JAKARTA - Langkah Presiden Joko Widodo menujuk Wakil Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang juga menjabat sebagai Menteri Koordinator (Menko) Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan untuk menekan penyebaran COVID-19 di sembilan provinsi dinilai tak akan efektif dan menyangsikan kemampuannya.
Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menyayangkan penunjukan itu dilakukan. Sebab, hal ini terlalu berisiko dan penanganan pandemi harusnya dipimpin oleh Menteri Kesehatan dalam hal ini Terawan Agus Putranto.
Selain itu, dia mengaku tak yakin Luhut bakal mampu menangani virus ini di sembilan provinsi yaitu Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Papua hanya dalam waktu dua pekan.
"Tidak mungkin dalam dua pekan angka COVID itu bisa ditekan. Kecuali tesnya yang ditekan," kata Dicky saat berbincang dengan VOI, Kamis, 17 September.
Dia meminta pemerintah berhati-hati mengambil langkah terkait penanganan pandemi COVID-19 ini. Jangan sampai ada kesan, penurunan kasus ini terjadi karena jumlah pengujian sampel di daerah menurun dan tak ada upaya inovatif dari pemerintah untuk menguatkan strategi pengujian.
"Sehingga penurunan kasus infeksi COVID-19 yang terjadi sifatnya hanya semu," tegasnya.
Senada dengan Dicky, epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono juga menyoroti langkah Jokowi menunjuk Luhut dalam penanganan COVID-19.
Menurut dia, meski Luhut paham cara memerintah orang tapi belum tentu dia paham cara menangani pandemi COVID-19 di Indonesia khususnya di sembilan provinsi prioritas pemerintah.
"Kan seharusnya yang ditugasi siapa? Kementerian Kesehatan yang bertanggung jawab sesuai dengan tupoksinya. Memang Pak Luhut ngerti? Ngerti, ngerti merintah. Kan dia seorang tentara," kata Pandu dalam sebuah diskusi yang dilakukan secara daring.
Dirinya kemudian menyinggung masalah operasi yustisia ataupun operasi sejenisnya. Kata dia, pendekatan dengan karakteristik militer semacam ini tidak bisa menjadi andalan pemerintah untuk menghadapi pandemi. Apalagi, pandemi semacam ini bisa terjadi lebih panjang.
另请阅读:
Sehingga, pemerintah harusnya membangun sistem yang jelas bukan malah terus membentuk panitia atau tim yang tumpang tindih. Jika sistem penanganan pandemi ini tidak berjalan, Jokowi juga dianggap harus memberhentikan mereka yang gagal dengan hak prerogatifnya.
"Kalau enggak berjalan, ya, kan presiden punya hak prerogatif untuk memberhentikan. Nah, ini lebih mudah daripada menangani COVID-19 di sembilan provinsi dengan menunjuk menteri yang mengurusi investasi," tegasnya.
"Apa karena menteri investasi enggak punya kerjaan, enggak ada investasi di masa pandemi atau karena Pak Presiden enggak percaya dengan Menteri Kesehatan. Jadi ini problem di pemerintah dan DPR bisa mempertanyakan itu," imbuh Pandu.
Sebelumnya, Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito menyebut Presiden Jokowi menunjuk Luhut Binsar Pandjaitan bersama Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo untuk mengendalikan penularan COVID-19 di sembilan provinsi.
"Bapak Luhut diminta oleh Presiden agar target dapat dicapai dalam waktu 2 minggu ke depan. Untuk mencapai sasaran, ada beberapa langkah-langkah yang akan dilakukan," kata Wiku dalam tayangan Youtube Sekretariat Presiden, Selasa, 15 September.
Dalam menjalankan tugasnya, Luhut disebut punya empat langkah mengendalikan angka di provinsi yang jadi proritas. Pertama, Luhut akan menyamakan data antara pusat dan daerah dalam rangka untuk pengambilan keputusan cepat. Sebab, selama ini, pembaharuan data kasus COVID-19 antara pemerintah pusat selalu berbeda dengan tiap provinsi.
"Yang kedua adalah melakukan operasi yustisi untuk penegakan disiplin protokol kesehatan dengan menggunakan peraturan untuk pidana yang menindak untuk menindak yang melanggar peraturan," kata Wiku.
Ketiga, Luhut akan meningkatkan manajemen perawatan pasien COVID-19 untuk menurunkan angka kematian dan meningkatkan angka kesembuhan. Keempat adalah penanganan COVID-19 secara klaster di setiap provinsi ini.
"Jadi, penanganannya harus lebih spesifik pada daerah-daerah tertentu di provinsi tersebut," tutur Wiku.
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)