JAKARTA - Korea Utara menghelat Kongres Partai Buruh yang berkuasa selama delapan hari di House of Culture 25 April, Pyongyang yang akan selesai minggu ini.
Dalam satu kesempatan di kongres kali ini, Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un menyebut Amerika Serikat sebagai musuh utama. Kemudian, ia juga berjanji untuk memperluas program nuklir dan rudal berkecepatan tinggi, meskipun ada sanksi internasional.
Kim menyebut sejumlah senjata yang tengah dikembangkan, mulai dari roket multi hulu ledak, rudal balistik antar benua (ICBM), hulu ledak supersonik, hingga kapal selam bertenaga nuklir.
Tujuannya, untuk mencapai kemampuan untuk membuat serangan nuklir preemptive, sekaligus kemampuan untuk melakukan serangan balik yang mampu memusnahkan apa pun dalam jarak 15 ribu kilometer. Jarak yang menjangkau Amerika Serikat.
"Kegiatan politik luar negeri kami harus difokuskan dan diarahkan untuk menundukkan AS, musuh utama kami dan hambatan utama bagi perkembangan inovatif kami," kata Kim kepada Kongres, melansir Al Jazeera, Kamis 14 Januari.
"Kenyataannya adalah kita bisa mencapai perdamaian dan kemakmuran di Semenanjung Korea, ketika kita terus membangun pertahanan nasional kita dan menekan ancaman militer AS,” imbuh Kim.
Menguji presiden
Janji Kim ini dinilai oleh Profesor Studi Korea di Universitas Tufts, Amerika Serikat Lee Sung-yoon sebagai ancaman yang jelas dan detil, terkait kebijakan nuklir.
Apalagi, belum lama ini Korea Utara memamerkan senjata baru, ICBM yang bisa diangkut dengan jalan darat. Jika sudah beroperasi, rudal itu diyakini analis internasional bisa menjadi yang terbesar di dunia.
Lee menilai ancaman yang dikeluarkan Kim, menunjukkan kemungkinan bakal ada ujicoba rudal dan provokasi nuklir, melanggar moratorium pengujian nuklir dan ICBM, segera setelah Presiden terpilih AS Joe Biden dilantik.
Sebab, Korea Utara memiliki 'pengalaman' untuk melakukan ujicoba rudal dan nuklir di awal pemerintahan baru di Amerika Serikat. Ini bisa dilihat saat Barrack Obama dan Donald Trump menjabat sebagai presiden.
Tak lama setelah Obama menjabat, Pyongyang melakukan ujicoba nuklir bawah tanah ke duanya di tahun 2009 lalu. Sementara, di tahun pertama Trump menjabat, Pyongyang untuk pertama kalinya menguji ICBM serta bom hidrogen.
"Gejolak politik yang sedang berlangsung di Amerika Serikat, membuat Kim memiliki banyak insentif untuk menaikkan suhu, menggunakan provokasi dan tekanan pada pemerintahan Joe Biden," kata Lee.
BACA JUGA:
Sementara, Profesor Hubungan Internasional Universitas Sogang, Korea Selatan Kim Jae-chun mengatakan, Korea Utara memiliki rekam jejak menguji keberanian Presiden Amerika yang baru dilantik.
Namun, kali ini Korea Utara diyakini akan berpikir keras untuk mengulanginya, karena situasi ekonomi dalam negeri yang mengerikan.
"Karena AS akan menanggapi setiap provokasi (ujicoba rudal dan nuklir) dengan sanksi yang semakin keras. China dan Rusia pun akan merasa sulita untuk memihak Korea Utara jika mereka melakukan pengujian (rudal dan nuklir) besar," tandasnya.