Sisi Gelap Revolusi Kemerdekaan: Masa Bersiap yang Kebablasan
JAKARTA - Gerakan revolusi yang mencapai klimaks setelah proklamasi kemerdekaan memicu semangat perang yang begitu kuat. Ada baiknya, pasti. Namun bukan berarti tak punya "efek samping." Revolusi bak bola salju, bergulir tanpa kendali, melahirkan kekerasan pada siapa pun yang pro kolonial. Periode kelam ini terjadi pada Masa Bersiap.
Masa Bersiap, menurut Tri Wahyuning M. Irsyam di buku Berkembang dalam Bayang-Bayang Jakarta: Sejarak Depok 1950-1990-an (2017) bermula pada Oktober 1945. Disebut "Bersiap" karena waktu itu seruan "bersiap" diteriakkan tiap kali tentara sekutu atau pasukan Belanda melakukan patroli di jalanan. Orang-orang yang mendengar seruan itu harus berdiri tegak dan tak boleh bicara.
Suasana Masa Bersiap betul-betul mencerminkan mental masyarakat Indonesia waktu itu. Sejarawan JJ Rizal menjelaskan, di masa Jepang, gerakan antikolonialisme dibentuk dengan warna militer untuk kepentingan Perang Asia Timur Raya. "Namun menghasilkan produk sampingan berupa semangat antiimperialisme," kata Rizal kepada VOI.
Para pemuda menerima pelatihan paramiliter dalam barisan Seinendan, Keibodan, Peta dan lainnya. Mereka mendapat pengalaman dalam bertindak kolektif dalam ikatan organisasi militer. "Semangat berperang masih membekas sehingga secara emosional masih tersedia motivasi kuat buat angkat senjata," ujar Rizal.
Faktor penting lain yang melatarbelakangi lahirnya Masa Bersiap yakni ketika Belanda sudah kehilangan wibawanya setelah digebrak Jepang. Sementara, rakyat makin sebal dengan sikap angkuh Belanda dengan mengabaikan usul-usul kaum pergerakan, meski keadaan mereka tengah terpuruk.
"Inilah latar zaman bersiap yang menunjukkan bahwa kecenderungan struktural menciptakan kondisi positif untuk lahirnya gerakan revolusioner. Dalam situasi itulah dapat dipahami lahirnya badan-badan perjuangan yang banyak sekali dan spontan setelah proklamasi dibacakan," jelas Rizal. Masa Bersiap menggulingkan tatanan lama.
Sebab akibat
Sejak Jepang takluk oleh Sekutu, orang-orang Belanda yang tadinya ditawan Jepang sudah kembali ke rumah mereka masing-masing. Mereka seperti baru saja keluar dari neraka, mengingat betapa sengsaranya mereka hidup di bawah pemerintahan Dai Nippon.
Namun, seperti diceritakan Tjamboek Berdoeri atau Kwee Thiam Tjing dalam bukunya Indonesia Dalem Api dan Bara, orang-orang Belanda yang merasa terlalu senang karena telah lepas dari Jepang merasa begitu jemawa sampai-sampai mengeluarkan perkataan yang menyinggung orang-orang nonBelanda.
Mungkin mereka lupa, kesadaran antikolonialisme dan antiimperialisme rakyat sudah kuat. Ejekan seperti vuile Chinees (China kotor) atau vuile Inlander (pribumi kotor) yang keluar dari mulut orang londo bisa menyulut bentrokan besar.
Baca juga:
Kwee Thiam Tjing mencontohkan ada salah satu nyonya Belanda yang kena getahnya ketika berbuat kasar. "Akhirnya ia pada satu malam diangkut ke rumah sakit dan rumahnya dibakar habis sampe rata," tulis Tjing.
Tjing menceritakan, kedatangan Sekutu ke Indonesia juga membuat orang Belanda besar kepala. Satu hari di Kayutangan, Malang, ia melihat di bagian belakang truk ada beberapa orang pribumi yang digantung. Ada yang bajunya compang-camping, ada pula yang telanjang bulat. Sementara, darah terlihat berceceran di sekitarnya.
Pembalasan yang bablas
Kejadian seperti itu mungkin sudah biasa menimpa orang-orang pribumi. Namun, bedanya kini mereka sudah berani melawan. Indonesia sudah terbentuk, mereka mulai bergerak.
Rakyat mulai membentuk laskar-laskar pro-revolusi. Perkumpulan-perkumpulan, dari yang kecil sampai besar bermunculan. Hampir semua anggota-anggotanya memiliki senjata hasil rampasan militer Jepang. Mereka mulai membalaskan dendam mereka kepada orang-orang Belanda.
Agitasi-agitasi muncul di pelosok-pelosok daerah. Banyak plakat yang menganjurkan warga pribumi khususnya dari golongan pekerja untuk tidak lagi menjual apa-apa kepada orang Belanda. Lampu dan air diputus. Mereka benar-benar diboikot total.
Kekacauan Masa Bersiap terjadi pada akhir 1945 hingga sepanjang 1946. Masa-masa yang penuh ketidakpastian waktu itu.
Pasalnya, di awal takluknya pemerintahan Jepang, pemerintahan Indonesia belum berdiri efektif. Masih banyak para birokrat dan kolaborator diculik, ada yang dibunuh, ada yang kantor dan rumah mereka jarah karena dianggap menjadi "anjing Jepang" yang turut mempersulit revolusi.
Penjarahan, pembakaran, penganiayaan, pemerkosaan dan pembunuhan terjadi di sejumlah sudut kota. Pelakunya adalah sejumlah gerombolan yang mengatasnamakan diri mereka sebagai bagian dari laskar rakyat yang berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan. Tjing menyebutnya mereka sebagai golongan "Jamino dan Joliteng".
Tindakan kriminal terus berlangsung di berbagai daerah di Jawa dan Sumatera. Di Jawa beberapa peristiwa yang cukup terkenal terjadi di banyak tempat termasuk Depok, Surabaya dan Malang.
Mereka ini dipersilakan melakukan apa saja asal membantu pengosongan kota guna mendukung politik bumi hangus yang dipilih pihak Republik. Perkiraan jumlah orang Eropa yang dibunuh Masa Bersiap ini menurut Gert Oostindie dalam "Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950" tercatat berkisar 3.500 sampai 20.000 orang.
Bergulirnya revolusi seperti tak ada batas. Penjarahan, pembunuhan hingga perkosaan terhadap orang-orang kolonial terjadi tanpa ada satu orang pun yang berani mencegahnya. Sulit untuk tidak disebut sebagai tindakan yang kebablasan.