JAKARTA - Banyak pihak menyayangkan gugatan judicial review yang diajukan RCTI dan iNews terkait Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan dilayangkan karena menilai ada perbedaan perlakuan terhadap Netflix dan YouTube dengan televisi konvensional dalam UU Penyiaran.

Dalam gugatannya, kedua stasiun televisi swasta itu meminta agar setiap penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet, ikut tunduk pada UU Penyiaran. Menurut pengamat media sosial sekaligus Kepala Divisi Akses Atas Informasi SAFEnet, Unggul Sagena, gugatan RCTI dan iNews dinilai kurang tepat dan tidak mengikuti perkembangan infrastruktur yang ada.

"Karena perkembangan layanan Over The Top (OTT) yang menggunakan infrastruktur internet sangat beragam dan akan berkembang. Aturannya juga tidak sekadar dari UU Penyiaran," ungkap Unggul saat dihubungi VOI, Jumat 28 Agustus.

Unggul menjelaskan definisi penyiaran yang menggunakan frekuensi publik itu diatur pemerintah, sehingga perlu ada izin dan lain sebagainya. Sedangkan, stream atau live video menggunakan jaringan internet di platform media sosial, tidak termasuk dalam definisi penyiaran yang ada saat ini.

Sebelum gugatan ini terdapat juga isu lain yang mendorong revisi UU Penyiaran dengan memasukkan ide 'Penyiaran digital' di dalamnya. Diakui Unggul, konvergensi regulasi tersebut memang tidak mudah, namun memang perlu untuk segera dibahas ke depannya.

"Ada banyak yang perlu dibahas, termasuk pengawasannya, misal KPI, dewan pers dan lainnya. Karena di media sosial bukan frekuensi yang dipakai, tapi konten data, informasi dan multimedia yang menggunakan internet" ujar Unggul.

"Istilahnya OTT itu. Ada UU Telekomunikasi, UU ITE, UU Pornografi, UU Hak Cipta, UU Perdagangan, juga UU ITE yang disesuaikan dengan layanan OTT yang ada. Itu kalau bisnis," imbuhnya.

Unggul juga melihat alasan permohonan uji materil UU tersebut untuk melahirkan perlakuan yang setara dan perlindungan kesejahteraan, justru tidak relevan. Lantaran tidak semua konten YouTube, Instagram Live itu bertujuan ekonomi bila dibandingkan dengan platform media konvensional maupun bisnis.

Menurut Unggul, hal itu berbeda dengan lembaga penyiaran seperti RCTI. Andaipun mendapatkan dampak ekonomis, skema lain juga bisa dilakukan. Platform seperti YouTube dan layanan streaming lain bisa menyesuaikan dengan aturan.

"Misal ada akun bisnis dan sebagainya. Medsos juga selama ini dijadikan perpanjangan oleh media konvensional juga kok, jadi kreativitas dari digital marketing mereka yang harus menyesuaikan jaman. Karena orang pindah dari konvens kan karena konten yang tidak cocok dengan mereka. Di sini kreativitas dan inovasi yang diuji oleh setiap entitas bisnis berbasis media," jelas Unggul.

Dirinya juga tidak setuju jika perluasan dari Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran nantinya akan mengatur kebebasan berekspresi masyarakat di Internet. Di mana definisi-definisi penyiaran digital video call atau live streaming musti tunduk pada UU Penyiaran.

"Justru akan mengancam kebebasan berekspresi masyarakat, ini pukulan lagi bagi demokrasi dan kebebasan ekspresi di dunia siber," imbuhnya.

Kalaupun ingin tetap bersaing, Unggul meminta RCTI dan iNews untuk meningkatkan konten tayangannya agar bisa menjangkau masyarakat. "Jadi baiknya lembaga penyiaran seperti RCTI menunggu saja hasilnya sembari meningkatkan kreativitas dan inovasi untuk mengoptimalkan out reach pasar atau konsumen melalui medsos,"


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)