Eksklusif, Bersama SMSI, Firdaus Melawan Konglomerasi dengan Kolaborasi

Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, begitu kata pepatah lama. Dalam konteks kekinian kolaborasi menjadi istilah yang lebih banyak dipraktikkan dalam mencapai sesuatu dengan cara kerjasama satu dengan yang lain. Konsep kolaborasi inilah yang dipraktikkan oleh Drs. Firdaus, M.Si., sebagai Ketua Umum Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) bersama anggotanya. Tak tanggung-tanggung ia akan melawan konglomerasi yang mensupport media dengan upaya kolaborasi ini.

***

Insan pers Indonesia baru saja merayakan Hari Pers Nasional  (HPN) 9 Februari 2022. Dalam kesempatan itu Presiden Jokowi yang hadir secara daring pada puncak acara yang berlangsung di Kendari, Sulawesi Tenggara, mengharapkan agar insan pers segera menyambut usulan untuk regulasi  publisher right atau hak cipta jurnalistik untuk segera disahkan. Hal ini sebagai upaya untuk menata ekosistem industri pers ke depan yang lebih baik.

Jokowi memberi tiga opsi mengenai bentuk regulasi publisher rights, di antaranya membentuk undang-undang baru, merevisi undang-undang terkait industri media yang sudah ada, atau menerbitkan peraturan pemerintah (PP). "Ada beberapa pilihan yang mungkin bisa segera kita putuskan. Apakah segera mendorong undang-undang baru, atau yang kedua merevisi undang-undang lama, atau paling cepat adalah peraturan pemerintah atau PP," kata Jokowi dalam sambutannya.

Drs. Firdaus, M.Si., sebagai Ketua Umum SMSI menyambut baik usulan presiden soal disahkannya publisher rights. “Semoga momen HPN ini ada kesadaran baru bagi semua  insan pers untuk melihat masa depan pers secara lebih luas. Kita harus maju dan melampaui waktu. Kita tak hanya berpikir hari ini tapi masa depan. Pertarungan ke depan eranya sudah metaverse. Ini yang harus kita sambut. Tantangan ke depan sangat berat, tapi kita harus optimis, dengan optimisme itulah kita akan menggantungkan harapan dan berupaya meraihnya,” katanya.

Upaya lain yang bisa dan harus dilakukan kata Firdaus adalah kolaborasi. “Ekonomi kita ditopang dengan budaya gotong-royong. Inilah kekuatan media star-up, kolaborasi dan gotong-royong. Kalau tidak, kita tidak akan pernah mampu berhadapan dengan konglomerasi. Satu-satunya upaya yang bisa kita siapkan adalah kolaborasi,” tandas Firdaus kepada Iqbal Irsyad, Edy Suherli, Savic Rabos dan Rifai yang mewancarainya di Kantor SMSI, Gambir, Jakarta Pusat belum lama berselang. Inilah petikan selengkapnya.

Firdaus. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

SMSI merupakan organisasi media yang anggotanya lebih dari 1.700 yang mayoritas UMKM, sebagai organisasi apa peran terhadap anggotanya?

Sebagai organisasi perusahaan media siber, dan kita termasuk yang terbesar di Indonesia bahkan dunia menurut versi Menteri Pariwisata. Kita mencoba mensinergikan seluruh anggota. Dan seluruh anggota harus sadar kalau namanya berserikat itu saling melengkapi, mensinergikan dirinya dengan yang lain dalam rangka mencapai tujuan. Mau tidak mau untuk memenangkan persaingan global harus ada kolaborasi. Kita akan membangun eksosistem baru dalam naungan SMSI. Ini target kita dalam lima tahun ini, membangun kultur organisasi.

Langkah apa yang akan dilakukan untuk mensinergikan anggota yang tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah yang demikian banyak itu?

Kita di SMSI ini semuanya adalah star-up rintisan, bisa juga dibilang UMKM begitu. Kita berupaya berkolaborasi membangun newsroom bersama. Tahun lalu kita sudah membentuk newsroom itu. Di sana kita menyiapkan bank berita dan bank data namanya Siberindo. Seluruh media yang bergabung  dalam SMSI dapat mengambil berita itu dengan gratis. Dengan biaya yang amat ringan mereka tak perlu menempatkan wartawan di Papua kalau kantor mereka di Kalimantan misalnya. Secara finansial bisa terbantu, secara konten bisa tercukupi.

Setelah berlangsung setahun bagaimana jalannya Siberindo ini?

Kita launching Oktober 2020 dan kita masih berjalan, meski badai COVID-19 juga memengaruhi teman-teman semua yang bergabung dalam Siberindo ini. Tapi kita tetap berupaya agar newsroom ini berjalan. Ke depan newsroom ini kita harapkan bisa menjadi platform baru. Untuk itu sekarang kita sedang melompat membangun kripto untuk teman-teman SMSI. Ini adalah sumber pembiayaan bagi komunitas SMSI. Nanti mereka harus berbayar dengan kripto yang kita bangun dan kita bagikan kepada mereka. Harapan kita suatu saat nanti kripto itu liquid. Ini salah satu upaya yang kita lakukan untuk mengatasi kekurangan finansial.

Lalu apa lagi yang dilakukan?

Selain itu kita juga terus menjaga sinergi dengan membudidayakan kultur berserikat di antara anggota SMSI. Ekonomi kita ditopang dengan budaya gotong-royong. Inilah kekuatan media star-up yang ada, kolaborasi dan gotong-royong. Kalau tidak kita tidak akan pernah mampu berhadapan dengan konglomerasi. Satu-satunya upaya yang bisa kita lakukan dan siapkan adalah kolaborasi.

Di era sekarang media online memang mendominasi. Tapi tidak berbanding lurus dengan bisnis (perolehan iklan). Padahal nasib media sangat tergantung pada iklan. Bagaimana Anda menyikapi hal ini?

Dulu saat media belum sebanyak sekarang, media bisa dapat income dari iklan instansi pemerintah, dan partner yang memang sudah bekerjasama. Ke depan kita tidak bisa banyak berharap, karena begitu banyak media, sementara sumbernya itu-itu saja. Karena itu kita membangun komunitas. Kita sudah tak bisa lagi mengharapkan kue iklan dari luar. Yang bisa dilakukan adalah membangun komunitas yang bisa menghidupi satu sama lain.

Kita harapkan tiga atau empat tahun ke depan kripto yang kita punya ini liquid, dan itu bisa menjadi pijakan untuk kita melompat ke depan lebih jauh. Mudah-mudahan teman-teman menjadi orang kaya semua. Sementara ini kita masih mencoba transfer dulu.

Reaksi teman-teman SMSI seperti apa untuk penerapan kripto currency ini?

Puji syukur kepada Tuhan, bahwa teman-teman yang notabene adalah pengusaha dan wartawan di daerah yang selama ini tidak pernah bermain di ranah digital (kripto). Kripto ini kan alat tukar baru untuk masa depan, mereka semua belajar. Mereka sangat antusias mempelajari soal yang baru ini. Kita akan optimalkan komunitas kita untuk bertransaksi dengan kripto ini. Sehingga terdapat kesepakatan dan kripto itu menjadi alat tukar pengganti mata uang.

Firdaus. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Sementara kripto ini belum running well atau dalam istilah tadi liquid, apa yang bisa dilakukan?

Sampai hari ini teman-teman di daerah karena mereka rata-rata punya pendapatan lain, jadi ada alternatif untuk income dan membuat idealisme tetap terjaga. Kalau engga begitu mungkin kita semua sudah tumbang. Idealisme  untuk menghidupi gagasan ini tetap terjaga sambil menunggu waktunya nanti kita akan membangun pers dari bawah.

Seperti apa menghadapi persaingan dengan media besar yang disupport oleh konglomerasi?

Media besar yang disupport oleh teknologi, finansial, SDM yang luar biasa, menurut kami itu bukan persaingan. Dan kami tidak pernah menempatkan mereka sebagai kompetitor. Sebaliknya kami menjadikannya sebagai pemacu semangat bagaimana suatu saat  nanti bisa melampaui mereka semua. Dan yang perlu dicatat sekarang ini sudah tidak ada lagi media mainstream, media mainstream sudah menjadi konvensional. Kita yang kecil-kecil ini melompat biasa saja, mereka saat mau melompat terkendala dengan SDM yang besar. Akan menjadi beban baru kalau dia melompat. Karena kita kecil setiap saat bisa melompat, sedangkan mereka tak bisa.

Soal verifikasi  dari Dewan Pers, seperti apa Anda mensikapinya, apakah teman-teman SMSI sadar akan hal ini, apakah media mereka sudah ter- verifikasi?

Verifikasi jika itu persyaratan dalam sebuah bisnis, ya harus dipenuhi. Apakah persyaratan itu menjadi kebutuhan masyarakat dan masyarakat pers itu sendiri, itu yang menjadi pertanyaan. Ketika kita sudah tidak berharap pada iklan-iklan yang mensyaratkan verifikasi, orang sudah tidak mempersoalkan status itu lagi. Keadaan seperti ini harus ada  regulasinya dari  Dewan Pers. Dewan Pers harus revolusioner. Dengan regulasinya harus mewadahi juga hal-hal seperti ini. Harus mampu melompat juga biar tidak ketinggalan dengan kemajuan teknologi terkini. Sekarang orang sudah bicara metavers. Sementara kita tidak pernah membahas soal-soal seperti ini di Dewan Pers sampai hari ini.

Apa masukan Anda untuk sistem verifikasi yang dilakukan selama ini oleh Dewan Pers, verifikasi administrasi dan verifikasi faktual?

Untuk saat ini menurut saya soal ini harus ditinjau ulang, mengapa? Apakah verifikasi ini tidak menjadi beban, sehingga kita membatasi kemerdekaan pers itu sendiri. Sekarang setiap bulan tumbuh pesat media baru, sedangkan anggota Dewan Pers masih sangat sedikit. Kalau kita berpikir ke depan sesungguhnya hal-hal yang menyulitkan itu dipangkas. Mengapa kita berpikir pada hal-hal yang konvensional.

Kekerasan pada wartawan masih terjadi, tahun lalu seorang wartawan di Sumatera Utara ditembak, bagaimana Anda melihat keadaan seperti ini?

Kita ini negara hukum, siapa pun yang berbuat atau melawan hukum harus ditindak berdasarkan hukum yang berlaku. Tidak hanya wartawan kalau soal hukum semua berlaku. Kita prihatin juga dengan pertumbuhan pers yang demikian pesat masih ada yang menganggap pers itu musuh, padahal dia adalah mitra untuk melakukan pembangunan. Sehingga ada pembunuhan atau wartawan yang terbunuh, ini memprihatinkan. Kita harus terus meningkatkan kewaspadaan dan kompetensi wartawan kita.  Pembinaan pada wartawan adalah keharusan bagi seluruh perusahaan pers agar  wartawannya dididik dan dilatih sampai pada kompetensi tertentu sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan.

Saat wartawan merangkap juga menjadi pengusaha, seperti apa hal ini di SMSI?

Karena di SMSI itu memang banyak star-up media dia kadang merangkap sebagai jurnalis dan juga sebagai pengusaha. Selama dia bisa memilah-milah tugasnya dan tetap bisa profesional sebagai seorang wartawan saya pikir oke saja. Tapi kalau sudah semakin berkembang, wartawan harus memilih akan menjadikan profesi wartawan sebagai pilihan atau sebagai seorang pengusaha media. Anggota SMSI juga harus mengidentifikasi dirinya, akan menjadi wartawan yang profesional atau akan menjadi pengusaha. Soalnya keduanya ada dinding pemisah, wartawan tabu bicara bisnis, sedangkan pegusaha wajib bicara bisnis dan mencari iklan. Kita sudah mengimbau kepada anggota SMSI untuk memilih menjadi seorang wartawan atau pengusaha.

Apa makna HPN bagi SMSI?

HPN itu merupakan sebuah jejak / monumen historis untuk bangsa, karena HPN tidak dapat dilupakan dari perjuangan para waratwan dalam rangka menjaga kemerdekaan dan mempersatukan bangsa. Untuk bagi kami HPN itu merupakan momen yang tak terpisahkan dengan kelahiran SMSI. HPN adalah tonggak dan mata rantai perjuangan ke depan bagi SMSI.

Kita mendorong pengurus SMSI untuk berusaha untuk bagaimana mengonsolidasikan anggota untuk memahami tanggung jawab kita kepada negara. HPN dan HUT SMSI itu tidak berjauhan, HPN 9 Februari HUT SMSI 7 Maret. Nah momentum ini juga kita mendorong pengurus dan anggota menyadari pentingnya untuk melompat, mempersiapkan generasi yang akan datang dalam rangka penguasaan cybermedia. Jika tidak maka kita akan ketinggalan. Dan benteng pertahanan itu tidak pada heroisme masa lalu, tetapi mempertahankan masa depan organisasi di hari ini.

Apa harapan untuk HPN tahun ini?

Semoga momen HPN ini ada kesadaran baru bagi semua insan pers untuk melihat masa depan pers secara lebih luas. Kita harus maju dan melampaui waktu. Kita tak hanya berpikir hari ini tapi masa depan. Pertarungan ke depan eranya sudah metaverse. Ini yang harus kita sambut. Tantangan ke depan sangat berat, tapi kita harus optimis, dengan optimisme itulah kita akan menggantungkan harapan dan berupaya meraihnya.

Firdaus Ingin Habiskan Hari Tua di Kampung dengan Berkebun dan Beternak 

Firdaus. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Setiap orang punya impian untuk menghabiskan hari tuanya. Ketua Umum Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Drs. Firdaus, M.Si., punya obsesi ingin menghabiskan masa tuanya di kampung dengan berkebun dan beternak. “Kalau amanat sebagai Ketua Umum SMSI ini sudah rampung dan tidak ada halangan saya akan menghabiskan masa tua saya di kampung saja. Saya akan mengisi hari-hari saya dengan berkebun dan beternak,” katanya.

Impian kembali ke desa, seperti masa dulu saat ia kecil dan bertumbuh. “Saya akan kembali ke kampung menjadi orang biasa. Saya akan menghabisan waktu dengan mendidik orang. Saya akan pelihara, ayam, dan kambing. Orang lain engga perlu tahu kalau dulu saya sempat jadi sesuatu. Saya akan mengisi hari-hari saya dengan ibadah,” katanya.

Saat ini meski belum full tinggal di kampung Firdaus sudah memulainya. “Di waktu libur saya punya kesibukan lain dengan mengawasi journalist boarding school (JBS) yang saya dirikan. Saya menyiapkan wartawan muda atau mereka yang ingin menjadi wartawan, bagaimana menghadapi masa depan. Saya menyiapkan mereka menjadi wartawan profetik,” katanya.

Di lokasi JBS di Jl.Cikerai, Kalitimbang, Kecamatan Cibeber, Cilegon Banten, ini Firdaus juga kerap berkumpul dengan keluarga. Soalnya di JBS, tak hanya tempat untuk belajar junalistik, tapi ada juga kebun dan kolam ikan yang bisa menjadi tempat untuk melepas penat setelah berkutat dengan kesibukan. “Kami biasanya berkumpul dengan keluarga. Habis memberi makan ikan, menangkap ikan dan masak sama-sama,” katanya.

Saat itulah Firdaus mendemonstrasikan kepiawaiannya memasak. Memasak masakan khas Sumatera Selatan.  “Ikan yang kita tangkap itu saya olah dan dimasak dengan bumbu khas, namanya tempoyak. Tempoyak itu daging buah durian yang dipermentasikan. Hasil permentasi itulah dinamakan tempoyak. Ikan sebagai menu utama dimasak dengan tempoyak yang diramu dengan aneka bumbu seperti cabe, sere, kunyit, garam dan lain-lain untuk dijadikan masakan,” ungkapnya.

Ikan yang diolah Firdaus selain dimasak dengan kuah dengan campuran tempoyak tadi, juga dibuat pepes dengan ramuan tempoyak sebagai bumbu yang menjadikan ikan memiliki citarasa yang khas. “Ikan yang ditangkap selain dimasak dengan kuah tempoyak juga dibikin pepes tempoyak. Soal rasa jangan ditanya, pokoknya rame. Ada rasa pedas, asem, asin, sedikit manis. Pokoknya nano-nano deh hehehe,” katanya dengan tawa yang berderai.

Karena Firdaus sering memasak tempoyak, ilmu ini ia turunkan kepada istri tercinta. “Meski dia bukan orang Melayu, tapi sekarang dia juga sudah pandai memasak ikan dengan tempoyak dan memasak pepes ikan tempoyak,” tambahnya.

Mengawetkan Ikan

Firdaus. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Satu lagi kebisaan Firdaus adalah mengawetkan ikan dengan membuatnya makanan khas yang disebut kasam atau sebagian daerah di Sumsel menyebutnya dengan bekasam. “Kasam itu adalah upaya mengawetkan ikan dengan garam, nasi, lalu dipermentasikan. Selama dua pekan diawetan kasam bisa diolah menjadi masakan yang lezat,” katanya.

Soal membuat kasam, ternyata ada trik tertentu agar hasilnya baik. “Orang yang bisa membuat kasam akan ketahuan dari hasilnya. Kalau saat membuatnya ada ulat atau belatung, berarti dia belum bisa dikatakan dapat membuat kasam. Jika hasilnya tanpa ulat atau belatung itu baru dikatakan bisa bikin kasam,” katanya.

Di keluarga Firdaus, keahlian membuat kasam ini menjadi seperti pengakuan keluarga. “Jadi di suku saya kalau belum berhasil membuat kasam, belum bisa dikatakan jadi keluarga kami. Makanya dicoba dan dicoba terus sampai bisa dan akhirnya diakui sebagai anggota keluarga kalau sudah berhasil membuat kasam,” katanya.

Apa tips agar hasil pembuatan kasam itu hasilnya bagus? “Tipsnya sederhana sekali,  setiap hari ditutup dengan daun singkong. Setiap hari daun singkongnya diganti. Atau paling lama tiga hari. Uniknya daun singkong yang dijadikan untuk menutup permentasi kasam tadi kalau dimasak citarasanya  makin lezat,” ungkapnya.

Tips memasak dan mengolah masakan ini, kata  Firdaus, semakin mudah dengan kemajuan teknologi. Semua bisa dicari di dunia maya, bisa ditemukan. “Sekarang rajin-rajin mencari saja di internet akan bertemu banyak sekali tips. Seperti tips bagaimana membuat daun papaya agar tidak terasa pahit,” katanya.

Pandemi

Firdaus. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Dalam menjaga kesehatan di tengah pandemi ini Firdaus berusaha untuk berprasangka baik dan berpikiran positif.  Dua hal ini penting bagi Firdaus karena itu adalah kunci dari kesehatan rohani. “Pikiran positif itu adalah kuncinya. Kalau belum apa-apa sudah berpikir negatif pada orang lain akan menjadi beban pikiran. Ujung-ujungnya terbawa  pikiran, itu yang akan membuat tidak sehat,” katanya.

Setelah urusan rohani selesai barulah urusan jasmani dia perhatikan. “Saya olahraga rutin di rumah dan di kantor. Dan tak harus mencari momen, cukup naik turun tangga sudah membuatnya berkeringat. Atau berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lain juga sudah membuat raganya berkeringat,” katanya.

Jadi tak perlu menyengajakan diri untuk bergerak. Gerak yang dilakukan di rumah di kantor dan tempat aktivitas lainnya bisa menjadi bentuk olahraga bagi Firdaus. Intinya adalah gerak yang membuat raga berakselerasi, kalau akselerasinya makin tinggi keringat akan bercucuran. Namun kata dia, jika ada waktu atau bagi yang memang menyengajakan untuk berolahraga itu lebih baik lagi.

>

Untuk anak muda ia berpesan bahwa segala sesuatu itu adalah proses. Tak baik meraih sesuatu secara instan. “Tips untuk anak muda yang saat ini kita harus melihat segala sesuatu itu adalah proses,” katanya. Karena itu katanya  untuk mencapai sesuatu harus diupayakan sejak dini. Melalui langkah demi langkah sampai tercapai apa yang diinginkan. “Saat kita ingin meraih sebuah cita-cita tak bisa langsung jadi, harus melalui proses dulu. Dan jangan lupa berdoa dan memohon petujuk kepada Tuhan agar apa yang kita upayakan mendapat ridha dari-Nya,” kata Firdaus yang amat menghargai proses sebelum meraih sesuatu.

“Kita harus maju dan melampaui waktu. Kita tak hanya berpikir hari ini tapi masa depan. Pertarungan ke depan eranya sudah metaverse. Ini yang harus kita sambut. Tantangan ke depan sangat berat, tapi kita harus optimis, dengan optimisme itulah kita akan menggantungkan harapan dan berupaya meraihnya,”