JAKARTA - Serikat buruh yang tergabung di dalam Kofederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak isi dari peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan isi Perppu Omnibus Law UU Cipta Kerja tersebut tidak sesuai dengan harapan buruh. Karena itu, serikat pekerja menolak atau tidak setuju dengan isi Perppu tersebut.

“Setelah mempelajari, membaca, menelaah, dan mengkaji salinan Perppu No 2 tahun 2022 yang beredar di media sosial, dan kami sudah menyandingkan dengan UU Cipta Kerja serta UU No 13 Tahun 2003, maka sikap kami menolak,” ujar Said Iqbal, dalam keterangan resmi, Minggu, 1 Januari.

Iqbal lantas merinci beberapa pasal yang ditolak oleh serikt buruh. Pertama adalah pasal tentang upah minimum. Di dalam Perppu, upah minimum kabupaten/kota digunakan istilah dapat ditetapkan oleh Gubernur.

“Itu sama dengan UU Cipta Kerja. Bahasa hukum ‘dapat’, berarti bisa ada bisa tidak, tergantung Gubernur. Usulan buruh adalah, redaksinya adalah Gubernur menetapkan upah minimum kabupaten/kota,” ujarnya.

Kemudian, Iqbal mengatakan di dalam UU Cipta Kerja, upah minimum kenaikannya mengacu pada inflansi atau pertumbuhan ekonomi. Menggunakan bahasa ‘atau’, dipilih salah satunya.

Sedangkan, kata Iqbal, di UU Nomor 13 Tahun 2003 didasarkan pada survei kebutuhan hidup layak dan turunannya PP Nomor 78 Tahun 2015 menggunakan inflansi dan pertumbuhan ekonomi. Menggunakan kata ‘dan’ jadi akumulasi dari keduanya.

Sementara, lanjut Iqbal, di dalam Perppu berdasarkan variabel inflansi, pertubuhan ekonomi, dan indeks tertentu. Ini yang ditolak buruh. Sebab dalam hukum ketenagakerjaan tidak pernah dikenal indeks tertentu dalam menentukan upah minimum.

“Kami menduga indeks tertentu seperti di dalam Permenaker 18/2022, menggunakan indeks 0,1 sampa 0,3. Partai buruh menginginkan tidak perlu indeks tertentu,” kata Iqbal.

Lalu, kata Iqbal, pasal lain yang ditolak buruh di dalam Perppu adalah adanya Pasal 88F yang berbunyi, dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2).

“Buruh berpendapat, ini seperti memberikan mandat kosong kepada pemerintah. Sehingga bisa seenaknya mengubah-ubah aturan,” ucapnya.

Kata Iqbal, permasalahan lain terkait dengan pengupahan, Perppu juga menegaskan hilangnya upah minimum sektoral. Dengan begitu, Iqbal menyimpulkan, persolan dalam Perppu terkait upah minimum yang ditolak buruh adalah UMK bisa diputuskan gubernur bisa juga tidak.

Kedua, formula kenaikan upah minimum berdasarkan inflansi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu. Buruh menolak menggunakan indeks tertentu.

“Ketiga, Pemerintah bisa mengubah formula kenaikan upah minimum, ini juga tidak ditolak buruh. Keempat, upah minimum sektoral dihilangkan,” jelasnya.

Kemudian, lanjut Iqbal, catatan kedua yang ditolak buruh adalah outsourcing atau alih daya. Di dalam UU Cipta Kerja, Pasal 64, 65, dan 66 dihapus. Prinsipnya, alih daya diperbolehkan oleh Perppu, sehingga tidak ada bedanya, meski ada ruang dialog.

Dalam Perppu disebutkan, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis. Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan dalam Peraturan Pemerintah.

“Akan diatur dalam perturan pemerintah, mana yang boleh mana yang tidak. Makin tidak jelas. Karena semakin menegaskan semua pekerjaan bisa di outsourcing. Ukurannya apa jika diserahkan kepada peraturan pemerintah? Bisa seenak-enaknya dong?” kata Said Iqbal.

Untuk itu, Iqbal meminta sekurang-kuranya outsourcing harus kembali ke UU Nomor 13 Tahun 2003, dengan ada batasan yang jelas.


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)