Pakar Hukum Yusril Ihza Mahendra: Penundaan Pemilu Tak Punya Landasan Konstitusional
JAKARTA - Dunia politik Tanah Air dalam beberapa waktu terakhir cukup riuh dengan munculnya sejumlah usulan terkait penundaan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) yang harusnya digelar pada Tahun 2024 mendatang.
Kondisi pandemi COVID19 yang belum sepenuhnya teratasi dan juga perbaikan ekonomi nasional yang mulai berjalan positif membuat sejumlah partai politik (parpol) dan tokoh publik mengusulkannya sebagai program prioritas yang menjadi fokus utama pemerintah dalam beberapa tahun ke depan.
Sementara, pelaksanaan Pemilu pada 2024 pada saat yang sama dinilai belum urgent sehingga masih bisa ditunda hingga situasi dirasa telah cukup kondusif.
Menangapi gelombang usulan tersebut, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa semua Warga Negara Indonesia (WNI) wajib taat dan patuh terhadap konstitusi negara, yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, pun menyatakan sependapat dengan penilaian Presiden, bahwa usulan penundaan Pemilu tidak mungkin dapat dilaksanakan karena menabrak Pasal 22E ayat (1) UUD 45 yang memerintahkan agar pemilu dilaksanakan lima tahun sekali.
Baca juga:
Dalam tulisannya yang beredar di media, Sabtu, 5 Maret, Yusril menyatakan pelaksanaan Pemilu memang diperlukan untuk mengisi jabatan-jabatan kenegaraan yang masa jabatannya telah berakhir. Sehingga bila penundaan Pemilu dilakukan, maka bakal terjadi kevakuman kekuasaan.
"Karena begitu jabatan berakhir setelah lima tahun, maka para pejabat tersebut, mulai dari Presiden sampai anggota DPRD, statusnya telah menjadi mantan pejabat, alias tidak dapat melakukan tindakan jabatan apapun atas nama jabatannya," tutur Yusril.
Sedangkan bila para mantan pejabat tersebut memaksakan bertindak sebagai seolah-olah pejabat yang sah, menurut Yusril, maka rakyat berhak untuk melakukan pembangkangan atas tindakan mereka. Dan jika keadaan seperti itu terjadi, maka yang terjadi adalah situasi anarki, di mana semua orang merasa dapat berbuat apa saja yang diinginkannya.
"Negara akan berantakan karenanya. Tertib hukum lenyap sama sekali. Makanya dengan adanya statement Presiden bahwa seluruh pihak harus taat dan patuh pada konstitusi, maka tidak ada pilihan yang dilakukan saat ini kecuali melaksanakan pemilu sesuai jadwal.," ungkap Yusril.
Solusi yang kemudian menurut Yusril bisa dilirik, adalah penyelenggaraan Pemilu secara lebih sederhana, misalnya menggunakan digital election dengan memanfaatkan teknologi informasi yang ada saat ini. Dengan begitu, masyarakat dimungkinkan melakukan pencoblosan Pemilihan Legislatif (pileg) dan juga Pemilihan Presiden (Pilpres) menggunakan ponselnya masing-masing. "Kampanyenya sederhana, menghitungnya cepat, dan kecurangannya dapat diminimalkan," tukas Yusril.
Yusril juga menekankan bahwa usulan penundaan Pemilu harus dicarikan lebih dulu landasan konstitusionalnya. Yang paling mungkin menurutnya hanyalah dengan melakukan amandemen UUD 45. Tanpa amandemen, maka penundaan Pemilu adalah pelanggaran nyata terhadap UUD 45.
"Risiko pelanggaran terhadap UUD 45 adalah masalah serius. Presiden pun jika melanggar UUD 45 bisa dimakzulkan oleh MPR. Tentunya dengan melalui proses pemakzulan sebagaimana diatur di dalam UUD 45. Sekarang, pihak mana yang mau melakukan amandemen terhadap UUD 45? Kita hendaknya tidak bermain-main dengan sesuatu, kalau hal itu kita sadari sebagai salah satu bentuk pelanggaran terhadap UUD 45," tegas Yusril.