JAKARTA - Sudah enam bulan sejak kasus COVID-19 untuk pertama kalinya diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Maret lalu. Namun, epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menilai, Indonesia masih jauh dari kata berhasil menangani pandemi tersebut.

Dia bahkan menyebut penyebaran COVID-19 di Indonesia ini makin mengkhawatirkan karena Indonesia masuk ke negara yang tinggi jumlah kasusnya namun pengujian terhadap masyarakatnya belum masif, sesuai anjuran World Health Organization (WHO).

"Kondisi Indonesia sudah makin serius dan mengkhawatirkan. Dengan kasus infeksi COVID-19 yang banyak bahkan di wilayah Asean tapi cakupan tes kita masih rendah ternyata," kata Dicky kepada VOI, Sabtu, 6 September.

Diketahui, angka pengujian di Indonesia masih belum memenuhi standar WHO yaitu 1:1.000 orang per minggu dan hal ini juga sempat diakui oleh pemerintah. Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito mengatakan jumlah pengetesan di Indonesia saat ini baru mencapai 46,58 persen.

Padahal jika berdasarkan rumus WHO tersebut, dengan estimasi penduduk Indonesia sebanyak 267 juta jiwa maka jumlah yang harus diuji tiap minggunya adalah 267.700 orang. Sementara angka kasus COVID-19 di Indonesia saat ini secara akumulatif per Jumat, 4 September kemarin mencapai 187.537.

"Ini menunjukkan bahwa sangat banyak kasus infeksi COVID-19 yang belum ditemukan," tegas Dicky.

Lebih lanjut dia juga menyinggung Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang hanya sebagai lembaga ad hoc. Padahal, kata dia, epidemi atau pandemi bisa terjadi kapan saja dan tak hanya berhenti pada COVID-19 saja. Sehingga dibutuhkan lembaga yang harusnya bisa menangani masalah ini secara berkelanjutan.

Berkaca dari sejumlah hal yang disebutkannya itu, Dicky kemudian meminta pemerintah mulai berfokus pada tujuan mengeliminasi COVID-19. Selain itu, dia meminta kesehatan harus jadi sektor utama yang diperhatikan oleh pemerintah. 

Dicky juga mengingatkan agar Kementerian Kesehatan terus bekerja secara tepat karena pengalaman dan kompetensi mereka dalam pengendalian pandemi sangat penting dan diperlukan.

"Kita tidak bisa bertaruh dalam suatu peran besar dan marathon ini. Kondisi Indonesia kini sudah sangat serius," tegasnya.

"Enam bulan saya kira sudah cukup untuk membuktikan pentingnya perbaikan manajemen pengendalian pandemi dan refocusing," imbuhnya.

Sebelumnya, pemerintah menyebut ada sejumlah hal yang sudah mereka lakukan selama enam bulan masa pandemi COVID-19 ini. Jubir Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan sejauh ini beberapa hal yang telah dikerjakan seperti membuat sistem zonasi daerah risiko COVID-19 sebagai upaya pemetaan.

Kemudian, pemerintah selama enam bulan ini telah menyediakan 320 laboratorium jejaring untuk pemeriksaan real time polymerase chain reaction (RT-PCR) dan tes cepat molekuler (TCM) serta meningkatkan jumlah rumah sakit rujukan. Saat ini terdapat 800 rumah sakit rujukan baik di tingkat nasional hingga provinsi.

Lebih lanjut, pemerintah menyebut Indonesia juga saat ini sudah berhasil membuat ventilator yang teruji klinis, memproduksi masker, dan mengembangkan vaksin melalui konsorsium Kementerian Riset dan Teknologi.

"Kami mengembangkan vaksin dalam negeri melalui konsorsium dan Bio Farma, yaitu vaksin Merah Putih. Target ke depan adalah melindungi masyarakat yang rentan yaitu penderita komorbid, lansia, termasuk tenaga kesehatan," ujar Wiku.


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)