif itu tidak menimbulkan konflik/kegaduhan, keresahan di daerah," jelasnya.
Legislator asal Riau ini meminta ke depan diharapkan kepada Mendagri agar konflik kegaduhan dan keresahan tidak terjadi lagi. Untuk itu perlu pemantapan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi dalam proses penetapan calon Penjabat Bupati/Wali Kota sehingga asas sentralisasi dan azas desentralisasi dapat seiring dan sejalan dalam rangka menjalankan sistem pemerintahan di Indonesia.
"Di samping itu transparansi dari berbagai pihak baik dari pihak gubernur maupun pihak Mendagri diperlukan. Sehingga seorang Penjabat Bupati dan Wali Kota setelah dilantik siap bekerja di wilayahnya dan tidak disibukkan dengan isu-isu proses pengangkatannya," tuturnya.
Achmad menuturukan, agar tidak terjadi polemik dan terkesan tarik menarik kepentingan. Gubernur juga harus lebih transparan dalam menyampaikan nama yang diusulkan itu kepada masyarakat.
"Gubernur juga harus transparan siapa nama yang diusulkan untuk menjadi Pj. Dan gubernur meminta pandangan dan pendapat dari tokoh masyarakat, baik tokoh adat, tokoh politik dan pendidikan. Dengan demikian, maka gubernur telah melakukan demokrasi terbatas," terangnya.
Lebih lanjut, mantan Bupati Rokan Hulu dua periode itu mengatakan, hal ini sangat penting karena seorang kepala daerah tugasnya cukup berat sebagai administrator pemerintahan, pembangunan dan sekaligus juga pembinaan kesejahteraan sosial masyarakat serta pembinaan sosial politik di daerahnya.
Baca juga:
"Apalagi situasi dan kondisi di negara kita ini yang didera COVID-19 selama 2 tahun terakhir mengakibatkan terpuruknya ekonomi masyarakat, terganggunya kesehatan masyarakat dan juga mempengaruhi sektor-sektor kehidupan lainnya. Ini tantangan yang dihadapi daerah khususnya Penjabat Bupati dan Wali Kota," sebutnya.
Sebagai tugas pengawasan anggota DPR RI, Achmad mengingat akan banyak lagi Penjabat Bupati/Wali Kota yang akan ditunjuk mengisi kekosongan kepala daerah yang berakhir menjelang Pemilukada serentak 2024.
"Maka kerjasama koordinasi integrasi sinkronisasi transparansi sangatlah diperlukan antara pemerintah pusat dalam hal ini mendagri dan pemerintah daerah dalam hal ini gubernur dalam rangka menjaga situasi dan kondisi yang kondusif aman terkendali untuk menyongsong pesta demokrasi rakyat tahun 2024 yaitu pemilihan umum dan pilkada," jelas Achmad.
Sebagai mantan birokrasi dan politisi, Achmad menuturkan pengangkatan Penjabat Bupati/Wali Kota tidak akan terlepas dari kepentingan politik, karena jabatan tersebut strategis dan politis.
"Namun untuk berjalannya proses dan mekanisme demokrasi yang terbatas, transparansi, kearifan lokal, moral dan etika politik jangan sampai dikesampingkan karena kita ingin bersama-bersama kedepan ini proses dari pencalonan Pj Bupati dan Wali Kota itu tidak menambah hangat, hiruk-pikuknya Pemilu 2024 dan Pilkada 2024," terangnya.
Achmad berpandangan, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, Gubernur adalah pejabat pusat yang ada di daerah dalam rangka menjalankan asas sentralisasi dan juga gubernur adalah kepala daerah daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat dengan legitimasi yang kuat dalam rangka menjalankan asas desentralisasi atau otonom.
Achmad menuturkan, sebaiknya Mendagri dan gubernur sebagai kepala daerah sama-sama membangun spirit dan bertekad dalam mengaplikasikan sistem pemerintahan di Indonesia sehingga terwujud saling menghormati, saling menghargai satu sama lainnya.
"Sehingga di samping suasana kondusif aman dan terkendali juga dapat akselerasi pembangunan menurunkan angka kemiskinan, mengurangi pengangguran, meningkatkan pendapatan masyarakat yang bermuara terwujudnya masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan," pungkasnya.