Di Depan Pelajar Indonesia di Glasgow, Siti Nurbaya Jelaskan Beda Zero Deforestation dan FoLU Net Carbon Sink
JAKARTA - Menteri LHK Siti Nurbaya menegaskan komitmen Indonesia mengendalikan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan sehingga terjadi netralitas karbon sektor kehutanan pada tahun 2030. Bahkan pada tahun tersebut dan seterusnya bisa menjadi negatif, atau terjadi penyerapan/penyimpanan karbon sektor kehutanan.
Hal ini disampaikan panjang lebar oleh Menteri Siti Nurbaya saat memenuhi undangan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Universitas Glasgow, Selasa 2 November kemarin.
"FoLU net carbon sink 2030 jangan diartikan sebagai zero deforestation. Ini perlu dipahami semua pihak bagi kepentingan Nasional," kata Siti Nurbaya dalam keterangan tertulisnya.
"Oleh karena itu pembangunan yang sedang berlangsung secara besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi. Menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation sama dengan melawan mandat UUD 1945 untuk values and goals establishment, membangun sasaran nasional untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi," papar Siti.
Siti akan memastikan kekayaan alam Indonesia termasuk hutan harus dikelola pemanfaatannya menurut kaidah-kaidah berkelanjutan. Dan paling penting, tentu saja harus berkeadilan.
Menurut dia, Indonesia menolak penggunaan terminologi deforestasi yang tidak sesuai dengan kondisi yang ada di sini. Sebagai perbandingan di negara Eropa, sebatang pohon ditebang di belakang rumah, itu mungkin masuk dalam kategori dan dinilai sebagai deforestasi.
"Ini tentu beda dengan kondisi di Indonesia," sambung dia.
Baca juga:
- Greenomics: Pidato Presiden Jokowi di COP26 Sesuai Data Satelit
- Presiden Vladimir Putin dan Xi Jinping Tidak Hadiri COP26, Joe Biden Lontarkan Kritik Keras
- Indonesia Targetkan Net-Zero Emission Tahun 2060, Ketum Arsjad Rasjid: Kami Ajak Swasta dan UMKM untuk Bantu Pemerintah
- Sepakat Akhiri Deforestasi pada Tahun 2030, Pemimpin Global Siapkan Anggaran Rp270 Triliun
"Jadi kita harus hati-hati, karena di situ ada persoalan cara hidup, gaya hidup termasuk misalnya tentang definisi rumah huni menurut masyarakat Indonesia dengan halaman rumah dan sebagainya yang berbeda dengan konsep rumah huni menurut kondisi di Eropa, Afrika, dan lainnya," lanjut Siti.
"Jadi harus ada compatibilty dalam hal metodologi bila akan dilakukan penilaian. Oleh karenanya pada konteks seperti ini jangan bicara sumir dan harus lebih detil. Bila perlu harus sangat rinci," pinta dia lagi.
Contoh lain Siti memberikan gambaran tentang tingkat kemajuan pembangunan suatu negara. Beberapa negara maju sudah selesai membangun sejak tahun 1979-an.
Selebihnya mereka tinggal menikmati hasil pembangunan. Artinya sampai dengan sekarang sudah lebih dari 70 tahun untuk masuk ke tahun 2050 saat mereka sebut net zero emission.
"Terus bagaimana Indonesia? Apakah betul kita sudah berada di puncak pembangunan nasional?" katanya.
"Memaksa Indonesia untuk zero deforestation di 2030, jelas tidak tepat dan tidak adil. Karena setiap negara memiliki masalah-masalah kunci sendiri dan dinaungi Undang-Undang Dasar untuk melindungi rakyatnya,"
"Misalnya di Kalimantan dan Sumatera, banyak jalan yang terputus karena harus melewati kawasan hutan. Sementara ada lebih dari 34 ribu desa berada di kawasan hutan dan sekitarnya. Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi? Sementara negara harus benar-benar hadir di tengah rakyatnya,"
Dengan target penurunan emisi 29 persen dengan usaha sendiri, dan 41 persen dengan bantuan internasional, Indonesia berusaha memenuhi target tersebut secara rinci, terukur, dan mengerjakannya secara konsisten. Kata dia, tidak bisa membandingkan upaya Indonesia dengan negara lainnya, apalagi jika hanya berpatokan pada angka-angka di atas kertas.
"Indonesia dengan target penurunan emisi 41 % saja, artinya kita mengurangi emisi sekitar 1,1 giga ton. Sementara mengambil contoh Inggris, pengurangan emisinya 200-an jutaan, tapi bunyinya 50 persen. Jadi faktor angka absolut ini yang harus dipahami. Arahan Bapak Presiden kepada saya sangat jelas bahwa kita menjanjikan yang bisa kita kerjakan, tidak boleh hanya retorika, karena kita bertanggung jawab pada masyarakat kita sendiri sebagaimana dijamin dalam UUD 1945,"
"Strategi yang dimiliki Indonesia, belum tentu dimiliki negara lain. Kita sedang terus menerus memperbaiki alam kita dengan langkah-langkah yang terukur. Kita tidak akan menjanjikan apa yang tidak bisa kita kerjakan.
Dengan atau tanpa dukungan internasional, Pemerintah Indonesia tetap pada tujuannya untuk mengurangi emisi GRK karena itu sudah sesuai dengan mandat UUD 1945,"
"Ini memerlukan keterlibatan semua pihak, untuk itu saya menegaskan kembali pentingnya peran generasi muda di tengah berkembangnya demokratisasi di Indonesia. Tentu saja saya mengajak kita semua untuk tidak lelah mencintai Indonesia kita,"