Indeks Kebahagiaan Indonesia Meningkat Selama Pandemi COVID-19: Epidemiolog Bilang Bohong, Badan Pusat Statistik Punya Penjelasannya
JAKARTA - Pandemi COVID-19 telah berlangsung selama dua tahun, namun laporan Indeks Kebahagiaan Dunia pada akhir tahun 2021 menunjukkan bahwa perubahan emosi saat COVID-19 mulai terjadi. Ketika awal COVID-19 berlangsung, memang membawa ketakutan dan kecemasan, rasa kesepian, dan terasing dari komunitas. Namun laporan tahunan tentang angka indeks kebahagiaan di seluruh dunia yang di rilis menunjukkan bahwa pandemi tidak memadamkan semangat warga dunia.
Jeffrey Sachs, ekonom Universitas Columbia, New York, AS yang merupakan salah satu penulis laporan tersebut menjelaskan bahwa Laporan Indeks Kebahagian Dunia 2021 menunjukkan perubahan emosi mulai terjadi. Tingkat kepuasan warga dunia atas hidup dalam jangka panjang tidak terlalu terpengaruh.
“Apa yang kami temukan adalah bahwa ketika orang-orang melihat dalam skala jangka panjang, mereka telah menunjukkan aneka ketahanan dalam dua tahun terakhir ini,” katanya.
Dalam laporan ini negara Finlandia berada di tempat teratas dengan predikat negara paling membahagiakan, ini merupakan yang keempat kalinya secara berturut-turut berada di posisi tersebut. Berikutnya adalah Denmark, Swiss, Islandia, Belanda, Norwegia, Swedia, Luksemburg, Selandia Baru, dan Austria.
Kebijakan pemerintah dalam pengendalian penularan COVID-19 dinilai telah memberi kontribusi kepercayaan rakyat Finlandia terhadap pemerintah mereka. Hal ini juga terlihat di beberapa negara Asia. Peringkat China misalnya, ada di peringkat ke-84 atau lebih baik daripada peringkat tahun sebelumnya. Tahun lalu pososi China di peringkat ke-94. Sedangkan Indonesia dalam indeks terbaru itu berada peringkat ke-92.
Selama dua tahun terakhir, pandemi COVID-19 memukul kesejahteraan masyarakat. Penurunan kualitas kesehatan dan ekonomi masyarakat berdampak luas pada berbagai sendi kehidupan. Namun, di tengah berbagai keterbatasan itu, Indeks Kebahagiaan Indonesia 2021 justru meningkat dibanding sebelum pandemi.
Indeks Kebahagiaan Indonesia
Badan Pusat Statistik (BPS) menjelang akhir 2021 juga meluncurkan Indeks Kebahagiaan Indonesia (IKI) 2021. Hasilnya, kebahagiaan masyarakat mencapai nilai 71,49 atau naik dibanding indeks serupa tahun 2017 sebesar 70,69 persen.
IKI itu diperoleh melalui Survei Pengukuran Tingkat Kebahagian (SPKT) 2021 yang dilakukan terhadap 75 ribu rumah tangga di 34 provinsi pada 1 Juli-27 Agustus 2021. Data dikumpulkan dengan mewawancarai kepala rumah tangga atau pasangannya dengan pertanyaan yang mencakup 19 indikator dan terbagi dalam tiga dimensi.
Pemberitaan terkait rilis Indeks Kebahagiaan yang dilakukan BPS ini ramai dibicarakan di media daring. Hal ini disoroti oleh beberapa pihak yang meragukan metode pengukuran yang digunakan, bahkan menyebut bahwa statistik dapat digunakan untuk berbohong.
Salah satu yang menyoroti hal tersebut adalah epidemiolog Pandu Riono.
Pandu Riono lewat akun Twitternya, @drpriono1, mengomentari indeks kebahagiaan yang dirilis oleh BPS. Dia menyebut statistik indeks kebahagiaan bisa dipakai untuk berbohong.
"Statistik pun bisa dipakai untuk berbohong. Kebahagiaan merupakan kondisi yg kompleks, dikatakan meningkat di Indonesia yg hanya 0.8 poin, dalam situasi pandemi. Ada problema besar dalam pengukuran," measurement bias. Ada problem interpretasi. Kita perlu skeptis. @bps_statistics," cuitnya.
Lewat sebuah utas, BPS lantas merespons Pandu Riono lewat akun resminya @bps_statistics. BPS pun menjelaskan berkaitan dengan tolok ukur kebahagiaan setiap orang berbeda-beda.
Konsep Kebahagiaan Menurut BPS
Konsep kebahagian menurut BPS dapat beragam baik bagi individu maupun kelompok, organisasi bahkan negara.Tiap kebahagian mempunyai level yang berbeda-beda, dapat berupa kebahagiaan yang mencakup jasmani maupuni yang lebih mendalam terkait rohani.
Kebahagiaan bukan hanya soal ekonomi, tetapi dapat mencangkup unsur kehidupan lainnya. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan World Happines Report 2021, yang menunjukkan Guatemala dan Uruguay memiliki indeks kebahagian lebih tinggi dibandingkan Singapura yang memiliki PDB lebih tinggi dari kedua negara tersebut. PDB Singapura sebesar 390 miliar dolar AS, sedangkan Guatemala sebesar 84,5 miliar dolar AS dan Uruguay sebesar 56,7 miliar dollar AS.
Kemudian timbul pertanyaan, mengapa kebahagian perlu diukur jika sumber kebahagian akan berbeda bagi setiap orang? BPS menjelaskan bahwa indikator kebahagiaan diperlukan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan publik dan pembangunan nasional.
Berdasarkan rilis BPS terkait Indeks Kebahagiaan dapat diketahui bahwa angka-angka dimensi perasaan paling rendah jika dibandingkan dua dimensi lainnya, yaitu angka dimensi makna hidup (73,12) dan angka dimensi kepuasan hidup (75,16). Jika kita kaitkan dengan masa pandemi yang sedang berlangsung, maka dimensi perasaan adalah dimensi yang paling terganggu dari dua dimensi lainnya. Rasa cemas, gelisah, takut, dan sisi keamanan ini cukup banyak dialami oleh masyarakat di masa pandemi.
Apakah masa pandemi kemudian berdampak buruk dalam segala hal? Dari Indeks Kebahagiaan terlihat bahwa indikator kepuasan terhadap keharmonisan keluarga cukup tinggi (82,56), dimana pada masa pandemi dengan diberlakukannya sistem kerja dari kantor (WFO) dan sistem kerja dari rumah (WFH) juga sekolah daring, anggota keluarga memiliki cukup banyak waktu untuk berkumpul.
Spiritualitas Masyarakat Indonesia
Hasil survei itu menunjukkan bahwa meski masyarakat cemas dan tertekan dengan pandemi COVID-19, nyatanya kebahagiaan mereka justru meningkat dibanding 2-3 tahun sebelum pandemi
Dikutip dari laman UGM, Kepala Pusat Kesehatan Mental Masyarakat Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Diana Setiyawati mengatakan pandemi memang meningkatkan distres atau stres negatif akibat besarnya tekanan dan perubahan sosial yang harus dihadapi masyarakat. Namun, peningkatannya kemungkinan tidak signifikan di Indonesia.
Saat menghadapi tekanan, kehidupan, masyarakat biasanya terhenti sesaat dan memaksa mereka beradaptasi dengan mengubah strategi hidup.
”Orang Indonesia itu memiliki buffer atau penyangga yang sumbernya spiritualitas masyarakat. Dengan spiritualitas, orang bisa belajar, mengasah kreativitas dan potensinya, yang justru tak terasah sebelum pandemi,” katanya.
Baca juga:
- Setelah 25 Tahun, MotoGP Kembali Meraung di Indonesia: Wajar Jika Antusiasme Membuncah
- Setelah 25 Tahun, MotoGP Kembali Meraung di Indonesia: Wajar Jika Antusiasme Membuncah
- Rusia Negeri Penuh Daya Tarik, Bukan Melulu Soal Perang
- Ketika Media Sosial Amerika Serikat Didesak Terlibat Perang Hibrida, Menentang Invasi Rusia ke Ukraina
Laporan Statistik Indonesia 2022 juga menunjukkan adanya peningkatan angka harapan hidup penduduk sebesar 0,1 persen dari tahun sebelumya. Capaian ini pun memperpanjang tren positif selama sepuluh tahun terakhir.
Merujuk laporan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) 2021, angka harapan hidup Indonesia yang tercatat 71,7 tahun melampaui empat negara, yakni Filipina (71,2 tahun), Kamboja (69,9 tahun), Laos (67,9 tahun), dan Myanmar (67,1 tahun).
Sejumlah indikator kesejahteraan sosial Indonesia membaik. Di antara negara dunia, Indonesia turut mampu bangkit dari keterpurukan akibat pandemi COVID-19. Harapannya, pencapaian ini menjadi sepercik kepercayaan diri untuk terus berakselerasi. Di tengah capaian baik Indonesia di tahun 2021.