Melaksanakan Pilkada Saat Positivity Rate di Atas 10 Persen adalah Sebuah Kenekatan
JAKARTA - Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman memandang pemerintah Indonesia nekat karena melaksanakan Pilkada 2020 ketika krisis akibat pandemi COVID-19 masih terjadi dan positivity rate (persentase orang yang positif) berbanding jumlah pengujian mencapai 14 persen.
"Iya (nekat, red). Jadi memang ini risikonya besar sekali ya dengan positivity rate yang setinggi ini kemudian mengadakan satu kegiatan yang melibatkan massa yang otomatis sulit dikendalikan dalam kaitan menjaga jarak, memakai masker," kata Dicky kepada VOI, Kamis, 10 September.
"Ini artinya potensi terjadinya klaster sudah sangat tinggi sekali. Ini tinggal menunggu waktu kalau melihat begini dari beberapa kegiatan kan keliatan sekali pengabaian protokol kesehatan," imbuhnya.
Pernyataan ini bisa jadi ada benarnya. Usai tahapan pendaftaran calon kepala daerah dilaksanakan, di Kabupaten Boyolali misalnya, ada 96 petugas Badan Pengawas Pemilu yang dinyatakan positif COVID-19. Selanjutnya, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) juga mengumumkan terdapat 59 calon kepala daerah di 21 provinsi yang dinyatakan positif COVID-19.
Kembali ke Dicky, dia mengatakan, ada sejumlah negara yang berhasil untuk menyelenggarakan pemilu di masa pandemi, di antaranya adalah Korea Selatan yang selalu menjadi rujukan pemerintah.
Tapi, yang perlu diingat saat itu positivity rate Korea Selatan sekitar 1 persen atau artinya berada jauh di bawah standar WHO yaitu 5 persen.
Hal ini berbeda dengan kondisi Indonesia yang saat ini positivity rate-nya justru di atas standar itu dan kepatuhan masyarakatnya juga tak sama dengan masyarakat Korea Selatan.
Sehingga, Dicky meminta pemerintah untuk mengevaluasi penyelenggaraan Pilkada 2020. Evaluasi ini, kata dia, harus dibuat secara menyeluruh termasuk mekanismenya dengan menggandeng para ahli di bidang kesehatan. Setelah evaluasi, perbaikan pun harus segera dilakukan.
Dirinya mengamini jika pesta demokrasi ini adalah hajatan penting bagi masyarakat untuk memilih kepala daerah mereka. "Tapi perlu ada mekanisme yang lebih aman yang harus dilakukan," tegasnya.
Apalagi kebanyakan peserta pemilu adalah mereka yang berusia lanjut dan mempunyai penyakit komorbid sehingga risikonya lebih tinggi ketika terjangkit COVID-19. Sehingga pemerintah dan penyelenggara bersama para ahli memang harus duduk bersama mencari solusi untuk Pilkada di tengah pandemi.
"Harus ada solusi yang memenangkan sektor kesehatan tanpa mengurangi tujuan pelaksanaan pilkada," ujarnya.
Baca juga:
Sebelumnya, meski dikhawatirkan menimbulkan klaster baru COVID-19 namun Pilkada 2020 disebut pemerintah tak mungkin lagi diundur.
Menurut Kabag Perundang-Undangan Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Saydiman Marto, meski opsi penundaan diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2020 mengenai pelaksaan pilkada di masa pandemi COVID-19 namun ada beberapa pertimbangan yang menyebabkan hal ini tak bisa dilakukan.
"Saya tidak bilang Pilkada 2020 tidak mungkin dimundurkan karena ini kesepakatan semua stakeholder. Tapi, ada beberapa pertimbangan logis dan realistis yang mungkin menjadi gambaran mengapa pilkada mesti dilaksanakan," kata Saydiman dalam diskusi webinar, Rabu, 9 September.
Saydiman menuturkan, masa jabatan kepala daerah di 270 daerah yang mengikuti Pilkada 2020 akan segera berakhir di awal tahun depan. Ketika pilkada kembali ditunda, itu artinya kepemimpinan di daerah tersebut akan diisi oleh Penjabat (Pj) selama masa jabatan kepala daerah habis dan belum memiliki kepala daerah baru.
Namun Penjabat atau pejabat sementara ini memiliki keterbatasan, yakni tidak bisa mengambil keputusan yang bersifat strategis dan mengeksekusi suatu kebijakan. Padahal, hal ini diperlukan dalam penanganan pandemi.
"Keterbatasannya, penjabat menduduki dua jabatan pemerintahan. Pada saat yang bersamaan, itu sulit untuk berkonsentrasi terhadap jabatan (kepala daerah sementara) yang ada, di samping jabatan definitif yang diemban," ungkap dia.
Sementara Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut, pihaknya saat ini tengah menggodok aturan diskualifikasi bagi calon kepala daerah yang kedapatan melanggar protokol kesehatan. Hal ini dilakukan dengan tujuan mencegah terjadinya klaster Pilkada.
"Selain teguran kami juga sudah sampaikan kemungkinan membahas adanya aturan diskualifikasi. Itu bisa saja terjadi misalnya dengan membuat PKPU atau yang lainnya yang diperlukan," kata dia usai melaksanakan rapat koordinasi bersama Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dan sejumlah pihak termasuk penyelenggara Pilkada yaitu KPU dan Bawaslu.