NasDem: Setuju Ratifikasi Perjanjian Esktradisi, Tapi Berat soal FIR
JAKARTA - Fraksi Partai NasDem di DPR setuju adanya ratifikasi perjanjian ekstradisi Indonesia dengan Singapura. Namun soal perjanjian ruang udara atau Flight Information Region (FIR) dan wilayah pertahanan Indonesia dengan Singapura, NasDem berat untuk menyetujui.
"Kalau saya sih setuju-setuju saja (ratifikasi perjanjian ekstradisi), karena selama ini, Indonesia terhambat karena tidak adanya perjanjian ekstradisi dengan Singapura. Kemudian Singapura menjadi surga bagi para orang-orang yang berlindung ke sana," ujar Ketua Fraksi NasDem, Ahmad Ali kepada wartawan, Kamis, 3 Februari.
Ali pertama mengomentari perjanjian ekstradisi. Kata dia, banyak dugaan bahwa Singapura dibanjiri uang hasil kejahatan dari Indonesia. Selain itu, banyak pihak yang bermasalah hukum dengan Indonesia bersembunyi di Singapura.
"Bahkan penegak hukum negara kita tidak bisa berbuat apa-apa ketika kemudian penegak hukum kita bertemu dengan penjahat tersebut di sana nggak bisa berbuat apa-apa karena itu tadi (tidak ada ekstradisi). Pada sisi (perjanjian ekstradisi), baik-baik saja dan setuju, supaya kemudian tidak ada batasan, sehingga satu negara dengan negara lain tidak saling menjadi tempat persembunyian bagi penjahat apa pun," jelas anggota Komisi III DPR itu.
Sementara untuk perjanjian ruang udara dan soal pertahanan, NasDem memberikan catatan terkait Perjanjian Kerjasama Pertahanan 2007 atau Joint Statement MINDEF DCA. Fraksi NasDem, kata Ali, berat untuk menyetuji perjanjian ini.
"Yang diminta Presiden kan bagaimana penguasaan wilayah udara kita yang hari ini masih sebagian dikuasai Singapura. Ya memang menjadi agak sulit sebagai negara daulat untuk Indonesia yang sebesar ini, terus kemudian ruang udaranya (sebagian) dikontrol Singapura," ucap Ali.
NasDem menilai perjanjian ekstradisi lebih menguntungkan sisi Indonesia. Sebab, aparat Indonesia bisa melakukan penegakan hukum di Singapura.
Namun soal pertahanan, kata Ali, NasDem menilai perjanjian itu menguntungkan Singapura karena bisa melakukan latihan militer di wilayah RI.
"Tentunya kita berharap dua-duanya (ekstradisi-ruang udara) bisa dilaksanakan, tapi kalau kemudian ini harus terpisah, ya kita mengambil satu (ekstradisi), sambil menegosiasikan ruang udara," pungkasnya.
Baca juga:
Sebelumnya, Pemerintah menyatakan perjanjian ekstradisi dengan Singapura akan mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana di Indonesia untuk melarikan diri. Apalagi Indonesia telah memiliki perjanjian dengan negara mitra sekawasan, di antaranya Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Australia, Republik Korea, Republik Rakyat Tiongkok, dan Hong Kong.
“Perjanjian ekstradisi ini akan menciptakan efek gentar (deterrence) bagi pelaku tindak pidana di Indonesia dan Singapura,” ujar Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada Rabu pekan lalu.
Yasona meneken Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura, di Bintan, Kepulauan Riau, Selasa, 25 Januari 2022.
Sementara, Kementerian Perhubungan mengungkap alasan pemerintah mendelegasikan pengelolaan ruang udara (FIR) di bawah ketinggian 37 ribu kaki kepada Singapura.
Juru bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati mengatakan pendelegasian pengeluaran FIR kepada Singapura atau perjanjian FIR bertujuan untuk melindungi keselamatan penerbangan.
"Pendelegasian kami harus lakukan karena pertimbangan keselamatan penerbangan," kata Adita melalui keterangan tertulis, Senin, 31 Januari 2022.
Dari perjanjian itu, kata dia, faktanya hanya 29 persen saja wilayah yang didelegasikan kepada operator navigasi Singapura, yakni area yang berada di sekitar Bandara Changi. Bahkan pada 29 persen area yang didelegasikan tersebut, terdapat wilayah yang tetap dilayani oleh AirNav Indonesia untuk keperluan penerbangan di Bandara Batam dan Tanjung Pinang.