Menakar Peluang Ferdy Sambo Lepas dari Ancaman Pembunuhan Berencana
JAKARTA - Perbincangan mengenai pengenaan hukuman untuk Ferdy Sambo terus terdengar di ranah sosial media hingga obrolan di warung-warung kopi. Beragam pertanyaan menyeruak terkait pasal yang akan dikenakan untuk Sambo ketika kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) bergulir ke pengadilan.
Apakah Ferdy Sambo bisa berkelit dari pasal pembunuhan berencana yang telah disangkakan kepadanya?
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan bisa saja. Hakim memiliki kewenangan subjektif memutuskan perkara berdasar pertimbangan-pertimbangan tertentu. Itulah mengapa kerap terjadi kasus serupa tetapi dengan pengenaan hukuman berbeda.
“Banyak hal yang mempengaruhi keyakinan hakim, bisa memberatkan atau meringankan, tentu berdasar dari fakta-fakta persidangan dan keyakinan dari hakim itu sendiri,” ucapnya kepada VOI beberapa waktu lalu.
Mengacu dari fakta kasus, Ferdy Sambo memang telah mengakui melakukan pembunuhan. Namun, menurut pengacara Hotman Paris Hutapea, tergolong pembunuhan berencana atau tidak masih butuh pembuktian lebih lanjut.
Bila benar, Ferdy Sambo menangis ketika mendengar cerita dari istrinya, Putri Candrawathi terkait kejadian yang dialami Putri di Magelang. Kemudian, Sambo emosi dan langsung memerintahkan anak buahnya menghukum Brigadir J.
Berarti, kemungkinan ini hanya pembunuhan spontan akibat emosi. Bukan tidak mungkin hakim akan mencoret Pasal 340 dan menggunakan Pasal 338 KUHP yang berbunyi, 'Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.'
“Seorang jenderal menangis, why? Kalau terkait satgas atau narkoba gak mungkin menangis kan? Tentu, ada sesuatu yang menyentuh dan tidak lama sesudah itu terjadi penembakan,” kata Hotman dalam acara televisi.
“Namun, saya tidak memihak siapapun, tapi itu katanya kesaksian di BAP,” tambah Hotman.
Memang agak meragukan polisi berpangkat bintang dua melakukan pembunuhan berencana di rumahnya sendiri.
“Kalau dia membunuh orang berencana tentunya di luar sana. Tapi itu kan akal sehat kita. Kejadian di sana apakah akal sehat atau tidak, kita juga tidak tahu. Kalau itu dilakukannya bukan karena direncanakan, tapi hanya situasional atas sikap emosional maka itu bukan suatu pembunuhan berencana,” kata pengacara Otto Hasibuan dalam acara talk show televisi yang dibawakan oleh Karni Ilyas.
Perintahnya Hanya Menembak
Bagaimanapun, pembunuhan adalah fakta. Pertanyaannya dilakukan oleh siapa dan sejauh mana keterlibatan para tersangka bila pembunuhan benar dilakukan bersama-sama. Otto menilai apa yang disampaikan tersangka semua masih delik pernyataan.
Bharada E melalui pengacaranya menyatakan dia melihat Brigadir J sudah dalam posisi sujud dengan tangan di belakang, kemudian Ferdy Sambo memerintahkannya untuk menembak. Bharada E mengakui itu.
“Namun, dia tidak pernah dengan tegas menyatakan saya dor, dor, dor ke tubuhnya Yosua. Ketika ditanya di televisi waktu itu, dia tidak tahu kemana peluru itu mengarah, pokoknya saya tembak aja,” ucap Otto.
Sehingga, ketika di pengadilan, Ferdy Sambo bisa saja bilang perintahnya hanya menembak, bukan membunuh.
“Kalau tembak kan boleh kakinya, tapi dia lakukan pembunuhan. Ini jadi persoalan yang cukup serius dari praktek keadilan,” Otto melanjutkan.
Pertanyaan lain, posisi Bharada E ketika menembak. Kalau menembak dari posisi belakang mengenai kepala, wajar jika ada bekas luka tembak di kepala sesuai hasil visum.
“Tapi yang ada di dada, yang mana ini pelakunya,” ucap pengacara yang pernah menjadi pengacara Jesica dalam kasus kopi sianida beberapa waktu lalu ini.
Otto tak menampik memang terlalu banyak pihak yang memposisikan diri sebagai sumber informasi. Pernyataan yang diberikan Komnas HAM, Kompolnas, pengacara tersangka, dan pengacara korban cenderung berbeda. Dia pun tidak mengetahui apakah pernyataan tersebut hanya berdasar analisa subjektif atau memang sesuai dengan pernyataan pro justitia sebenarnya.
Sehingga Otto menyimpulkan kasus ini masih berjalan panjang. Masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain dalam persidangan nanti. Terlebih, bila para saksi adalah mereka yang juga jadi tersangka.
“Saksinya itu-itu saja. Kalau empat orang bersuara A, hasil pengadilannya pasti A, kalau dia bilang B hasilnya B. Tidak mudah. Walau bagaimana pun mereka memiliki hak menyatakan mencabut berita acara di persidangan umpamanya,” imbuh Otto.
Pelecehan Terhadap Putri
Pada 1 September 2022, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komnas Perempuan meminta Timsus Polri menindaklanjuti pemeriksaan dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh Brigadir J terhadap Putri.
Dari hasil temuan faktual, Komnas HAM menduga kuat telah terjadi kekerasan seksual kepada Putri di Magelang pada 7 Juli 2022. Ini dilakukan Brigadir J ketika Ferdy Sambo tidak ada di lokasi.
“Peristiwa ini pula yang menjadi pemantik Kuwat Maruf mengancam akan membunuh korban, seperti yang sudah dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP),” kata Komisioner Komnas HAM Bidang Penyuluhan kata Beka Ulung Hapsara kepada awak media di Kantor Komnas HAM, Kamis
Padahal, Bareskrim Polri pada 12 Agustus 2022, telah menyatakan menghentikan penanganan dua laporan terkait pelecehan sesual tersebut karena tidak ditemukan unsur pidana.
Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian Djajadi dalam jumpa pers menyatakan peristiwa pelecehan masuk dalam kategori obstruction of justice. “Ini hanya bagian dari upaya menghalang-halangi pengungkapan dari kasus 340 (pembunuhan berencana).”
Bila memang Bareskrim akan melanjutkan kasus tersebut, Abdul Fickar Hadjar meminta penyidik lebih berhati-hati. Harus bertumpu juga ke logika dan kemungkinan-kemungkinan lain. Terlebih, sebelumnya Putri sudah menyampaikan berita bohong terkait lokasi pelecehan yang awalnya disebut di Duren Tiga, Jakarta.
“Meski pakai UU TPKS, sistem pembuktian saya tafsirkan tetap harus mencari bukti pembanding lain, tak cukup hanya dengan kesaksian korban. Kesaksian tersangka lain pun tidak kuat kecuali ada yang melihat langsung kejadian kekerasan seksual tersebut,” tandas Fickar.
Dalam kasus Ferdy Sambo, Fickar menganalisis pengenaan hukuman mungkin bertambah berat. Sebab, selain pembunuhan, dia juga telah melakukan obstruction of justice dan merusak citra Polri di masyarakat.
“Namun, balik lagi kewenangan hakim. Orang boleh berusaha, tapi dari apa yang dilakukan agak sulit untuk dipertimbangkan sebagai hal yang meringankan,” tandas Fickar.