Anak-Anak Adalah Tumpuan Masa Depan, Jauhkan Mereka dari Tindak Kekerasan
JAKARTA - Publik dikagetkan dengan berita seorang ibu di Kecamatan Tonjong, Kabupaten Brebes yang tega lakukan kekerasan terhadap ketiga anaknya dengan senjata tajam pada Minggu 20 Maret. Satu dari tiga anak yang dianiaya bahkan tewas di tangan ibu kandung mereka sendiri.
Sebelumnya kasus kekerasan terhadap dua balita berusia 1,5 tahun dan 3 tahun yang dilakukan dua pengasuh mereka, juga terjadi di Cengkareng, Jakarta Barat, pada 17 Maret. Di Koja, Jakarta Utara pada 3 Februari, seorang pria disangka melakukan perkosaan terhadap anak tirinya yang masih berusia 4 tahun. Dan banyak lagi kasus kekerasan terhadap anak.
Kenapa anak harus selalu menjadi korban kekerasan? Anak adalah tumpuan dan harapan orang tua yang wajib dilindungi dan diberikan kasih sayang oleh orang-orang sekitar. Namun anak kerap mendapat kekerasan secara fisik, seksual, penganiayaan emosional, atau pengabaian terhadap anak tersebut. Lebih memprihatinkan, pelaku kekerasan terhadap anak biasanya adalah orang yang memiliki hubungan dekat dengan si anak seperti anggota keluarga, guru, maupun temannya.
Kekerasan terhadap anak dapat diartikan sebagai perilaku yang sengaja maupun tidak, yang ditujukan untuk mencederai atau merusak anak secara fisik maupun mental. Hal ini sangat ironis , namun pasti ada penyelesaiannya. Perlu koordinasi yang tepat di lingkungan sekitar anak terutama lingkungan keluarga untuk mendidik anak tanpa menggunakan kekerasan.
Save Children Foundation menyebutkan, sebanyak satu dari lima orang tua melakukan pengasuhan anak secara negatif. Sikap negatif itu mulai bersikap kasar seperti berteriak, hingga agresif dalam memberikan hukuman fisik.
Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) sejak 1 Januari hingga 17 Mei 2020 menunjukkan, angka kekerasan terhadap anak yang dilaporkan berbagai layanan ke Kementerian PPPA mencapai 2.191 kasus. Jumlah korban mencapai 2.400 anak dan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 554 anak.
Dalam diskusi webinar ”Perlindungan Anak Berbasis Masyarakat di Masa Pandemi Covid-19” yang digelar Child Fund Internasional Indonesia menyatakan, akses pelaporan kasus kekerasan terhadap anak terbatas. Keberadaan pelaku yang kemungkinan di dekat korban atau ketergantungan terhadap pelaku, sehingga tidak alternatif bagi korban selain tidak melaporkan kasus yang dialami.
Peningkatan Kasus Selama Pandemi COVID-19
Pandemi COVID-19 tak hanya berdampak buruk pada perekonomian, tetapi juga kesehatan mental masyarakat. Tekanan psikis yang dialami masyarakat yang terdampak COVID-19 mengakibatkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mengalami peningkatan. Kondisi ekonomi keluarga yang menurun serta aktivitas anak dan orang tua yang lebih banyak di rumah, seringkali membuat anak-anak rentan mengalami kekerasan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati dalam jumpa wartawan secara virtual mengungkapkan, sejak awal pandemi COVID-19 pada 2 Maret-25 April 2020 tercatat 643 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan jumlah korban mencapai 684 orang.
Saat ini jumlah angka kekerasan terhadap anak sulit diprediksi. Hanya saja, dengan situasi krisis beserta berbagai tekanan psikis dan dampak ekonomi, potensi terjadinya kekerasan di keluarga-keluarga saat pandemi sangat besar.
Tak hanya perempuan, anak-anak perempuan dan laki-laki berusia 3-17 tahun juga mengalami kekerasan dalam berbagai bentuk. Selama 12 bulan terakhir, sebanyak 3 dari 10 anak perempuan dan 2 dari 10 anak laki-laki mengalami satu jenis kekerasan atau lebih. Kekerasan terhadap anak berdampak pada pertumbuhan psikis anak karena mengalami trauma berat, cedera fisik, bahkan sampai kepada kematian .
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komas PA) mencatat DKI Jakarta pada tahun 2021 menjadi kota paling banyak ditemukan kasus kekerasan terhadap anak. Tercatat sebanyak 667 kasus kekerasan terhadap anak terjadi di wilayah DKI Jakarta. Jakarta Timur paling banyak ditemukan kekerasan anak dengan 239 kasus. Sebanyak 58 persen kasus pelanggaran hak anak tersebut merupakan kekerasan seksual.
Anak rentan menjadi objek kekerasan karena memiliki psikis yang lemah dalam artian, ketika mengalami kekerasan tidak tahu harus mencari pertolongan kepada siapa.
Lemah secara fisik, lemah secara psikis menjadikan anak sebagai calon-calon korban potensial. Indonesia dalam keadaan memprihatinkan kekerasan terhadap anak. Kita dapat melihat sisi positif sering viralnya video kekerasan anak dan mendapat tanggapan kemarahan masyarakat. Itu menunjukkan bahwa masyarakat masih memiliki kepedulian terhadap kasus kekerasan anak.
Diharapkan seluruh masyarakat untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak di lingkungannya. Keluarga-keluarga yang menghadapi persoalan, terutama masalah psikis, diminta tidak ragu-ragu mengakses layanan psikologi yang disiapkan pemerintah. Itu hasrus dilakukan agar anak-anak tidak terdampak, dan menjadi korban kekerasan.
Baca juga:
- Pawang Hujan di MotoGP Mandalika: Belajar dari GP Inggris 2018 dan WSBK Mandalika 2021, Kearifan Lokal Tak Selalu Kalah dari Teknologi Canggih
- Belajar dari Kasus Doni Salmanan dan Indra Kenz: Fenomena Gila Kemewahan ala Crazy Rich
- Cuaca Ekstrem Masih Mengancam, Kita Harus Peduli
- Indeks Kebahagiaan Indonesia Meningkat Selama Pandemi COVID-19: Epidemiolog Bilang Bohong, Badan Pusat Statistik Punya Penjelasannya