Bisakah Data Menyelesaikan Krisis Iklim?
JAKARTA - Cuaca ekstrem di belahan dunia manapun belakangan ini, membuat Panel Antarpemerintah Perubahan Iklim (IPCC) PBB mengeluarkan "Kode Merah untuk Kemanusiaan" dalam laporan terbaru mereka. Itu berisi tentang peringatan gelombang panas yang semakin ekstrem, kekeringan dan banjir, dan meningkatnya suhu dalam satu dekade.
IPCC menyajikan peringatan paling keras hingga saat ini tentang ancaman yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Sebuah laporan yang disusun oleh World Meteorological Organization (WMO) juga menunjukkan, pada tahun 2020 dampak perubahan iklim terus meningkat. IPCC memperingatkan bahwa kita hanya memiliki waktu hingga 2030 untuk mencegah kerusakan permanen yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Pada tingkat granular, penyebab spesifik dari perubahan iklim sangatlah kompleks. Namun, kita dapat melihat satu penyebab yang mungkin juga menawarkan solusi, dan itu adalah data.
Digitalisasi ekonomi global yang cepat dan peningkatan jumlah pusat data yang intensif energi merupakan penyebab utama keprihatinan akan perubahan iklim. Pusat data dan jaringan transmisi data masing-masing menyumbang sekitar 1 persen dari penggunaan listrik global pada tahun 2019, dan lalu lintas internet global melonjak hampir 40 persen antara Februari dan pertengahan April 2020.
Erich Gerber, Senior Vice President APJ and EMEA, TIBCO Software Inc mengatakan, ledakan permintaan dan kapasitas ini disebabkan oleh meningkatnya ketergantungan pada teknologi selama pandemi.
"Teka-tekinya adalah bagaimana terus memperluas penggunaan data yang penting, tetapi melakukannya dengan cara yang berkelanjutan?" kata Erich, dalam keterangan tertulisnya, dikutip Jumat 18 Februari.
Masalah ini, kata Erich, cukup serius hingga solusi diidentifikasi untuk mengembangkan pusat data "hijau" dan di seluruh dunia, para pelaku industri bekerja keras untuk mewujudkannya. Satu hal yang pasti, peningkatan eksponensial dalam pembuatan dan penggunaan data tidak akan berhenti.
"Indonesia khususnya telah menyaksikan ledakan populasi yang sangat bergantung pada penggunaan data," tuturnya.
Lebih lanjut Erich mengatakan, mengesampingkan pertanyaan tentang perangkat keras yang berkelanjutan, integrasi big data dengan pengetahuan memberikan kontribusi positif yang penting untuk memerangi perubahan iklim. Hanya analitik data yang sangat canggih yang dapat menangani sejumlah besar dan kompleks data yang dihasilkan oleh variabel seperti perubahan permukaan laut, perusakan hutan hujan, hilangnya gletser, dan pola cuaca makro.
"Menganalisis data ini memfasilitasi pemodelan iklim dan yang dapat mengungkapkan wawasan tersembunyi dan dengan demikian rekomendasi untuk tindakan," jelasnya.
Memanfaatkan AI dan machine learning
Kecerdasan buatan (AI) dan teknologi machine learning (ML) akan sangat penting dalam menangani perubahan iklim. Peneliti dan inovator iklim telah menggunakan AI/ ML untuk menguji teori dan solusi iklim mereka dan mengembangkan produk dan layanan yang bermanfaat, untuk warga negara individu maupun bisnis.
Pada konferensi AI besar pada Juni 2019, para peneliti dan pakar yang hadir membahas makalah yang baru-baru ini diterbitkan oleh para pemimpin industri AI yang disebut "Mengatasi Perubahan Iklim dengan Machine Learning". Makalah ini mencakup 13 area di mana pembelajaran mesin dapat diterapkan, termasuk produksi energi, penghilangan CO2, pendidikan, geoengineering surya, dan keuangan.
Scotland's Environment Web (SEWeb) sudah menerapkan teknik ini. SEWeb menggunakan alat visualisasi data untuk membuat gambaran lingkungan negara dan berinteraksi lebih dalam dengan data. Alat-alat ini menghemat waktu dan tenaga pengguna, memungkinkan mereka menganalisis dan melihat banyak lapisan data dengan lebih mudah, dengan filter untuk bidang minat mereka (udara, air, tanah) dan faktor-faktor yang berkontribusi.
Informasi terkait lebih mudah tersedia dan terlihat, memungkinkan pengguna untuk menyerapnya lebih cepat dan lebih lengkap. Diterapkan secara lebih luas, alat-alat ini dapat membantu pemerintah dan pembuat kebijakan memahami realitas situasi global, dan bekerja menuju solusi potensial.
Tanggapan Indonesia
Erich menuturkan, laporan IPCC sangat jelas, di mana kita banyak bicara tetapi sangat sedikit tindakan. Asia Tenggara tidak akan terhindar dari perubahan iklim.
Menurut firma riset McKinsey, kawasan itu berpotensi menghadapi konsekuensi perubahan iklim yang lebih parah daripada bagian lain dunia. Indonesia seperti wilayah lainnya misalnya memiliki iklim tropis, tetapi negara ini mengalami periode panas yang berkepanjangan dan perubahan suhu yang tidak teratur serta banjir yang tidak terduga.
Indonesia mengambil tindakan serius. Menurut laporan, Indonesia optimis mencapai target nol emisi bersih pada tahun 2060.
Hal ini juga semakin memperkuat komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 41 persen pada tahun 2030 dengan bantuan internasional dalam komitmennya terhadap Agenda Pembangunan Berkelanjutan PBB tahun 2030 dan Paris Agreement.
"Ini semua sangat baik, tetapi pertanyaannya tetap apakah negara-negara di dunia memiliki kemauan politik untuk berkolaborasi dan berbagi data dalam skala yang benar-benar global, atau akan terus menempuh jalan membabi buta menuju hari kiamat?" kata Erich.
"Ini belum terlambat. Keputusan besar perlu dibuat yang dapat meningkatkan model ekonomi global. Namun apapun hasilnya, analisis data dan data lah yang memberikan wawasan untuk membuat keputusan tersebut mungkin dan efektif dalam menyelesaikan krisis iklim," pungkas Erich.