Indonesia Perlu Suntikan Modal 1,4 Triliun Dolar AS untuk Atasi Keterbatasan Energi
JAKARTA - Pemerintah Indonesia terus berbenah untuk memberikan kontribusi optimal dalam peningkatan atas penyediaan akses energi global. Dorongan ini diharapkan mampu memaksimalkan potensi ekonomi dan pembangunan sumber daya manusia melalui pemanfaatan sumber energi oleh masyarakat pengguna akhir.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Rida Mulyana mengungkapkan, peningkatan akses energi diupayakan akan mampu mendongkrak kesejahteraan masyarakat hingga pada level pengguna akhir.
"Transisi energi berkelanjutan merupakan salah satu tema dalam Presidensi G20 Indonesia dan juga menekankan pada aksesibilitas energi sebagai prasyarat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya di pulau-pulau terpencil dan terluar," kata Rida yang dikutip Selasa 3 Mei.
Rida bilang, kerja sama multistakeholder akan menjadi cara tepat dalam mencapai tujuan tersebut. Langkah ini sejalan dengan penanganan dekarbonisasi energi sistem sebagai salah satu solusi mitigasi perubahan iklim.
"Ini adalah tantangan besar bagi dunia serta perlu ditangani secara kolektif oleh semua negara," imbuhnya.
Sementara itu Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Energi dan Sumber Daya Mineral Prahoro Yulianto Nurtjahyo mengatakan setidaknya ada 14 negara yang menderita tidak memiliki electricity access dan clean cooking.
Guna mengatasi permasalahan ini, sambung Prahoro, perlu membutuhkan suntikan modal besar dari para investor.
"Secara global kita butuh investasi sekitar 30 hingga 35 miliar dolar AS per tahun untuk (penanganan) akses listrik dan 5 hingga 7 miliar dolar AS per tahun untuk akses memasak bersih. Total, setidaknya kita butuh suntikan investasi USD1,4 triliun per tahun hingga 2030 untuk dua isu tersebut," urainya.
Ia menambahkan, lanskap masalah dan sistem energi yang beragam menjadi tantangan tersendiri bagi negara berkembang dan emerging economies. Untuk itu, peningkatan dan peluasan akses energi di negara - negara tersebut harus menyesuaikan dengan kondisi dan keadaan, tantangan, hingga kapasitas wilayah yang ditetapkan.
"Setiap kebijakan, program, dan efektivitas aksi harus dilakukan melalui model bisnis dan instrumen pembiayaan yang inovatif," kata Prahoro.
Baca juga:
- Italia Berencana Tak Lagi Beli Gas dari Rusia pada Semester Kedua 2024
- 2 Tahun Ditutup Imbas Pandemi COVID-19, Garuda Indonesia Buka Kembali Rute Makassar-Madina
- Ukraina Tunggu Kedatangan Pengungsi dari Pabrik Baja Azovstal di Mariupol
- Gandeng 4 Kontraktor, PLN Target Operasikan PLTA Peusangan Juli 2023
Kebutuhan adopsi akan pilihan teknologi yang inovatif juga diperlukan dengan tetap mempertimbangkan pula keragaman sumber energi lokal.
"Inovasi teknologi ini harus didukung oleh lingkungan dan iklim bisnis yang lebih baik untuk menciptakan lebih banyak peluang, melibatkan pemangku kepentingan terkait, dan memanfaatkan keunggulan kemitraan publik-swasta," tambahnya.
Ia menekankan pencapaian pencapaian akses energi berkelanjutan harus sejalan dengan pencapaian transisi energi yang adil dan merata.
"Aspek pemerataan people-centered transitions dapat dipastikan melalui perencanaan program dan implementasi yang terukur dalam memenuhi Standar Minimum Energi Modern," tegasnya.
Standar baru ini diharapkan dapat mendukung emerging market dan negara berkembang, termasuk negara kurang berkembang untuk meningkatkan tingkat pembangunan, mencukupi kebutuhan sosial ekonomi, dan menciptakan peluang ekonomi bermanfaat lainnya untuk pertumbuhan berkelanjutan - termasuk pekerjaan yang layak dan mata pencaharian yang berkualitas.