Tradisi Tahlilan: Perekat Tali Persaudaraan Orang Betawi
JAKARTA - Nusantara adalah negeri yang kaya tradisi. Tahlilan salah satunya. Tradisi itu sudah mengakar kuat sejak nenek moyang bangsa menganut kepercayaan animisme. Tiada yang dapat menggantikannya. Termasuk pengaruh Hindu-Buddha. Ulama Islam pun mengadopsinya sebagai ritus keagamaan. Ajian menghormati orang meninggal lalu lestari. Bahkan menyatu dengan kebudayaan Islam. Termasuk dalam daur hidup orang Betawi. Karenanya, tahlilan menjelma sebagai perekat tali persaudaraan orang Betawi.
Penghormatan kepada orang yang meninggal dunia bukan cuma monopoli orang Eropa belaka. Di Nusantara, ritus kematian dilakukan meriah, terkadang juga megah. Tradisi itu dihadirkan untuk mendoakan orang tua, saudara, nenek, kakek, atau siapa saja yang meninggal dunia.
Apalagi penghormatan kepada orang meninggal telah langgeng sejak nenek moyang bangsa menganut sistem kepercayaan animisme. Dalam sistem kepercayaannya, roh orang yang baru meninggal dunia akan kembali ke rumah untuk mengunjungi keluarganya. Jika penghormatannya dianggap sepi, roh itu mati akan murka dan mengganggu kehidupan orang yang masih hidup.
Ritus kematian itu berkembang. Roh orang mati dipercaya dapat menentukan kebahagiaan. Atau sebaliknya, kesesialan bagi mereka yang masih hidup. kepercayaan tersebut mengakar dalam tiap sendi kehidupan kaum bumiputra. Dari bangsawan hingga jelata.
Ritus kematian ala Nusnatara jadi tergantikan. Pengaruh tradisi Hindu-Buddha tak juga mampu menggantinya. Islam pun demikian. Akan tetapi, pendakwah atau ulama Islam justru ambil jalan tengah. Nilai-nilai Islam yang luwes dan tak frontal digunakan. Alhasil, ritus penghormatan orang mati diadopsinya. Tradisi itu kemudian langgeng dikenal sebagai tahlil atau tahlilan.
“Ketika agama Hindu dan Buddha masuk di Indonesia, kedua agama ini tidak mampu merubah tradisi animisme tersebut. Bahkan, tradisi tersebut berlangsung terus sampai agama Islam masuk ke Indonesia yang dibawa oleh para ulama, yang dikenal dengan Wali Songo. Setelah orang-orang tersebut masuk Islam, mereka juga tetap melakukan ritual tersebut. Sebagai langkah awal, para ulama terdahulu tidak memberantasnya.”
“Tetapi mengalihkan dari upacara yang bersifat Hindu dan Buddha itu menjadi upacara yang bernafaskan Islam, sehingga tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam. Sesaji diganti dengan nasi dan lauk-pauk untuk sedekah. Mantra-mantra diganti dengan zikir, doa dan bacaan-bacaan Al Quran. Upacara seperti ini kemudian dinamakan tahlilan yang sekarang telah menjadi tradisi dan budaya pada sebagian besar masyarakat di Indonesia,” ungkap Andi Warisno dalam tulisannya di Jurnal Riayah berjudul Tradisi Tahlilan Upaya Menyambung Silaturahmi (2017).
Kata tahlil sendiri diambil dari bahasa Arab yang mengandung arti ekspresi kesenangan atau ekspresi keriangan. Tahlilan pun dilakukan mulai dari malam pertama hari kematian, hingga malam ke-7 pasca kematian.
Kemudian, Tahlil jadi ajian pendakwah, terutama Wali Songo untuk menyebarkan Islam di tanah Jawa, kemudian Nusantara. Metode itu efektif. Pendekatan kultural atau budaya itu membuktikan bahwa nilai-nilai Islam dapat luwes dan fleksibel melebur dalam tradisi tahlilan. Karena itu, Islam mendapatkan tempat di hati masyarakat. Sekalipun banyak perdebatan yang berkembang terkait siapa sebenarnya yang merangkum doa-doa dalam tahlil.
“Bahkan, tradisi tahlilan ini telah berlangsung jauh sebelum NU berdiri, dilakukan oleh masyarakat pesantren dan santri di desa-desa. Hanya saja, sampai sekarang, siapakah penyusun bacaan râtib at-tahlil, belum dapat dipastikan secara jelas,” ungkap Nur Khalik Ridwan dalam buku Ensiklopedia Khittah NU: Sejarah Pemikiran Khittah NU (2020).
Tahlil dalam budaya Betawi
Hiburan adalah bentuk dari kebutuhan manusia. Hal itu sesuai dengan ungkapan klasik bahwa manusia itu 'homo festivus', yakni makhluk yang senang festival atau hiburan. Orang Betawi misalnya. Mereka mengenal empat ritus hidup yang senantiasa dilaksanakan penuh suka cita: kelahiran, sunatan, pernikahan, dan kematian.
Ritus kematian misalnya. Sedari dulu, orang betawi dikenal paling terbuka dan toleran dengan tradisi leluhur bangsa. Segala bentuk tradisi lokal dapat diterima dengan luwes oleh mereka. Selama memiliki nilai-nilai penting terkait Islam, katanya. Penerimaan tradisi tahlilan jadi buktinya.
Tahlilan jadi bagian yang tak boleh dilupakan oleh orang Betawi. Peristiwa itu selalu dilakukan dengan suka cita. Bahkan, Budayawan Betawi menyebutkan tradisi tahlilan tak jarang digunakan sebagai momentum untuk mengikat tali silahturahmi. Mereka yang sebelumnya jarang berjumpa, maka diacara tahlilan dapat dapat jadi ajang pertemuan kembali.
“Dalam konteks Indonesia, orang Betawi dikenal sebagai etnis yang paling terbuka dan toleran. Salah satu bentuknya adalah keterbukaan dalam menerima tradisi milik nenek moyang sepeti tradisi tahlilan. Tradisi itu ditempatkan dalam posisi penting. Suatu posisi yang menjadikan tradisi tahlilan sebagai ruang terbuka yang mampu menampung semua kalangan –apapun profesinya-- hadir dalam satu tempat, satu waktu. mereka lama tak berjumpa jadi bisa bertemu.”
“Alasan lainnya, tradisi tahlil makin mengikat bagi orang Betawi karena tahlil dapat menjembatani banyak hal. Tahlil tak melulu berbicara terkait ketaatan dalam menjalankan perintah agama. Ada hal lainnya. Tradisi tahlilan dapat menelurkan semangat gotong royong, silaturahmi, dan semangat kebersamaan antar satu dan lainnya,” cerita Budayawan Betawi Masykur Isnan saat dihubungi VOI, 17 Januari.
Sebelum tradisi tahlilan dilanggengkan, biasanya pihak keluarga yang ditinggalkan membuat berita kematian lewat masjid terdekat. Para tetangga dan keluarga dekat langsung berdatangan ke rumah duka. Mereka membantu banyak hal. Dari mengurus jenazah seperti memandikan, mengafani, sampai menguburkan.
Di malam harinya, pelayat diminta untuk datang tahlilan ke rumah duka sehabis sholat Isya. Pelaksanaannya dilakukan sejak hari pertama meninggal dunia. Tradisi itu dilanggengkan hingga hari ketujuh. Pun tahlilan juga dilakukan pada hari ke-40 dan hari ke-100 dari meninggalnya almarhumah atau almarhum. Lalu, bagi orang terkenal atau tokoh agama, setiap tahunnya diadakan haul atau hari peringatan hari wafatnya tokoh tersebut.
“Setiap hari – siang dan malam—sampai hari ketujuh diadakan pembacaan Al Quran di atas kubur. Para pelawat atau pelayat biasanya memberikan uang shalawat kepada keluarga almarhum. Uang itu dimasukkan ke dalam baskom atau wadah lain yang ditutupi taplak dan diletakkan di depan rumah.”
“Ketika jenazah sedang dibawa ke pemakaman untuk dimakamkan, ibu-ibu para tetangga memasak nasi dan lauk-pauk seadanya, untuk memberi makan mereka mereka yang pulang dari pemakaman. Semua biaya yang dikeluarkan diambil dari uang shalawat ditambah biaya dari para tetangga secara sukarela, sebab menurut agama, mengurus jenazah adalah kewajiban bersama (fardhu kifayah),” tutup Abdul Chaer dalam buku Betawi Tempo Doeloe: Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi (2015).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.
MEMORI Lainnya