Minta Keterangan Prajurit TNI Ada Prosedurnya Tapi Hukum Pidana Bersifat Memaksa

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri harus mengikuti aturan Surat Telegram (ST) dengan nomor ST/1221/2021 jika memanggil prajurit TNI untuk pengusutan tindak pidana. Hanya saja, prosedur ini tidak boleh mengalahkan hukum pidana yang sifatnya memaksa.

Lewat Surat Telegram (ST) dengan nomor ST/1221/2021 yang terbit pada 5 November lalu, KPK dan kepolisian harus menjalankan empat prosedur untuk bisa meminta keterangan dari prajurit TNI.

Pertama, pemanggilan yang dilakukan dilakukan kepada prajurit TNI oleh Polri, KPK, aparat penegak hukum lainnya dalam rangka untuk memberikan keterangan terkait peristiwa hukum harus melalui komandan/kepala satuan.

Kedua, pemanggilan terhadap prajurit TNI yang tidak sesuai dengan prosedur, agar Komandan/Kepala Satuan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum yang dimaksud.

Berikutnya, prajurit yang memberikan keterangan terkait peristiwa hukum kepada aparat penegak hukum dapat dilakukan di satuannya dengan didampingi Perwira Hukum atau Perwira Satuan.

Keempat, prajurit TNI yang memberikan keterangan terkait peristiwa hukum kepada aparat penegak hukum dapat dilakukan di kantor aparat penegak hukum yang memanggilnya dengan didampingi Perwira Hukum.

Aturan ini dibuat untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman dan meminimalkan permasalahan hukum. Apalagi, belakangan terdapat pemanggilan yang tidak sesuai ketentuan hukum yang berlaku dan dilakukan oleh pihak kepolisian.

Menanggapi hal ini, pakar hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengingatkan hukum pidana bersifat memaksa dan tak ada satupun aturan yang bisa menghalanginya. Termasuk aturan yang termaktub dalam surat telegram tersebut.

"Hukum pidana itu bersifat memaksa. Tidak ada satu kekuatan apapun yang melebih hukum karena Indonesia adalah negara hukum bukan negara kekuasaan atau kerajaan," kata Fickar kepada wartawan, Rabu, 24 November.

Menurutnya, prosedur ini mungkin saja diberlakukan karena adanya pemanggilan yang tidak sesuai dengan ketentuan. Tapi, Fickar kembali mengingatkan aturan di surat tersebut tak lebih tinggi daripada hukum yang berlaku saat ini.

"Itu semangat korps. Tapi tetap saja, tidak ada yang lebih tinggi dari hukum," tegasnya.

Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menegaskan aturan ini bukan artinya TNI menutupi prajuritnya. "Sama sekali bukan berarti kita menutup pemeriksaan, tidak," ujarnya kepada wartawan.

"Selama ini (aturan, red) sudah berlangsung dan ada mekanismenya," imbuh mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ini.

Andika mengaku akan mempelajari lebih lanjut perihal prosedur ini mengingat surat tersebut terbit ketika dirinya belum menjabat sebagai Panglima TNI. Namun, ia menegaskan prajuritnya tetap akan menaati aturan perundangan yang berlaku.

"Saya harus cek lagi (soal ST) dan saya harus ikuti peraturan perundangan-undangan. Jadi mekanisme pemanggilan soal teknis saja," katanya.

Lalu bagaimana sikap KPK dan Polri?

Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri mengatakan pihaknya menghormati dan yakin empat prosedur tersebut tak akan menghambat proses penegakan hukum utamanya yang berkaitan dengan kasus korupsi.

"KPK menghormati aturan mengenai mekanisme dan prosedur di internal TNI dimaksud. Kami yakin, aturan tersebut tidak akan menghambat proses penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum (APH) termasuk KPK," ungkapnya.

Keyakinan ini, sambung Ali, muncul karena KPK dan TNI punya satu semangat memberantas korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Namun, dalam upaya ini komisi antirasuah tentu tidak bisa berbuat sendiri melainkan perlu bantuan dan bersinergi dengan pihak lain.

"Komitmen, dukungan, dan sinergi seluruh elemen masyarakat melalui peran dan fungsinya sangat dibutuhkan baik melalui pendekatan pencegahan, penindakan, maupun pendidikan untuk memupuk pribadi yang berintegritas dan antikorupsi," ujar Ali.

Sementara melalui Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan pihak kepolisian selalu mengutamakan asas persamaan di hadapan hukum. Tak hanya itu, penyidik polisi tentu akan tunduk pada aturan penegakan hukum dan menghormati hak tiap warga negara.

"Penyidik harus tunduk pada sel regulasi yang mengatur prosedur penegakan hukum dan menghormati hak-hak konstitusional setiap warga negara. Yang berlaku asas equality before the law," ujarnya.