Hakim Telaah Penangguhan Penahanan Terdakwa Penyebar Hoaks Dana PEN

MATARAM - Majelis hakim Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat, menelaah surat permohonan penangguhan penahan terdakwa penyebar hoaks bantuan 3 ekor sapi senilai Rp100 juta yang berasal dari dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Menurut Juru Bicara Pengadilan Negeri Mataram Kelik Trimargo keputusan terkait dengan surat permohonan penangguhan penahanan terdakwa SS akan disampaikan dalam sidang lanjutan pada hari Jumat, 13 Mei.

"Jadi, pas sidang perdana pada hari Selasa, 10 Mei, 'kan ditunda. Makanya, hakim menyatakan putusan terkait dengan pengajuan penangguhan terdakwa akan disampaikan pada sidang lanjutan, Jumat, 13 Mei," kata Kelik.

Penundaan sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan itu ditunda karena jaksa tidak dapat menghadirkan terdakwa SS secara virtual. Terdakwa berkeinginan untuk hadir secara langsung di hadapan majelis hakim PN Mataram.

Pertimbangan sidang digelar secara virtual karena persoalan keamanan. Hal itu pun melihat antusias pendukung terdakwa SS dari Koperasi Serba Usaha (KSU) Rinjani yang kerap melakukan unjuk rasa di depan Gedung PN Mataram.

Aksi terakhir terjadi pada agenda sidang perdana terdakwa SS. Ratusan warga memadati jalan raya depan Gedung PN Mataram. Mereka menuntut agar penangguhan penahanan terdakwa dikabulkan oleh hakim.

Namun, berkat dukungan pengamanan kepolisian, aksi massa bisa dikendalikan hingga membubarkan diri usai kuasa hukum terdakwa SS memberikan pernyataan bahwa sidang ditunda pada hari Jumat, 13 Mei.

Terdakwa SS merupakan Ketua KSU Rinjani. Dalam perkara penyebaran hoaks dana PEN tersebut, penyidik siber telah mencantumkan alat bukti dari konten YouTube diduga milik SS berjudul "Konferensi Pers KSU Rinjani".

Dalam konten tersebut, SS diduga menuding Pemerintah menyembunyikan penyaluran dana PEN untuk masyarakat.

Hal demikian yang kemudian menjadi motif SS menyebutkan program penyaluran KSU Rinjani yang menjanjikan bantuan 3 ekor sapi dengan anggaran Rp100 juta untuk setiap anggota terhambat.

Unggahan itu yang diduga menimbulkan reaksi dari sejumlah anggota KSU Rinjani. Mereka melakukan unjuk rasa ke Pemprov NTB menuntut agar program 3 ekor sapi dari dana PEN itu segera disalurkan.

Dalam persoalan tersebut, penyidik memastikan bahwa tim siber telah meminta klarifikasi kepada pihak pemerintah. Klarifikasi itu diperoleh sejak kasusnya masih ditangani di tahap penyelidikan.

Dari klarifikasi, Pemerintah telah menyatakan tidak ada program atau anggaran demikian, baik dari pusat maupun daerah.

Pernyataan klarifikasi dari Pemerintah itu pun telah dikuatkan dengan pemeriksaan data dan program yang sedang maupun akan berjalan.

Selain bukti dari klarifikasi, penetapan SS sebagai tersangka juga dikuatkan dengan keterangan ahli di bidang bahasa maupun informasi dan transaksi elektronik.

Dalam berkas perkara, SS disangkakan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang mengatur tentang sangkaan pidana penyebar berita bohong.

Selain sangkaan tersebut, penyidik kepolisian juga menerapkan Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (2) UU Nomor 19/2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Untuk sangkaan pasal ini, kata dia, masih berkaitan dengan penyebaran berita bohong yang dapat menimbulkan kebencian atau permusuhan di tengah masyarakat.

Ancaman pidana dari dugaan itu tertera dalam Pasal 45 ayat (2) UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan hukuman paling berat 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.

Ancaman pidana juga disangkakan kepada SS perihal distribusi informasi yang bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik, dalam hal ini tudingan ke Pemerintah yang menyembunyikan penyaluran dana PEN untuk masyarakat.

Sangkaan tersebut sesuai dengan Pasal 27 ayat (3) UU No. 19/2016 tentang Perubahan atas UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Untuk ancaman pidana, hukuman paling berat 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar sesuai dengan Pasal 45 ayat (1) UU No. 19/2016.