Bos Blackrock Larry Fink, Sebut Perang Rusia – Ukraina, Percepat Adopsi Mata Uang Digital

JAKARTA - Kepala eksekutif BlackRock Inc, Larry Fink, mengatakan pada  Kamis, 24 Maret bahwa perang Rusia-Ukraina pada akhirnya dapat mempercepat mata uang digital sebagai alat untuk menyelesaikan transaksi internasional. Ia beranggapan, konflik tersebut membalikkan dorongan globalisasi selama tiga dekade terakhir.

Dalam pernyataan di sebuah surat kepada pemegang saham manajer aset terbesar di dunia, Fink mengatakan perang akan mendorong negara-negara untuk menilai kembali ketergantungan terhadap mata uang. Bahkan saat ini BlackRock sedang mempelajari mata uang digital dan stablecoin karena meningkatnya minat klien.

“Sistem pembayaran digital global, yang dirancang dengan cermat, dapat meningkatkan penyelesaian transaksi internasional sekaligus mengurangi risiko pencucian uang dan korupsi”, kata Fink, seperti dikutip Reuters.

Itu tampaknya menyerang nada yang berbeda dari Mei tahun lalu, ketika Fink mengangkat beberapa kekhawatiran seputar volatilitas mata uang kripto. Kala itu ia juga  mengatakan terlalu dini untuk menentukan apakah cryptocurrency hanya alat perdagangan spekulatif.

Dalam surat pada   Kamis, ketua dan CEO dari manajer aset yang bernilai  10 triliun dolar AS (Rp143 quadraliun) ini  mengatakan krisis Rusia-Ukraina telah mengakhiri kekuatan globalisasi yang bekerja selama 30 tahun terakhir.

“Akses ke pasar modal global adalah hak istimewa, bukan (sekedar) hak," kata Fink. Ia juga   menambahkan BlackRock telah menangguhkan pembelian sekuritas Rusia dalam portofolio indeks aktifnya setelah invasi Moskow ke Ukraina.

“Selama beberapa minggu terakhir, saya telah berbicara dengan pemangku kepentingan yang tak terhitung jumlahnya. Ini, termasuk klien dan karyawan kami, yang semuanya ingin memahami apa yang dapat dilakukan untuk mencegah penyertaan modal ke Rusia. Kami percaya ini adalah definisi dari kewajiban fidusia kami. ," kata Fink.

Total eksposur klien BlackRock Inc ke Rusia telah menurun menjadi kurang dari  1 miliar dolar (Rp14,3 triliun)  AS  awal bulan ini, dari 18 miliar dolar AS (Rp258 triliun) sebelum invasi Moskow ke Ukraina yang memicu   sanksi Barat dan penutupan pasar saham Rusia.

Dampak konflik ini ada pada rantai pasokan global,  yang sudah dihantam selama dua tahun terakhir karena krisis virus corona. Minimnya pasokan global,   diperkirakan akan berkontribusi pada tekanan inflasi yang mendorong bank sentral global untuk memperketat kebijakan moneter dan membalikkan langkah-langkah akomodatif yang didorong oleh COVID-19.

"Sementara neraca perusahaan dan konsumen kuat hari ini, memberi mereka lebih banyak bantalan untuk mengatasi kesulitan ini, reorientasi rantai pasokan skala besar secara inheren akan menjadi inflasi," kata Fink.

Dia mengatakan bank sentral menghadapi dilema yang tidak mereka hadapi dalam beberapa dekade, harus memilih antara hidup dengan inflasi tinggi atau memperlambat aktivitas ekonomi untuk menahan tekanan harga.

Harga energi melonjak karena sanksi terhadap Moskow mendorong perusahaan dan negara untuk menilai kembali rantai pasokan dan mencoba mengurangi ketergantungan pada komoditas Rusia.

"Keamanan energi telah bergabung dengan transisi energi sebagai prioritas utama global," kata Fink.