Bagikan:

JAKARTA – Bencana hidrometeorologi merupakan salah satu bencana yang sering melanda berbagai wilayah di Indonesia. Biasanya, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melansir peringatan terkait bencana hidrometeorologi pada periode akhir tahun menjelang tahun baru. Sayangnya, baru memasuki Bulan Maret, beberapa wilayah Indonesia termasuk Jabodetabek justru sudah diterjang banjir yang termasuk dalam bencana hidrometeorologi.

Dikutip dari Modul Hidrometeorologi UGM, selama 20 tahun terakhir Indonesia telah mengalami berbagai jenis bencana alam, termasuk bencana hidrometeorologi. Tren fenomena bencana hidrometeorologis di Indonesia memiliki kecenderungan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Amien Widodo mengungkapkan, bencana hidrometeorologi sering disebabkan oleh perubahan iklim.

Bencana hidrometeorologi sendiri merupakan fenomena bencana alam atau proses merusak yang terjadi di atmosfer (meteorologi), air (hidrologi), atau lautan (oseanografi) yang diakibatkan oleh parameter-parameter meteorologi, seperti curah hujan, kelembapan, temperatur, dan angin. Dampak bencana hidrometeorologi dapat menyebabkan hilangnya nyawa, cedera atau dampak kesehatan lainnya, seperti kerusakan harta benda, hilangnya mata pencaharian dan layanan, gangguan sosial dan ekonomi, atau kerusakan lingkungan.

“Sejak tahun 1.800 hingga sekarang, hidrometeorologi merupakan bencana yang banyak terjadi di Indonesia, disusul aktivitas geologi seperti gempa bumi dan gunung meletus. Hampir 90-95 persen itu bencana hidrometeorologi. Sisanya sekitar 5-10 persen itu gempa dan erupsi gunung berapi,” ujar Amien, Senin 10 Maret 2025.

Dia menilai, terjadinya kerusakan Daerah Aliran Sungai, urbanisasi, kemiskinan dan faktor sosial budaya tentu makin meningkatkan ancaman bencana hidrometerologi. Selain itu, pengaruh perubahan iklim global juga berdampak pada meningkatnya bencana hidrometeorologi di Indonesia. Meski demikian, faktor antropogenik dipandang paling dominan berkontribusi terjadinya peningkatan banjir dan kekeringan dibanding dengan faktor perubahan iklim global. “Faktor perilaku manusia masih tetap dominan dibanding faktor-faktor lain sebagai penyebab terjadinya bencana hidrometeorologi,” tambah Amien.

Pakar meteorogi dan klimatologi Badan Riset dan Inovasi Nasional, Edvin Aldrian, mengungkapkan bahwa penyebab bencana hidrometeorologi di Indonesia adalah masuknya air hangat ke perairan Indonesia. Akibatnya, terjadi pembentukan awan lebih banyak. Fenomena alam ini yang mendorong naiknya intensitas hujan di Indonesia yang membuat musim hujan lebih besar dari sebelumnya.

“Berbagai studi telah menunjukkan bahwa ancaman bencana hidrometeorologi, iklim, cuaca dan bencana yang berhubungan dengan air seperti topan, kekeringan dan banjir terhitung untuk angka terbesar dari bencana alam di seluruh dunia dan mempengaruhi lebih banyak orang daripada jenis ancaman bencana alam lainnya,” tuturnya.

Dia menerangkan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa perubahan iklim di Indonesia telah membawa perubahan pola musim lokal. Rata-rata jumlah hujan pada musim hujan (Oktober-Maret untuk wilayah Jawa) adalah 80 persen dari jumlah hujan tahunan. Perubahan pola musim terjadi dengan bertambah lamanya musim kering dan meningkatnya rasio jumlah hujan pada musim hujan terhadap musim kering yang meningkat di atas 80 persen. Kondisi ini semakin diperparah oleh penurunan akumulasi total hujan tahunan secara persisten hampir di seluruh wilayah Indonesia dalam lima dekade terakhir sehingga potensi air tercurah berkurang.

Selain itu, meningkatnya bencana hidrometeorologi tidak hanya disebabkan oleh perubahan iklim global, tapi juga karena kesalahan pengelolaan lingkungan. “Iklim global terus berubah karena kegiatan manusia. Degradasi lingkungan akibat kegiatan manusia menyebabkan meningkatnya bencana hidrometeorologi,” tambah Edvin.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, M Iqbal Damanik menilai, selain faktor perubahan iklim, bencana hidrometeorologi yang terus terjadi di Indonesia juga disebabkan oleh faktor antrogenik termasuk alih fungsi lahan oleh manusia sendiri. Dia mencontohkan, banjir yang melanda Bekasi disebabkan luas DAS kali Bekasi 147.000 hektare tetapi hutannya hanya 1.700 hektare. Artinya, bentang alam banyak berubah menjadi area terbangun sehingga serapan air jauh berkurang.

Dia mengungkapkan, idealnya secara aturan 30 persen wilayah DAS harus tutupan hutan. Karena itu, pemerintah dituntut patuh pada aturan soal 30 persen tutupan pada aliran DAS. Sebab, pembangunan infrastruktur terutama perumahan pada wilayah DAS dampaknya berbeda dengan non wilayah DAS sehingga harus lebih ketat. “Banjir ini kan bagian dari extream weather atau disebut bencana hidrometeorologi. Jadi pemerintah harus segera melaksana komitmen menurunkan emisinya,” tegasnya.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mengakui, pihaknya sudah memprediksi peningkatan potensi bencana hidrometeorologi di tahun 2025. Salah satu faktor yang juga meningkatkan potensi bencana hidrometeorologi adalah penyimpangan suhu muka laut di Samudra Pasifik, Samudra Hindia, dan perairan lokal Indonesia.

Menurut dia, penyimpangan suhu berhubungan erat dengan fenomena La Nina yang menyebabkan peningkatan curah hujan di Indonesia. Kondisi La Nina yang lemah di akhir tahun 2024 berlanjut hingga awal 2025. “Menyebabkan suhu perairan Indonesia lebih hangat dari rata-rata, yang pada gilirannya meningkatkan pembentukan awan hujan,” imbuhnya.

La Nina sendiri merupakan kejadian anomali iklim global yang ditandai dengan keadaan suhu permukaan laut atau sea surface temperature di Samudra Pasifik tropis bagian tengah dan timur yang lebih dingin dibandingkan suhu normalnya. “BMKG sebelumnya memperkirakan bahwa La Nina lemah hanya akan bertahan hingga kuartal pertama 2025. Umumnya dimulai November, dan diperkirakan akan berlanjut hingga Januari, Februari, Maret,” terang Dwikorita.

Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Suharyanto menjelaskan, dari data yang ada, pihaknya mencatat 614 bencana pada Januari hingga 10 Maret 2024, di mana mayoritas dari bencana tersebut adalah bencana hidrometeorologi basah. Terlebih, memasuki Bulan Maret-April 2025 ini, Indonesia mengalami cuaca ekstrem. “Karena itu diperlukan upaya dan langkah-langkah mitigasi kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana hidrometeorologi, terutama bagi daerah yang rawan terjadinya bencana hidrometeorologi,” katanya.