Tentang Bagaimana Orang-orang Bisa Selamat dari Ledakan Nagasaki

JAKARTA - Tepat pada Minggu ini, 9 Agustus 75 tahun lalu atau 1945, pesawat B-29 milik Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Kota Nagasaki, Jepang. 74 ribu orang tewas akibat kejadian tersebut yang sebagian besar warga sipil. Ajaibnya, masih ada orang yang bisa lolos dari ledakan maut itu. Bagaimana bisa?

Tak banyak orang yang tahu bagaimana keadaan Nagasaki setelah dibombardir. Kebanyakan orang sebatas tahu peristiwa itu sebagai ledakan kedua setelah Hiroshima. Selain itu hanya segelintir orang juga yang tahu bagaimana perjuangan "hibakusha", sebutan orang-orang yang selamat dari peristiwa tersebut.   

Dalam bukunya Nagasaki: Life After Nuclear War, Susan Southard mengabadikan kehidupan beberapa hibakusha, Sebutan orang yang selamat dari badai api dan bertahanan. Ia juga menjelaskan bagaimana kemudian mereka melanjutkan kehidupan dengan penuh kebahagiaan. 

Sebelum mendalami bagaimana kisah hibakusha selamat dari maut bom atom, Southard dalam wawancaranya dengan National Geographic, menjelaskan hal yang mungkin bertentangan dengan anggapan orang banyak. Salah satunya mengenai bom yang tidak meledak di tanah melainkan di sekitar sepertiga mil di atas tanah. Tujuannya, untuk memaksimalkan daya ledak dan jangkauan panasnya hampir ke seluruh kota. 

Area yang berada tepat di bawah ledakan bom disebut "hiposentrum." Panas di area tersebut diketahui mencapai 5.000 hingga 7.000 derajat Fahrenheit. Untuk jarak yang cukup jauh, ledakan mengakibatkan bangunan-bangunan dan pohon porak poranda. Ini merupakan tingkat kehancuran secepat kedipan mata yang tak terbayangkan.

Awan atom di atas Nagasaki (Sumber: Wikimedia Commons)

Hibakusha

Salah satu orang yang lolos dari maut adalah seorang Pengantar Surat Sumiteru Taniguchi. Saat kejadian ia berumur 16 tahun. Menjelang ledakan, ia tengah mengirim surat dengan sepedanya. 

Jarak Taniguchi dengan ledakan terpaut sekitar satu mil. Ketika bom itu meletup, ia terlempar dari sepedanya. 

Taniguchi salah satu pengecualian dari sekian banyak orang yang tak bisa lagi membuka mata setelah ledakan. Ia segera bangkit dan mengumpulkan kertas-kertas surat yang tercecer. Karena masih linglung, ia tak sadar kalau punggung, lengan dan kakinya kena luka bakar yang cukup parah.

Lalu Taniguchi baru sadar semua anak yang bermain-main dengannya sebelum ledakan, telah terkapar. Kondisi tubuhnya melemah, ia lalu menyelamatkan diri ke sebuah pabrik. 

Beberapa orang lalu memindahkannya ke lereng bukit. Ia berbaring di sana selama dua malam tak sadarkan diri. Sampai kemudian kakeknya menemukan Taniguchi.  

Tidak ada rumah sakit bahkan persediaan medis di Nagasaki. Sehingga Taniguchi dibawa ke sebuah desa di luar kota. Ia dirawat biasa selama tiga bulan sampai akhirnya dibawa ke rumah sakit angkatan laut di Omura yang berjarak 22 mil dari Nagasaki. Barulah ia mendapat penanganan medis yang tepat. 

Taniguchi harus berbaring tengkurap selama tiga tahun. Ia tak bisa berbaring miring apalagi telentang karena luka bakarnya yang sampai seseorang bisa melihat organ dalamnya termasuk detak jantungnya. 

Taniguchi baru bisa keluar rumah sakit pada 1949, saat ia berumur 20 tahun. Ia kemudian melanjutkan hidup sebagai aktivis anti nuklir sampai ajal menjemputnya pada 30 Agustus 2017.

Nagasaki sebelum dan setelah dibom (Sumber: Wikimedia Commons)

Diselamatkan gunung

Selain Taniguchi salah seorang saksi hidup dari ledakan Nagasaki adalah Reiko. Dirinya menjadi salah satu orang yang berhasil selamat tanpa luka karena dilindungi Gunung Konpira. Ledakan dahsyat itu ia alami pada usia sembilan tahun. 

Hari itu bel-bel peringatan serangan udara berdering lebih sering. Oleh karenanya sekolah-sekolah diliburkan. 

Setelah mengetahui situasi terlihat aman, Reiko memutuskan untuk pergi ke kuil terdekat untuk belajar. Sekitar 40 menit belajar ia kemudian kembali ke rumahnya. 

"Saya berhasil mencapai pintu masuk rumah saya, dan saya pikir saya bahkan melangkah ke dalam," kata Reiko dikutip BBC. Kejadian itu terjadi secara tiba-tiba. 

"Sebuah cahaya menyilaukan melintas di mataku. Warnanya kuning, khaki dan jingga, semuanya bercampur," kata Reiko berusaha menggambarkan peristiwa tersebut.

"Aku bahkan tidak punya waktu untuk bertanya-tanya apa itu... Dalam waktu singkat, semuanya menjadi putih. Rasanya seperti ditinggal sendirian. Saat berikutnya terdengar suara gemuruh yang keras. Lalu aku pingsan."

Setelah siuman, Reiko langsung teringat ajaran gurunya apa yang harus dilakukan saat terjadi ledakan: pergi ke penampungan. Ia bersama ibunya kemudian berjalan ke sana.

"Saya tidak memiliki luka satu goresan pun. Saya telah diselamatkan oleh Gunung Konpira. Namun berbeda untuk orang-orang di seberang gunung. Mereka mengalami kondisi yang mengerikan," kata Reiko. 

Mati tak seperti manusia

Reiko menggambarkan banyak orang dari seberang Gunung Konpira yang menyelamatkan diri ke daerahnya. "Orang-orang dengan mata mencuat, rambut acak-acakan, hampir semuanya telanjang, luka bakar parah dengan kulit tergerai," kisahnya. 

Ibunya bersama wanita-wanita lain di komunitas mereka, membantu menolong orang-orang yang terluka tersebut. Menggiring mereka memasuki auditorium perguruan tinggi terdekat di mana mereka dapat berbaring. 

Para korban itu kehausan. Hampir semua orang memohon untuk diberikan air. Reiko membantu orang-orang untuk mengambilkan air dari sungai terdekat. 

"Setelah minum seteguk air, mereka mati. Orang-orang mati satu per satu," kata Reiko.

Mayat-mayat mereka yang tewas tertumpuk sampai baunya menyengat. Jenazah tersebut kemudian dikumpulkan di kolam renang di kampus dan dikremasi dengan kayu bekas.

"Tidak mungkin mengetahui siapa orang-orang itu. Mereka tidak mati seperti manusia," tandas Reiko.