Jejak Wayang Kulit dalam Dakwah Islam Nusantara
JAKARTA - Wayang kulit adalah mahakarya besar milik nenek moyang kaum bumiputra. Wayang laksana simbol kemajuan peradaban. Keberagaman jenis wayang kulit jadi buktinya, dari wayang purwa hingga beber. Cerita, bahasa hingga situasi kisah wayang kerap dianggap sumber kearifan lintas zaman. Eksis sedari masa Hindu, Buddha, serta Islam. Bahkan wayang digunakan menjadi media dakwah yang punya andil besar dalam perkembangan Islam di Nusantara.
Tak seorang pun mampu menjelaskan detail terkait kapan pastinya wayang kulit masuk Nusantara. Ada yang menyebut wayang kulit telah masuk sejak masa kejayaan Hindu-Buddha. Ada pula yang mengungkap wayang sejatinya telah hadir jauh hari sebelum masuknya Hindu-Buddha atau pengaruh budaya India.
Spekulasi itu diungkap oleh ilmuwan belanda, Jan Laurens Andries Brandes (1857-1905). Dalam pandangannya, wayang termasuk dalam sepuluh unsur kebudayaan asli atau local genius Nusantara sebelum masuknya pengaruh budaya India.
Wayang lalu disandingkan dengan local genius lainnya. Beberapa di antaranya adalah gamelan, ilmu irama sajak, batik, pengerjaan logam, sistem mata uang sendiri, teknologi pelayaran, astronomi, persawahan, dan birokrasi pemerintahan yang teratur.
Artinya wayang sudah hadir sedari dulu. Oleh tokoh masyarakat Jawa, wayang kulit lalu disisipi cerita Hindu. Tapi mereka tak lupa menguatkan narasi ceritanya dengan tokoh-tokoh Jawa, mulai dari Semar, Bagong, Gareng, Petruk, Bilung dan lainnya.
“Bukti telah dengan meyakinkan menunjukkan bahwa wayang sudah ada jauh sebelum kedatangan Islam di Indonesia. Kemungkinan bentuk wayang sesuai dengan model penggambaran manusia pada dinding-dinding candi Jawa Kuno. Dalam hal ini, figur manusia tiga dimensi umumnya ditemukan di relief-relief dinding candi, seperti Monumen Buddha Borobudur pada abad ke-9, dan Candi Hindu Prambanan pada abad ke-10.”
“Figur-figur ini merepresentasikan secara dekat anatomi manusia. Biasanya posturnya menghadap ke depan, pakaian yang digambarkan sesuai dengan baju pria dan wanita. Kita menemukan model representasi ini di Jawa Tengah selama periode puncaknya sebagai pusat kekuasaan politik dan budaya. Ketika pusat kekuasaan politik dan budaya berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-11, terjadi perubahan penggambaran manusia dari bentuk tiga dimensi menjadi model dua dimensi” ungkap Sumarsam dalam buku Memaknai Wayang dan Gamelan: Temu Silang Jawa, Islam, dan Global (2018).
Transformasi bentuk wayang kulit lainnya dapat dilihat dari cerita-cerita wayang yang berkembang. Umumnya, cerita wayang yang populer terdapat cerita kepahlawanan Mahabharata dan Ramayana. Energi dalang yang berkisah memiliki pengaruh besar terhadap cerita.
Seorang peneliti Belanda, J. Kats mengamini hal itu. J. Kats yang telah mengamati 180 cerita wayang Jawa pada 1923, mengungkap hampir 150 cerita wayang adalah kisah dari bagian akhir Pandawa dari Seri Mahabharata. Sisanya bercerita terkait Ramayana, dan kisah-kisah lainnya.
Keterampilan besar dalam mengelola cerita wayang jadi bukti peran vital seorang dalang. Ia mampu membangun fantasi dalam berkisah, menyelipkan nilai hingga pesan sosial. Ia dapat pula membuat riwayat manusia dari abad ke abad secara tak lurus, tak tunggal, bahkan cenderung berubah-ubah. Ini jadi kunci kesohornya seorang dalang. Cerita yang disajikan tak terduga.
“Pertunjukan wayang Jawa merupakan sarana penting dalam memelihara dan mempertahankan peninggalan Hindu-Buddha di Jawa yang sudah mengalami proses islamisasi. Bentuk wayang yang utama adalah wayang kulit. Cerita-cerita dalam wayang kulit didasarkan pada cerita-cerita kepahlawanan Hindu, Ramayana dan Bharatayuddha. Kisah-kisah Panji dan Damar Wulan, pahlawan-pahlawan legendaris dari masa pra-lslam, juga dipergelarkan dalam wayang,” tulis M.C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia modern 1200-2004 (2005).
Dakwah Islam lewat wayang
Pada masa kejayaan Islam di Nusantara, eksistensi wayang justru meningkat. Kaum bumiputra kala itu tak melihat Islam sebagai ancaman. Utamanya penganut agama Hindu, Perlahan-lahan budaya Hindu mulai dimasuki oleh unsur Islam. Justru umat Hindu senang bukan main. Tradisinya mulai diadaptasi oleh umat Islam. Wayang kulit, salah satunya.
Setelahnya, cerita wayang kulit ikutan berkembang. Cerita wayang kulit yang awalnya dominan budaya Hindu mulai disisipi litelatur Islam sebagai inspirasi. Cabolek, Centhini, Tajusalatin jadi beberapa contohnya. Dalam deretan kesusteraan itu, unsur-unsur Islam terlihat mulai masuk dalam cerita wayang. Yang paling penting, proses akulturasi budaya itu memberikan bukti kaum bumiputra sejak dulu telah mengedepankan perihal toleransi agama.
“Masuknya agama Islam yang dibawa para pedagang dari pesisir pada awalnya tidak dianggap sebagai ancaman. Toleransi tinggi para elit kerajaan menyebabkan lapisan bawah dengan mudah dipengaruhi oleh ajaran Islam. Budaya Hindu semuanya dimasuki unsur Islam, dan umat Hindu dengan senang dan bahkan bangga bahwa budayanya dianggap bisa sejalan dengan Islam.”
“Misalnya, kesenian wayang kulit mulai disisipi cerita-cerita tentang Islam, bahkan kemudian para penvebar Islam terutama Wali Songo (sembilan wali) memakai wayang kulit sebagai peraga dakwah. Istilah-istilah pun bisa beralih secara perlahan, misalnya, senjata sakti kalimosodo (kalimasada) menjadi kalimat syahadat, dan seterusnya,” terang Putu Setia dalam buku Bali yang Meradang (2008).
Adalah Sunan Kalijaga dari Wali Songo yang erat menggunakan wayang kulit untuk menyebarkan Islam ke segala penjuru Pulau Jawa. Jasa besar Sunan Kalijaga bagi Islam tak lain karena dirinya melakukan kreasi baru dalam pentas wayang kulit. Kreasi itu dilakukan supaya kesenian wayang cocok dengan selera zaman. Apalagi sebagai media dakwah. Ia pun mencoba memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam wayang.
Sebagai contoh Sunan Kalijaga menjadikan Pandawa yang beranggotakan lima orang penegak kebenaran sebagai lambang dari lima Rukun Islam. Sedang Dharmakusuma sebagai putra Pandu yang pertama diberi jimat yang disebut “kalimasada” alias kalimat syahadat. Pun sosok Bima yang selalu berdiri tegak dan kokoh dilambangkan sebagai Sholat. Arjuna yang senang bertapa dilambankan sebagai puasa. Yang terakhir, Nakula dan Sadewa sebagai lambang zakat dan haji.
“Jadi, sunan betul-betul menghargai budaya. Tak ada sisi-sisi agama Islam yang diajarkan oleh Sunan tanpa melalu budaya. Rukun Islam dan Iman diperkenalkan dengan menggunakan budaya Jawa. Wayang kulit digunakan sebagai sarana untuk berdakwah.”
“Seni musik (gamelan) dan seni tari semakin hidup. Dengan menghormati budaya itulah Sunan Kalijaga berhasil mengajak orang Jawa untuk memeluk Islam. Tak perlu ada pemaksaan dalam mengajak orang untuk pindah agama. Cukuplah budaya itu sendiri yang bicara. Itulah kearifan Sunan Kalijaga,” tutup Achmad Chodjim dalam buku Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat (2013).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH NUSANTARA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.