Luhut Dinilai Oversight Gelorakan Penundaan Pemilu, Jokowi Layak Menegur Sangat Keras

JAKARTA - Presiden Joko Widodo diminta menegur keras Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang dinilai keliru dan tidak berkewenangan menggelorakan wacana penundaan Pemilu 2024.

Luhut menjadi perbincangan publik lantaran klaimnya soal big data 110 juta pengguna medsos yang menginginkan Pemilu 2024 ditunda.

"Perbuatan Luhut ini sebetulnya adalah oversight, artinya tidak berada di wilayah kekuasaannya. Luhut itu hanyalah sebagai menko marves, dia tidak bisa berkewenangan, kebebasan dalam berbicara sebagaimana parpol alih-alih sebagai jubir dari parpol tentu itu kesalahan besar bagi pejabat publik," ujar Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah, saat dihubungi VOI, Rabu, 16 Maret. 

"Sehingga layak bagi presiden Jokowi untuk menegur sangat keras supaya Luhut tidak mencampuri urusan yang sifatnya politis karena wilayah mereka adalah eksekutif," sambungnya. 

Di wilayah eksekutif pun, lanjut Dedi, Luhut tidak punya wewenang apapun karena ada Menko Polhukam Mahfud Md dan Mendagri Tito Karnavian yang jauh lebih layak dan tepat untuk membicarakan hal-hal yang sifatnya politik. Khususnya, wacana penundaan Pemilu 2024.

Karena itu, menurut Dedi, selama Jokowi tidak menegur Luhut maka patut diduga apa yang dilakukannya tersebut berdasarkan restu dari presiden sendiri. 

"Selama teguran itu tidak ada maka upaya penundaan ini muaranya ada pada presiden," tegasnya. 

Apalagi, kata Dedi, sikap presiden melunak saat menyikapi usulan penundaan pemilu. Artinya, ada dugaan Presiden menikmati wacana Luhut bisa saja benar.

"Termasuk presiden mulai merestui meski secara tersirat upaya menunda pemilu ini," katanya.

Dedi menduga ada aktor lain di belakang skenario penundaan pemilu. Sebab tidak mungkin hanya dilakukan Luhut, apalagi Ketum Umum PKB Muhaimin Iskandar dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan.

"Ini adalah tokoh kecil dalam lingkaran nasional. Dari sisi parpol (PKB dan PAN) bukan parpol dominan, apalagi PAN yang porsinya kecil porsi pengaruh juga tidak besar sehingga mau tidak mau kita harus mencari tokoh yang lebih powerfull dibelakang mereka tentu itu ada di wilayah kekuasaan dan wilayah istana,” paparnya.

Untuk itu, Dedi kembali mengingatkan selama Presiden Jokowi tidak memerintahkan langsung kepada Menko Polhukam dan Mendagri untuk wacana penundaan pemilu, maka Presiden akan bersembunyi dari kehausan kekuasaan itu.

"Makanya kemudian Luhut yang berbicara karena kalau sampai yang berbicara atau yang menginisiasi adalah Menkopolhukam maka secara official itu mewakili negara dan tentu Jokowi menjadi tersangkanya," kata Dedi Kurnia Syah.