JAKARTA - Mundurnya Airlangga Hartarto dari posisi Ketua Umum Partai Golkar memicu berbagai spekulasi politik. Salah satu spekulasi yang paling mencuat adalah kemungkinan masuknya Presiden Joko Widodo dalam struktur kepemimpinan partai berlambang pohon beringin tersebut. Sinyal ini sudah terlihat sejak kunjungan Jokowi ke Tokyo, Jepang, pada akhir 2023.
Saat menghadiri KTT ASEAN di Jepang, Presiden Joko Widodo tampak mengenakan dasi berwarna kuning. Warna kuning ini, yang identik dengan Partai Golkar, menimbulkan dugaan bahwa Jokowi merasa nyaman dengan partai tersebut. Politikus Partai Golkar, Ravindra Airlangga, menilai penggunaan dasi kuning ini sebagai sebuah kode bahwa Jokowi mungkin merasa nyaman berada di Golkar.
"Ini kode dari Pak Jokowi. Biasanya beliau mengenakan dasi warna lain, sekarang berubah jadi kuning. Bagi kami di Golkar, ini menunjukkan kenyamanan beliau," kata Ravindra kepada wartawan di Jakarta, Senin, 19 Agustus.
Pernyataan ini sejalan dengan pendapat anggota Dewan Pakar Partai Golkar, Ridwan Hisjam, yang menyambut baik jika Jokowi bergabung dengan Golkar. Ridwan bahkan menyatakan bahwa Golkar siap menggelar "karpet kuning" untuk mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut. "Pak Jokowi adalah sosok yang berprestasi, baik saat menjadi wali kota, gubernur, hingga dua kali menjadi presiden. Dedikasinya kepada bangsa dan negara tidak perlu diragukan," ungkap Ridwan melalui pesan tertulisnya.
Menteri Pemuda dan Olahraga, Dito Ariotedjo, yang juga merupakan politisi Golkar, menilai Jokowi mungkin akan tetap fokus pada multi partai, tidak hanya pada satu partai saja. "Beliau ingin menjaga semua partai, terutama yang sudah mendukungnya sejak Pilpres 2014," kata Dito beberapa waktu lalu.
BACA JUGA:
Ketua DPP Partai Golkar, Dave Laksono, menegaskan bahwa semua pihak berhak mencalonkan diri sebagai ketua umum Golkar, termasuk Jokowi dan Gibran Rakabuming Raka. "Tidak ada larangan bagi siapapun untuk masuk ke dalam Golkar. Memang ada masalah jika Jokowi menjadi ketua umum?" ucap Dave di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat, 16 Agustus.
Kontroversi di Ujung Kepemimpinan Jokowi
Salah satu kontroversi yang mungkin akan tercatat dalam sejarah adalah pencalonan Gibran, putra sulung Jokowi, sebagai calon wakil presiden, yang diduga dikotori oleh pelanggaran etika serius oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK yang meloloskan Gibran diduga diintervensi oleh Jokowi, menciptakan kesan nepotisme dan kecurangan.
Meskipun pelanggaran etika tidak selalu membawa konsekuensi hukum, secara teoretis seharusnya mendapat sanksi lebih berat karena etika berada di atas hukum.
Rentetan kasus yang melibatkan keluarga Jokowi, seperti dugaan keterlibatan putrinya, Kahiyang Ayu, dan menantunya, Bobby Nasution, dalam kasus tambang Halmahera yang diungkap mantan Gubernur Maluku Utara AGK di pengadilan, bisa menyeret Jokowi ke persidangan setelah ia tidak lagi menjabat sebagai presiden. Oleh karena itu, Jokowi perlu melakukan manuver politik untuk mempertahankan kekuasaan, terutama dalam menghadapi presiden terpilih, Prabowo Subianto.
Gaya Politik Machiavelli
Dalam politik praktis, mustahil seseorang bisa bertahan tanpa menjadi Machiavellian. Mahzab Machiavellianisme, yang diambil dari nama Niccolo Machiavelli, seorang filsuf politik Italia, mengajarkan bahwa segala cara dihalalkan demi mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Dosen Sosiologi dan Psikologi dari Universitas Airlangga, Rizqy Amelia Zein, menjelaskan bahwa individu dengan kecenderungan Machiavellianisme yang tinggi cenderung tidak berperasaan dan sinis, serta tidak ragu memanipulasi orang lain untuk mencapai tujuannya.
"Orang dengan kecenderungan Machiavellianisme mahir dalam negosiasi dan membangun koalisi, serta memiliki bakat alami untuk mengenali metode yang paling efisien dengan konsekuensi paling sedikit untuk mewujudkan keinginan mereka. Menariknya, dengan dosis Machiavellianisme yang tepat, seseorang bisa menjadi karyawan terbaik di tempat kerja dan bahkan pemimpin karismatik," ujar Rizqy dalam pesan tertulis yang diterima VOI.
Machiavelli sendiri memuji Marcus Furius Camillus, seorang diktator Romawi, sebagai contoh pemimpin ideal. Camillus, yang memanfaatkan agama untuk meningkatkan semangat prajuritnya, menunjukkan bahwa pemimpin harus siap menanggalkan standar moral demi kepentingan publik. Namun, Machiavelli juga memperingatkan bahwa strategi yang bermasalah secara moral jika digunakan hanya untuk keuntungan pribadi bisa membawa kehancuran bagi pemimpin tersebut.