Kasus Buruh Dobrak Pintu dan Bersantai di Kursi Gubernur Banten, IPW Minta Polisi Terapkan Restorative Justice

JAKARTA -  Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso mengatakan, kasus buruh yang menduduki ruang Gubernur Banten perlu pendekatan restorative justice atau keadilan restoratif.

“Proses hukum atas laporan Gubernur Banten perlu direspon secara proporsional dan profesional. Bahkan bila perlu diterapkan 'restorative justice' dalam kasus ini bila memenuhi syarat untuk itu,” kata Sugeng dalam keterangan tertulis di Jakarta, Antara,  Senin, 287 Desember.

Sugeng mengatakan IPW berpendapat bahwa unjuk rasa adalah hak warga negara untuk menyampaikan aspirasi di muka umum. Termasuk para buruh di Banten yang memperjuangkan hak-haknya karena hal tersebut adalah keniscayaan dalam demokrasi.

Akan tetapi, kata dia, hak demokrasi itu dibatasi dengan penghormatan atas hukum yang mengatur ketertiban umum dan hak-hak dari pihak lainnya.

“Karena itu tidak dibenarkan melakukan pelanggaran hukum mengatasnamakan demokrasi dalam bentuk unjuk rasa," ujarnya.

Kata Sugeng, IPW juga menyoroti sikap para pejabat Pemprov Banten, dimana tidak ada pejabat yang representatif menerima unjuk rasa buruh tersebut.

"Karena sikap abai mendengar aspirasi buruh dengan tidak adanya gubernur atau sekdaprov yang menerima, juga bisa menjadi pemicu adanya unras yang kebablasan tersebut,” ungkap Sugeng.

Sebelumnya, beberapa oknum buruh menerobos masuk ke dalam ruang kerja Gubernur Banten pada aksi demo menuntut revisi upah minimum propinsi, Rabu, 22 Desember lalu. 

Atas ulah beberapa oknum buruh tersebut, Gubernur Banten melalui kuasa hukumnya Asep Abdullah Busro pada Jumat, 24 Desember melaporkan kasus itu ke Polda Banten.

Setelah menerima laporan, Polda Banten pun bergerak cepat dengan mengamankan para pelaku, yakni AP (46), SH (33), SR (22), SWP (20), OS (28) dan MHF (25).

Mereka disangkakan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, Pasal 170 KUHP tentang pengrusakan terhadap barang secara bersama-sama dan Pasal 207 KUHP tentang dengan sengaja di muka umum menghina suatu kekuasaan yang ada di Indonesia.