Bagikan:

JAKARTA - Setiap menjelang perayaan hari raya, silaturahmi bukan hanya dilakukan dengan temu sapa, melainkan juga saling mengirim bingkisan. Sejak dulu, saling mengirim parsel menjadi cara membangun relasi dengan kolega setiap datangnya hari raya. Sekarang pun sama, apalagi di kala pandemi melanda. Kehadiran fisik diwakilkan melalui bingkisan. Namun nampaknya eksistensi parsel telah tergantikan dengan hamper.

Jika dilihat, dua bingkisan ini terlihat mirip, namun sebenarnya berbeda. Isi bingkisan mungkin sama, antara lain makanan, minuman, atau alat kebersihan karena kondisi saat ini. Perbedaan keduanya terletak pada cara penyajian isian tersebut.

Cara penyajian parsel lebih cenderung menumpuk sehingga dapat dibungkus menjadi bingkisan atau kado, sedangkan hamper cenderung menyusun di dalam sebuah keranjang atau kotak.

Meski hamper mulai ramai di Indonesia belakangan ini, tapi konsepnya sudah diperkenalkan oleh Prancis ke Inggris pada abad ke-11 untuk pertama kalinya. Saat itu, hamper dirancang untuk memberikan sumbangan kepada keluarga yang membutuhkan sehingga isinya adalah kebutuhan sehari-hari.

Lalu terjadilah revolusi industri pada era Victoria. Hamper mulai berkembang menjadi hadiah mewah yang dikirim untuk perayaan Natal. Bukan hanya untuk kerabat, melainkan para pekerja dan pelayan juga biasanya diberikan oleh majikan mereka.

Sekitar abad ke-19, perjalanan menggunakan motor meningkat. Beberapa hamper mulai diisi peralatan masak seperti ceret teh dan penghangatnya dengan maksud supaya penerima hamper bisa menggunakannya di perjalanan. Hal tersebut yang membuat isi hamper semakin beragam dan tidak hanya diberikan pada saat menjelang Natal saja.

Hingga akhirnya pada abad ke-21, hamper tidak lagi hanya berisikan bahan pokok, tapi juga makanan ringan seperti biskuit, jus dan wine. Di negeri kita pun banyak pilihan hamper yang unik seperti hamper lilin aroma terapi sampai hamper sambal.

Silakan tekan tombol dengarkan dan biarkan kami yang bercerita untuk Anda.