Kemajuan Pengetahuan Apa yang Diharapkan dari Negara dengan Anggaran Influencer Lebih Besar dari Dana Riset?
JAKARTA - Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman resmi dilebur dengan Badan Riset dan Invoasi Nasional (BRIN). Macam-macam sebab kekhawatiran terhadap nasib dunia ilmu pengetahuan muncul. Tapi kalau dipikir-pikir, apa juga yang bisa diharapkan dari negara yang mengalokasikan anggaran lebih besar untuk influencer ketimbang riset?
Sebelum bergabung dengan BRIN, LBM Eijkman bernaung di bawah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Tetap bergerak di bidang biologi molekuler dan bioteknologi dalam dunia kedokteran, LBM Eijkman di bawah BRIN akan berganti nama jadi Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman.
Tak cuma LBM Eijkman sebenarnya. Empat lembaga penelitian lain, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI); Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN); Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT); dan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) yang juga dilebur ke BRIN.
"Dengan terintegrasinya Kemristek dan empat LPNK ke BRIN, status LBM Eijkman telah kami lembagakan menjadi unit kerja resmi yakni PRBM Eijkman di bawah Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Hayati," ungkap Kepala BRIN Laksana Tri Handoko, dikutip dari situs resmi BRIN, Senin, 3 Januari.
Kenapa peleburan Eijkman ke BRIN jadi polemik?
Akhir pekan kemarin, di penghujung 2021, akun Twitter @Eijkman_inst mengunggah kabar perpisahan. Unggahan tersebut juga menjelaskan kegiatan deteksi COVID-19 akan diambil alih oleh Kedeputian Infrastruktur Riset dan Inovasi BRIN.
Kegiatan penelitian yang selama ini berlangsung di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) nantinya bakal dipindahkan terpusat ke Gedung Genomik di Cibinong Science Center (CSC). CSC adalah fasilitas penelitian milik Kementerian Kesehatan.
Dampak lain peleburan adalah pemberhentian 113 tenaga honorer yang bekerja untuk Eijkman. Dari jumlah itu, 71 di antaranya adalah periset. Kontrak mereka tidak diperpanjang. Pemberhentian yang disebut mendadak.
"113 orang (dipecat). Sekitar 71 adalah tenaga honorer periset," tutur Plt Kepala Eijkman Wien Kusharyoto, dikutip dari Kompas.com, Senin, 3 Januari.
Wien menjelaskan beberapa skema disiapkan, yang memungkinkan para pekerja honorer Eijkman yang diberhentikan untuk dapat kembali bekerja di Eijkman. Salah satunya, bagi para tenaga honorer yang berbasis peneliti dengan pendidikan S1 dan S2, mereka disarankan mendaftar sebagai mahasiswa S2 atau S3 berbasis riset.
Dengan begitu mereka dapat direkrut sebagai asisten riset di PRBM Eijkman. Kata Wien proses pendaftaran masih berlangsung di tahun ini. Dan BRIN, konon akan menanggung biaya riset dan kuliah mereka.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menyampaikan penjelasan senada soal opsi-opsi tersebut. Ia juga membantah kabar yang menyebut para pekerja honorer diberhentikan tanpa pesangon. Menurut Tri Handoko ini adalah proses peralihan.
"Ya tentu (diberhentikan tanpa pesangon) tidak benar. Kecuali, bagi yang memang tidak berkenan memilih salah satu opsi dari kami. Tentu kami juga tidak bisa memaksa," kata Tri Handoko.
Menurut Tri Handoko, selama ini Eijkman bukan lembaga resmi pemerintah. Statusnya adalah unit proyek di bawah Kemeristekdikti. Hal itu yang membuat "para PNS (Pegawai Negeri Sipil) Periset di LBME tidak dapat diangkat sebagai peneliti penuh, dan berstatus seperti tenaga administrasi."
Di sisi lain, Dewan Penasehat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Herlambang Wiratraman memandang pemerintah tak perlu repot-repot memaksakan para peneliti jadi PNS. Menurut dia iklim birokrasi tak cocok dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan.
Birokratisasi semacam ini, termasuk penyeragaman para peneliti ke dalam sistem birokrasi akan menggereus kebebasan akademik. Padahal kebebasan akademik merupakan prinsip dasar pengembangan ilmu pengetahuan.
"Mereka ilmuwan kelas dunia yang sebenarnya tidak butuh status PNS. Kita mau menempatkan lembaga ilmuwan seperti apa? Harusnya punya prinsip yang tidak bisa ditawar-tawar karena prinsip dasar, yakni kebebasan akademik," tutur Herlambang, dikutip CNN Indonesia.
Ketua Akademisi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro berpandangan sama. Menurutnya birokratisasi lewat peleburan dengan BRIN justru akan berujung pada terhambatnya pengembangan ilmu pengetahuan.
Ia mengangkat pandangan keliru pemerintah dalam pendanaan riset selama ini, di mana pola pikir pemerintah adalah setiap penelitian harus menghasilkan temuan yang berwujud. Padahal menurut Satryo penelitian tak selalu berhasil. Penelitian juga tak bisa selalu dipatok dalam waktu singkat.
Belum lagi soal sistem hukuman berupa mata anggaran. Padahal menurut Satryo, pendanaan penelitian seharusnya melalui mekanisme hibah.
"Sudah uangnya kecil, mekanismenya ketat sekali sehingga peneliti mengatakan enggak mau lagi deh ke pemerintah karena terlalu repot dan banyak ancaman hukuman. Misalnya dana tidak habis atau dipakai tidak sesuai mata anggaran," ujarnya.
Anggaran influencer > anggaran riset
Di Indonesia, anggaran riset selalu jadi masalah. Seperti yang dikatakan Satryo: kecil, ketat, berisiko. Tapi di rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), masalah bertambah.
Ternyata balik lagi ke political will karena pemerintah nyatanya bisa menganggarkan uang yang sangat banyak, yang sayangnya bukan untuk kemajuan pengetahuan melainkan kontrol opini lewat buzzer. Pandemi COVID-19 membuka mata kita soal banyak hal. Termasuk ini.
Pada pertengahan 2020 lalu, Indonesia Corruption Watch (ICW) membuka temuan soal pemerintahan Jokowi yang menggelontorkan dana sekitar Rp90,45 miliar. Dana itu dialokasikan hanya untuk influencer sejak 2014.
"Pemerintah terkesan lebih mementingkan citra daripada kesehatan dan keselamatan rakyat," tutur anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto saat itu.
Perkataan Mulyanto beralasan karena waktu itu Indonesia tengah kebingungan menghadapi keganasan virus corona. Apalagi saat itu juga terungkap anggaran untuk lembaga riset yang tengah berjibaku dengan penyediaan vaksin hanya berkisar di angka Rp5 miliar.
"Ketimpangan alokasi anggaran ini sangat tidak wajar dari segi kepentingannya. Saat ini orang lebih butuh vaksin hasil riset para peneliti daripada celoteh para influencer."
Kala itu Eijkman jadi salah satu lembaga riset yang dimaksud Mulyanto. Eijkman memotori Konsorsium Riset Covid Kementerian Riset dan Teknologi yang andil dalam pengembangan vaksin Merah Putih.
Pengembangan dilakukan Eijkman bersama sejumlah lembaga litbang nasional lain, termasuk Kimia Farma dari sisi industri BUMN. Kondisi ini menurut Mulyanto menunjukkan rendahnya political will pemerintah Jokowi dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Bahkan ketika pengembangan vaksin mendesak.
“Ini perlu mendapat perhatian Presiden Jokowi, agar kita tidak sekedar menjadi Negara pengguna dan pembeli tetapi mari kita dorong Indonesia menjadi Negara pembuat. Kita bisa kalau kita mau,” kata Mulyanto.
Kembali ke anggaran jumbo influencer. Peneliti ICW Egi Primayogha menuturkan data itu didapat ICW dari Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Di LPSE ICW melakukan penelusuran kata kunci "influencer" dan "key opinion leader".
Hasilnya ada 40 paket pengadaan yang merujuk dua kata kunci tersebut. Secara umum ICW mencatat total anggaran belanja pemerintah pusat yang terkait aktivitas digital mencapai Rp1,29 tirilun sejak 2014. Kenaikan signifikan terjadi di 2016 ke 2017.
Pada 2016, anggaran untuk aktivitas digital tercatat cuma berkisar Rp606 juta untuk satu paket pengadaan saja. Di 2017, jumlah paket pengadaan melonjak hingga 24, dengan total anggaran mencapai Rp535,9 miliar.
“Karena kami tak lihat dokumen anggaran, dan LPSE itu terbatas, maka tak menutup kemungkinan ini secara jumlah sebenarnya lebih besar. Bisa jadi lebih besar dari Rp 1,29 triliun, apalagi jika ditambah pemerintah daerah,” kata Egi.
*Baca Informasi lain soal POLITIK atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.
BERNAS Lainnya
Baca juga:
- Kurikulum 2022 Bakal Hapus Jurusan IPA IPS dan Bahasa: Jejak Kebiasaan Gonta-ganti Sistem Penjurusan SMA
- Terserah Jika Semua Orang di Dunia Ini Tak Punya Resolusi 2022. Buat Polisi Resolusi Berorientasi Pembenahan Rasanya Perlu
- Metaverse di Kepala Jokowi adalah Mengaji Virtual, Bagaimana Visi Metaverse di Kepala Banyak Futuris?
- Banyak Keputusan Wasit Kontroversial, Apa Sebenarnya Alasan AFF 2020 Tidak Gunakan VAR?