JAKARTA - Polisi telah menangkap terpidana dalam kasus pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali yang jadi buronan selama belasan tahun, yaitu Djoko Tjandra. Penangkapan itu dilakukan setelah Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menolak permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukannya.

Djoko tiba di Bandara Halim Perdanakusuma Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis 30 Juli pukul 22.40 WIB. Buronan ini dijemput langsung oleh Kabareskrim Komjen Pol. Listyo Sigit Prabowo dari Malaysia. Saat turun dari pesawat, dia tampak menggunakan baju oranye dengan tangan terikat kabel tis didampingi Kabareskrim.

Buronan Djoko Tjandra saat tiba di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Jumat, 31 Juli (dok. Istimewa)
 

Keberadaan Djoko yang buron sejak 2009 itu mulai menjadi sorotan ketika Komisi III DPR RI menggelar rapat kerja dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin di Kompleks Parlemen, Senayan, 29 Juni yang lalu. Dalam rapat itu, Burhanuddin mengatakan dia mendapat informasi jika Djoko mendaftarkan peninjauan kembali terhadap kasus yang menjeratnya.

"Yang melukai hati saya, saya dengar Djoko Tjandra bisa ditemui di mana-mana. Di Malaysia dan di Singapura. Tapi kita minta kesana-sini tidak bisa ada yang bawa," kata Burhanuddin saat itu sambil menambahkan pihaknya kecolongan karena buronan itu telah berada di Jakarta selama tiga bulan.

Selanjutnya, polemik bermunculan. Banyak pihak yang mempertanyakan mengapa Djoko Tjandra bisa dengan mudah masuk ke Indonesia. Belakangan diketahui, Djoko ternyata sudah tak lagi berstatus Red Notice dari NCB Interpol.

Selain itu Djoko juga sempat mengajukan pembuatan KTP elektronik. Ternyata KTP itu bisa terbit secepat 'kilat'. Kasus ini membuat Asep Subhan, Lurah Grogol Selatan dan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Zudan Arif Fakhrullah menjadi sorotan. 

Investigasi kemudian diberlakukan terkait penerbitan KTP-el tersebut. Hasilnya, Pemprov DKI Jakarta secara resmi menonaktifkan Lurah Grogol Selatan Asep Subahan karena terbukti memberikan pelayanan penerbitan KTP tersebut.

Tak hanya heboh soal KTP elektronik yang terbit secepat kilat. Kehebohan lain muncul setelah Indonesia Police Watch (IPW) menyebut seorang petinggi di tubuh Polri memberikan bantuan surat jalan kepada buronan ini dan dia bebas berpergian kemana pun.

Adapun petinggi yang dimaksud adalah Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Pol Prasetyo Utomo.

Akibat perbuatannya itu, Prasetyo kemudian dicopot dari jabatannya dan ditetapkan sebagai tersangka pelanggar disiplin serta kode etik. 

Selain Prasetyo, ada dua jenderal Polisi lainnya yang harus menanggung akibat karena melanggar kode etik terkait pelarian Djoko Tjandra. Mereka adalah Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen (Pol) Nugroho Slamet Wibowo.

Tak cukup melibatkan Polri dalam pelariannya, Djoko Tjandra dan pengacaranya, Anita Kolopaking diduga melibatkan jaksa. Dugaan ini disampaikan oleh Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman. Dia mengatakan dugaan ini muncul setelah adanya foto oknum jaksa bernama Pinangki Sirna Malasari bersama Djoko Tjandra.

Pertemuan Djoko dan Kasubag Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Kejaksaan Agung itu disebut-sebut dilakukan di Malaysia.

Mendapati laporan dari MAKI, Kejaksaan Agung bertindak cepat. Pinangki kemudian diperiksa oleh Bidang Pengawasan Kejagung dan dia diketahui melakukan perjalanan sebanyak sembilan kali ke luar negeri di tahun 2019 ke Singapura dan Malaysia.

Atas perbuatannya, Pinangki kemudian dijatuhi hukuman disiplin dan dicopot dari jabatannya.

Peninjauan kembali ditolak

Upaya peninjauan kembali yang diajukan Djoko pada Juni lalu kemudian gagal karena Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak permohonan yang diajukannya. Penolakan ini terjadi karena selama empat kali persidangan, sebagai pemohon Djoko tak pernah hadir.

"Menetapkan, menyatakan permohonan PK dari pemohon atau terpidana Djoko Soegiarto Tjandra tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan ke MA," kata Humas Pengadilan Negeri (PN) Jaksel Suharno di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu, 29 Juli.

Lebih lanjut, Suharno menjelaskan putusan ini diterbitkan pada Selasa, 28 Juli kemarin. Mengutip dari salinan putusan di bagian menimbang, hakim menyatakan permohonan PK dalam perkara pidana hanya bisa diajukan ke Mahkamah Agung oleh terpidana atau ahli warisnya.

Hanya saja, selama persidangan berlangsung di PN Jaksel, Djoko Tjandra tidak pernah hadir. Sehingga, permohonan PK yang diajukan oleh kuasa hukum Djoko Tjandra yaitu Anita Kolopaking tak bisa diterima dan berkasnya tidak dilanjutkan ke MA.

Diketahui, Djoko Tjandra mengajukan PK terhadap Putusan MA No. 12/PK/PID/SUS/2009 tanggal 11 Juni 2009 jo. Putusan No. 1688 K/PID/2000 tanggal 28 Juni 2001 Jo. Putusan No. 156/Pid.B/2000/PN Jak.Sel tanggal 28 Agustus 2000 dan putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIV/2016 tanggal 12 Mei 2016.

Adapun persidangan permohonan PK tersebut digelar pertama kali pada 29 Juni lalu dan dilanjutkan pada 6 Juli, 20 Juli, dan 27 Juli. Namun, dalam empat persidangan tersebut Djoko tidak pernah hadir. Menurut kuasa hukumnya, Andi Putra Kusuma, Djoko tidak bisa hadir karena sedang sakit.

Buronan tersebut juga pernah meminta persidangan dilakukan secara daring karena kondisi kesehatannya dan beralasan karena pandemi COVID-19 tengah terjadi. Namun PN Jakarta Selatan menolak permintaan tersebut.


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)