RUU Cipta Lapangan Kerja adalah Hajat Setiap Rakyat yang Bekerja

JAKARTA - Pemerintah kembali merancang produk Undang-Undang (UU) yang memicu kekhawatiran. Kali ini, produk hukum itu bernama RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka). Serikat buruh bergerak menolak. Segelintir pekerja lain masih anteng, seakan mereka bukan bagian dari kelas pekerja. Tidak bisa begitu. Jika Anda adalah rakyat dan Anda bekerja, maka ini adalah hajat tentang Anda.

Siang tadi, ratusan buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) berdemo di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senayan, Jakarta. Mereka menolak omnibus law RUU Cilaka lantaran dianggap merugikan pekerja dan berorientasi pada keuntungan pengusaha semata.

"Konsep 'mudah rekrut-mudah pecat' dalam RUU Cilaka akan memiskinkan kelas buruh Indonesia, menghilangkan jaminan bekerja, namun justru melindungi pelanggaran ketenagakerjaan yang kerap dilakukan pengusaha," kata Juru Bicara Gebrak Ilhamsyah dikutip dari Suara.com, Senin, 13 Januari.

Kami merangkum sejumlah poin mengkhawatirkan dalam RUU Cilaka yang berpotensi menghimpit nasib para pekerja. Pertama adalah tentang penghapusan upah minimum. Indikasi penghapusan upah minimum dapat dilihat dari rancangan skema upah per jam yang termaktub dalam RUU Cilaka.

"Dampak terburuk yang secara langsung dirasakan buruh adalah hilangnya upah minimum. Hal ini, terlihat, dari keinginan pemerintah yang hendak menerapkan sistem upah per jam," kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dalam siaran pers.

Said khawatir, pekerja yang bekerja tak sampai 40 jam per pekan bakal mengantongi upah di bawah angka minimum. Soal pernyataan pemerintah yang menyebut pekerja yang bekerja 40 jam per pekan akan mendapat upah seperti biasa, Said melihat itu sebagai akal-akalan penguasa semata.

Bagaimana pun, dalam praktiknya, UU Cilaka akan memberi keleluasaan bagi pengusaha menentukan jam kerja, termasuk menurunkan jam kerja. Belum lagi kaitannya dengan hak beribadah, cuti, dan lainnya. Upah per jam akan membuat pekerja yang libur hari besar keagamaan atau cuti kehilangan hak dibayar.

Ilustrasi foto (Yudhistira Mahabharata/VOI)

Bukan cuma soal kekhawatiran. Sebab, jika skema upah per jam ini ketuk, pemerintah sejatinya melakukan pelanggaran UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur tak boleh ada pekerja yang mendapatkan upah di bawah upah minimum. "Upah minimum berlaku bagi semua warga negara yang bekerja sebagai jaring pengaman. Tidak ada dua istilah, misalnya upah minimum bulanan dan upah minimum per jam," kata Said.

"Karena itu, sangat terlihat jika pemberian upah per jam adalah mekanisme untuk menghilangkan upah minimum. Karena ke depan akan banyak perusahaan yang mempekerjakan buruhnya hanya beberapa jam dalam sehari," tambahnya.

Kedua, terkait pesangon yang menyusut. Said menjelaskan, RUU Cilaka mengusung istilah baru, yakni tunjangan PHK yang jumlahnya setara enam bulan upah. Ini juga bertentangan dengan UU 13/2003 yang menetapkan besaran pesangon sembilan bulan yang dapat dikalikan untuk dua jenis PHK tertentu sehingga pekerja korban PHK bisa saja dapat jumlah 16 bulan upah.

Selain itu, UU 13/2003 juga mengatur penghargaan masa kerja maksimal sepuluh bulan upah serta penggantian hak minimal 15 persen dari total pesangon dan/atau penghargaan masa kerja. "Dengan kata lain, pesangon yang sudah diatur dengan baik di dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 justru akan dihilangkan dan digantikan dengan istilah baru, tunjangan PHK yang hanya 6 bulan upah. Padahal sebelumnya, buruh berhak mendapatkan hingga 36 bulan upah lebih," tutur Said.

Poin lain yang patut disoroti adalah masuknya tenaga kerja asing (TKA) ke Indonesia. RUU Cilaka akan jadi 'karpet merah' bagi masuknya TKA. Menurut bocoran yang diterima Said, RUU Cilaka akan menghapus berbagai syarat TKA untuk bekerja di Indonesia. "Hal ini, tentu saja akan mengancam ketersediaan lapangan kerja untuk orang Indonesia. Karena pekerjaan yang mestinya bisa ditempati oleh orang lokal, diisi oleh TKA," kata Said.

Hal lain yang dikhawatirkan Said adalah aturan pengangkatan tenaga kerja yang semakin tak jelas. Jika UU 13/2003 menetapkan lima jenis pekerjaan yang dapat di-outsourching-kan, RUU Cilaka akan membuat pengusaha lebih leluasa menetapkan sistem kerja outsourching pada semua jenis pekerjaan. Selain itu, RUU Cilaka akan berdampak pada jaminan kesejahteraan pekerja.

Segalanya dibangun atas nama fleksibilitas pasar kerja dan keramahan pada investasi. "Dengan skema sebagaimana tersebut di atas, jaminan sosial pun terancam hilang. Khususnya jaminan hari tua dan jaminan pensiun. Mencermati wacana omnibus law, ini bukan hanya permasalahan pekerja. Tetapi juga permasalahan seluruh rakyat Indonesia," kata Said.

Urusan seluruh rakyat yang bekerja

Seperti yang dikatakan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, RUU Cilaka adalah urusan seluruh rakyat Indonesia. Terutama mereka yang bekerja dan digaji, setidaknya. Sayang, isu ini belum mendapat perhatian besar dari para pekerja.

Suni (28), seorang pekerja di sebuah perusahaan iklan mengaku tak mengetahui adanya RUU ini. "Yang gue tahu (ramai diperbincangkan) itu kan UU KPK kemarin," katanya dihubungi Senin, 13 Januari.

Yang menggelitik adalah jawaban Suni ketika kami menanyai tanggapannya soal demo buruh siang tadi. Ia berucap: Itu (UU Cilaka) untuk buruh atau gimana? 

Pernyataan Suni mengungkap fakta banyaknya kelas pekerja yang tak menyadari statusnya sebagai buruh. Bagi dia dan banyak pekerja lain buruh adalah mereka yang bekerja dengan otot, barangkali. Dan kesadaran pada nasibnya sendiri adalah hal yang perlu didorong.

Kondisi sosial macam ini disadari oleh Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Riden Hatam Aziz. Ia bahkan berseru agar para pekerja untuk tanggap pada pergerakan penguasa yang berkaitan dengan nasibnya. 

"Setiap orang yang mendapatkan upah akibat melakukan pekerjaan, maka dia adalah pekerja. Menjadi kewajibannya untuk memperjuangkan hak-haknya. UU ini akan berlaku kepada semua pekerja," kata Riden dihubungi VOI, Senin, 13 Januari.

RUU Cilaka akan melebur 1.194 pasal dalam 82 UU menjadi satu UU. Peleburan dilakukan sebagai upaya mendorong pertumbuhan investasi. Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan draf RUU Cilaka telah rampung dan segera dikirim ke DPR.

"Sudah rampung," kata Mahfud, ditulis Antara, Senin, 13 Januari.

Dengan segala fakta yang bergulir sejauh ini, rasanya tak ada satu kata selain melawan. Caranya, macam-macam. Yang jelas, harus ada upaya untuk meyakinkan pemerintah bahwa mereka seharusnya hadir untuk melindungi warga negara.

"Bentuk perjuangan intisarinya meyakinkan pemerintah untuk hadir dan melindungi warga negaranya melalui UU," kata Riden.