Tentara di Perang Rusia dan Ukraina Juga Menderita, Volume Otak Mereka Terus Berkurang Hingga Enam Bulan Pascakonflik
"Perang tak perlu terjadi, tak harus ada yang mati. Tak ada pemenang dalam setiap perang, atau mungkin benar kata Plato: hanya yang mati yang telah melihat akhir dari perang."
JAKARTA - Dalam sejarah peradaban manusia, umumnya perang yang terjadi karena perebutan kekuasaan, pengaruh, kehormatan, hingga sumber daya alam. Berbagai cara dilakukan untuk perdamaian, tapi sepertinya akan sulit untuk berhenti perang dan menjalani hidup dengan damai saling berdampingan. Seperti yang terjadi pada Rusia dan Ukraina saat ini.
Daftar panjang peperangan semakin bertambah dengan konflik Rusia terhadap Ukraina yang terjadi di awal abad ke-2. Peperangan yang terjadi setelah Perang Dunia ll umumnya lebih singkat, namun perang adalah perang yang menyebabkan kesengsaraan dan merendahkan martabat manusia.
Tapi ternyata, otak manusia tidak terprogram untuk mengincar apalagi membunuh orang lain yang menjadi musuhnya dalam perang.
Dalam jurnal Translational Psychiatry yang dipublikan pada 26 April 2021, menunjukkan bahwa para tentara yang ditugaskan dalam perang sangat menderita. Peperangan yang di hadapi membuat berkurangnya volume beberapa bagian otak, yaitu korteks singulat anterior, korteks prefrontal, dan thalamus. Pengurangan volume otak tersebut akan terus terjadi hingga enam bulan setelah para tentara kembali dari medan perang.
Otak yang dimiliki manusia tercipta dengan sifat welas asih. Rasa bersalah hingga akan ikut merasakan sakit melihat orang yang disakiti oleh dirinya. Tingkat sensitif pada otak membuat menyakiti ataupun membunuh orang lain menjadi beban yang berat, banyak rintangan otak yang harus dikalahkan.
Walalupun membunuh dilegalkan dalam perang hal tersebut tetap akan menimbulkan rasa bersalah yang berlarut. Pengurangan volume bagian otak tersebut yang di yakini dimasa depan akan mempengaruhi kesehatan mental para tentara .
Sejarah Perang
Tuntutan untuk bertahan hidup, melindungi diri dari ancaman bahaya kelompok lain, mempertahankan wilayah, membuat peperangan dianggap sebagai perilaku yang wajar bagi manusia.
Arkeolog mencatat berdasarkan temuan artefak, perang pertama terjadi di Jebel Sahaba di aliran Sungai Nil, sebelah utara Sudan pada 12 ribu SM. Perang tersebut terjadi karena kurangnya sumber pangan. Selain itu juga tercatat perang antar sejumlah desa di utara Sungai Tigris, wilayah Turki-Suriah dan utara Irak saat ini pada 9750 SM-8750 SM
Sedangkan menurut R Brian Ferguson, profesor antropologi di Universitas Rutgers, Newark, Amerika Serikat dalam tulisannya di Majalah Scientific American, 1 September 2019, perang diperkirakan terjadi pada 12.000 tahun lalu. Intensitasnya meningkat sejak 6000 tahun lalu, saat kelompok pemburu di Eropa sudah hidup menetap dengan populasi yang semakin besar.
Baca juga:
- Ketika Media Sosial Amerika Serikat Didesak Terlibat Perang Hibrida, Menentang Invasi Rusia ke Ukraina
- Rusia Negeri Penuh Daya Tarik, Bukan Melulu Soal Perang
- Petinju Hero Tito Meninggal Usai Kalah KO: BOPI Dibubarkan Jokowi, Olahraga Profesional Indonesia Berjalan Tanpa Kontrol
- Konflik Rusia dan Ukraina di Mata Warganet: The Avengers Mustahil Kalahkan Vladimir Putin
Sejak berevolusi lebih dari 200 ribu tahun yang lalu hingga menjadi kelompok pemburu, manusia saling bekerja sama dan hidup berdampingan dengan yang lain dalam kelompok kecil. Mereka bergerak bersama untuk mengeksplorasi wilayah luas dengan kepemilikan terbatas.
Pada masa itu, kelompok pemburu-pengumpul di Eropa sudah mulai hidup menetap dengan populasi mencapai ratusan orang per kelompoknya.
Namun konflik yang terjadi pada saat itu, tidak dapat dikatakan sebagai perang karena pembunuhan yang terjadi umumnya karena alasan pribadi. Sedangkan perang bersifat kolektif atau sosial berbentuk kelompok untuk menyerang kelompok lain.
Tinjauan Psikologis
Psikolog pertama peneliti perang William James pada tahun1910 menduga perang terjadi akibat adanya efek psikologis yang negatif dari perang, baik pada individu maupun masyarakat. Efek perang diduga membuat manusia sulit hidup damai, walaupun manusia aktif menciptakan perdamaian. Sepanjang sejarah perang, motivasi menguasai dan meningkatkan kekayaan itu mudah ditemukan dengan sejumlah variasi.
Manusia adalah makhluk yang sangat terikat dengan rasa memiliki di antaranya identitas, etnis, nasionalisme, atau agama. Perang memicu manusia untuk setia pada identitas kelompok, hingga muncul rasa keterikatan atau bagian dari kelompok tersebut.
Perang akibat identitas kelompok ini juga mudah ditemukan di Indonesia, termasuk konflik yang terjadi di Ambon, Maluku, dan Poso pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an. Konflik bernuansa suku, agama, ras dan antargolongan itu sejatinya berakar pada persaingan perebutan sumber daya ekonomi dan politik antarkelompok.
Pengembangan Jalan Damai
Sebelum konflik Rusia dan Ukraina meletus, Eropa adalah wilayah yang relatif damai sejak Perang Dunia ll berakhir. Steven Pinker dalam The Better Angels of Our Nature (2011) menyebut setelah Perang Dunia II hingga 1980-an, perang justru banyak terjadi di dalam negara, bukan antarnegara. Setelah 1980-an, konflik dan peperangan relatif menurun.
Perdamaian tersebut terjadi melalui berbagai upaya dari pengendalian nuklir, pertumbuhan demokrasi, hadirnya pasukan penjaga perdamaian, hingga runtuhnya Uni Soviet yang mengakhiri era perang dingin dengan Amerika Serikat dan sekutunya.
Kompetisi olahraga menurut James juga mampu menekan ego berperang karena pertandingan olahraga memberikan nilai moral yang setara dengan perang.
Dengan terus mengembangkan jalan damai secara perlahan, diyakini akan membuat spesies manusia keluar dari naluri perang. Perdamaian antara Rusia dan Ukraina menjadi harapan semua orang di dunia, walau tidak ada kepastian kapan akan berakhir.