Jenderal Andika Perkasa Sebaiknya Segera Keluarkan Peraturan Resmi Soal Keturunan PKI Gabung TNI
JAKARTA – Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan institusi negara terakhir yang melarang keterlibatan anak dan keturunan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun dengan pernyataan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa bahwa anak keturunan PKI boleh bergabung dengan TNI, kebijakan tidak tertulis tentang larangan anak keturunan PKI jadi tentara bakal sirna.
Keinginan untuk menerima anak keturunan PKI dalam TNI disampaikan Andika pada rapat koordinasi penerimaan prajurit TNI di Jakarta, 30 Maret 2022. Penerimaan prajurit TNI yang dimaksudkan, meliputi: Taruna Akademi Militer, Perwira Prajurit Karier, Bintara, dan Tamtama.
“Yang dilarang itu PKI, yang kedua ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme. Itu yang tertulis,” kata Andika, menjelaskan isi Ketetapan MPRS XXV/1966 tentang pembubaran dan pelarangan PKI di Indonesia.
“Jangan kita mengada-ada. Saya orang yang patuh peraturan perundang-undangan. Ingat ini. Kita melarang, pastikan kita punya dasar hukum,” ujar Andika menambahkan.
Keturunan PKI Sebagai ASN
Sebelum TNI melalui Jenderal Andika Perkasa mengaungkan izin bagi keturunan PKI untuk bergabung, institusi pemerintahan sipil sudah lebih dahulu mengizinkan. Dalam Peraturan Pemerintah tentang pengadaan Pegawai Negeri Sipil (PNS), tidak disebutkan pelarangan anak keturunan PKI bergabung.
Bahkan dalam peraturan terbaru tentang pengadaan PNS atau yang sekarang disebut sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), tidak ada pelarangan soal anak keturunan PKI. Penerimaan ASN sekarang diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Menurut Ketua Setara Institut, Bonar Tigor Naipospos, peristiwa pemberontakan PKI sudah terjadi lebih dari 50 tahun yang lalu. Saat ini yang disebut keturunan PKI sudah mencapai generasi ketiga atau keempat. Bukan lagi anak, melainkan cucu dan cicit.
“Adalah tindakan yang tidak irasional dan di luar perikemanusiaan jika mereka tetap ikut menanggung ‘dosa turunan’, dan diperlakukan tidak setara sebagai sesame warna negara,” kata Bonar.
Posisi TAP MPRS XXV/1966
TAP MPRS XXV/1966 adalah satu dari enam ketetapan serupa, yang dikeluarkan MPRS pada tahun 1966. Tiga TAP MPRS 1966 masih berlaku, yaitu XXIV/1966 tentang Kebijakan Dalam Pertahanan Keamanan, XXV/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, dan XXVIII/1966 tentang Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Rakyat.
Secara hirarkis perundang-undangan, TAP MPR berada di bawah Undang-Undang Dasar 1945 dan di atas Undang-Undang atau Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu). TAP MPRS XXV/1966 masih berlaku didasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Baca juga:
- Jenderal Andika Perkasa Izinkan Keturunan PKI Gabung TNI dan Kilas Balik Ide Gus Dur Cabut TAP MPRS XXV Tahun 1966
- Jenderal Andika Izinkan Keturunan PKI Jadi Prajurit TNI, Direks IPS: Sikap Humanisme Luar Biasa
- Panglima TNI: Keturunan PKI Jangan Jadi Alasan Gagalkan Calon Prajurit
- Panglima TNI Diminta Buat Kebijakan Konkret Antidiskriminasi
TAP MPRS XXV/1966 dibuat pada masa awal Pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto. Awalnya, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966 tentang pembubaran PKI. Keputusan tersebut diambil berdasarkan hasil putusan Mahkamah Militer Luar Biasa terhadap para tokoh PKI yang dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 atau G30S PKI.
Kepres 1/3/1966 tersebut lantas diperkuat melalui TAP MPRS XXV/1966. TAP tersebut ditetapkan dan ditanda tangani oleh Ketua MPRS, Jenderal TNI AH Nasution pada 5 Juli 1966. TAP tentang pembubaran PKI dan seluruh bagian organisasinya ini berisi empat pasal, namun tidak satupun yang menyebutkan bahwa anak keturunan PKI dilarang menjadi pegawai negara.
Ditolak Soekarno Lewat Nawaksara
TAP MPRS XXV/1966 pernah ditolak Presiden Soekarno, saat menyampaikan pertanggungjawaban di depan Sidang Umum IV MPRS pada 22 Juni 1966. Melalui pidatonya yang dikenal sebagai Nawaksara, atau sembilan bahasan.
Soekarno menolak penyebutan Gerakan 30 September, namun menyebutnya sebagai Gerakan 1 Oktober (Gestok) karena terjadi pada 1 Oktober dini hari. Soekarno kukuh tidak membubarkan PKI.
Namun pidato Soekarno tersebut ditolak MPRS. Sebaliknya lembaga tertinggi negara tersebut malah memutuskan untuk memberhentikan Soekarno dari jabatan Presiden Republik Indonesia.
TAP MPRS XXV/1966 tetap menjadi kontroversi sampai saat ini, karena dianggap bertentangan dengan kebebasan berpikir dan berekspresi bagi warga negara Indonesia. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah berinisiatif mencabut TAP MPRS XXV/1966, karena menurutnya bertentangan dengan spirit Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Inisiatif Gus Dur tersebut mendapat tentangan keras dari lawan-lawan politiknya. Pencabutan TAP MPRS XXV/1966 tidak pernah ditanggapi secara resmi, sehingga sampai saat ini masih berlaku.
Sebagai kompromi soal pencabutan TAP MPRS XXV/1966, MPR mengeluarkan TAP MPR I/2003. Dalam TAP MPR I/2003 disebutkan bahwa seluruh warga negara, tanpa memandang perbedaan latar belakang, memiliki hak yang sama, tidak boleh dibeda-bedakan, dan berpegang pada prinsip demokrasi.
Menurut anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Nurul Arifin, Jenderal Andika Perkasa sebaiknya segera mengeluarkan Peraturan Panglima TNI. Isi peraturan tersebut salah satunya menyatakan bahwa anak keturunan PKI diizinkan bergabung dengan TNI.
Tidak masalah jika TNI menjadi institusi negara terakhir yang mengizinkan anak keturunan PKI bergabung di dalamnya. Lebih baik terlambat, daripada tidak sama sekali.